“Pak Hurbi adalah tetangga baru kami. Dia membeli rumahkeluarga pak Kor beberapa bulan yang lalu. Setelah melakukan perbaikan di sana-sini, akhirnya minggu lalu dia mulai menempati rumah yang baru dibelinya tersebut. Aku hanya berharap dia tidak seperti pak Kor. “
“Pak Kor adalah seorang pensiunan tentara, dia orang yang merasa dirinya hebat dan suka perintah-perintah. Siapapun yang pernah bertemu dengannya pasti pernah diperintahnya. Tidak hanya itu semua yang diperintahkan harus dikerjakan sesuai dengan petunjuknya. Jika saja seseorang yang diperintahnya untuk melakukan sesuatu itu diketahuinya tidak melakukan sesuai instruksinya walaupun yang dikerjakannya itu hasilnya sama, sepanjang hari dia akan mengomel tanpa henti tapi bukan kepada orang itu. Atau dia hanya diam menghirup nafas dalam-dalam kemudian memandang menerawang jauh entah kemana, dan dari ekspresi wajahnya aku bisa mendengar dia berkata tidak ada yang bisa diandalkan dari orang-orang bodoh ini. Kemudian memandang mereka dengan tatapan menjijikan yang membuatku ingin menonjok mukanya. “
“Dulu aku mengiyakan untuk menjadi pembantu di rumahnya walaupun ada tawaran dengan gaji yang lebih menarik untuk bekerja di tempat lain, karena kupikir dia orang tua yang menyenangkan yang kusimpulkan dari beberapa percakapan kami saat dia baru beberapa hari menjadi tetanggaku. Saat itu aku juga berpikir hitung-hitung bisa beramal. Ternyata aku tidak memerlukan tiga hari untuk mengetahui tabiatnya. Dia sangat berbeda sekali dengan apa yang dia tampilkan di depan orang banyak. Bahkan sampai sekarangpun orang-orang tidak mengetahuinya, dan mereka iri padaku karena mereka berpikir aku mempunyai majikan yang begitu menyenangkan. Aku hanya dapat tersenyum kecut dalam hatiku. Andai saja mereka tahu kalau dia selalu punya komentar-komentar jelek tentang mereka setelah berbicara dengan mereka yang selalu dikatakannya kepadaku.”
“Tidak hanya tetangga-tetangga kami yang dijelekannya bahkan temannya sendiri, si A makan seperti sapi, si B terlalu pelit, si C inilah. Aku mungkin bisa menerima komentar-komentarnya jika saja dia tidak seperti itu. Akan tetapi kenyataannya dia tidak lebih baik dari pada orang yang dibicarakannya. Aku sebenarnya tidak tahan lagi, tapi apa boleh buat gajiku buat setahun sudah dibayarkan kepada ibuku, sehingga aku harus menyelesaikan kerja yang gajinya sudah diterima, karena pada saat itu adikku butuh uang buat masuk ke perguruan tinggi, dan dia mau membayar satu tahun gajiku asal dikorting. Aku bahkan telah bicara pada ibuku tentang ketidaknyamananku bekerja dengan dia. Bahkan aku mulai mencari pinjaman untuk mengganti uangnya kemudian berhenti bekerja dengan dia setelah aku mengembalikan uangnya, tapi ibuku melarang. Jika ibu sudah melarang untuk berhenti, aku tidak bisa apa-apa lagi.”
“Menurutmu aku harus bagaimana?” Akhirnya aku bertanya pada Lusi setelah bercerita panjang lebar.
“Mir, aku juga belum bisa memberikan masukan padamu.” Aku tahu Lusi cuma menghiburku dengan kata-kata belum bisa padahal aku tahu sebenarnya jawabannya tidak bisa.
“Beberapa minggu ini kau selalu datang ke tempatku dan menceritakan hal yang sama, kenapa kau tidak menerimanya saja? Kenapa kau tidak menerima saja kenyataan bahwa memang dia……..”
“Kau tidak suka aku datang ke tempatmu?” potongku.
“Bukan, kenapa kau tidak menerima saja kenyataan bahwa dia memang seperti itu? Dan kenapa tidak kau coba untuk berbicara dengannya? Bukankah selama ini dia hanya bercerita kepadamu?”
“Mudah bagimu berbicara seperti itu, bagaimana kalau kau sendiri yang mengalami hal tersebut? Kau pasti…?”
“Tapi kau datang ke sini kan Mir?” Bukankah kau minta pendapatku?”
“Aku belum selesai bicara!” ucapku.
“Baik, teruskan.”
“Aku sudah selesai .” Ucapku kesal, berharap bisa membalas Lusi yang tiba-tiba memotong ucapanku tadi.
“Baik, kau selalu datang ke sini setiap kau kesal, kau selalu menceritakan hal yang sama, bertanya apa yang harus aku lakukan, mengeluh aku harus bagaimana, dan ketika kucoba untuk memberimu saran kata-kata seperti itu yang kau berikan kepadaku. Kau tahu, kau mulai seperti dia, setiap datang ke sini kau selalu menceritakan kejelekan-kejelekannya, merasa kau lebih benar, merasa kau lebih baik dari dia dan………”
“Praaakkk.” Aku pergi setelah membanting pintu rumah Lusi, aku masih mendengar dia meneriakan sesuatu kepadaku, aku tidak peduli.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H