Terjadi di Korea, Relate Untuk Wanita di Seluruh Dunia
Buku Kim Ji-yeong Born 1982 ditulis oleh Cho Nam-joo dan diterbitkan pertama kali pada tahun 2016. Buku ini diterjemahkan dan diterbitkan pertama kali di Indonesia oleh Gramedia Pustaka pada tahun 2019.
Buku ini menceritakan tentang kehidupan Kim Ji-yeong sebagai seorang anak perempuan kedua di keluarganya. Tak hanya penggambaran Ji-yeong sebagai anak perempuan dalam keluarga, buku ini menceritakan bagaimana Ji-yeong dan perempuan lainnya harus melawan budaya patriarki di sekelilingnya dan gangguan mental yang disebabkan oleh budaya ini.
Patriarki sendiri merupakan suatu budaya atau sistem sosial yang menempatkan laki-laki sebagai pemegang kekuasaan utama dalam berbagai peran di masyarakat.
Menurut Pinem (2009)Â patriarki menempatkan laki-laki lebih tinggi daripada perempuan dalam segala aspek kehidupan sosial, ekonomi, dan budaya.
Buku ini mendapatkan pro-kontra di Korea Selatan pada awal penerbitannya. Mengingat, Korea Selatan memang masih kental akan budaya patriarki.
Faktanya, meskipun tergolong salah satu negara maju dengan pendidikan rata-rata penduduk yang tinggi, menurut World Economic Forum pada tahun 2013, Korea Selatan menempati rangking 111 dari 136 negara dalam masalah kesetaraan gender. Sementara itu, pada tahun 2022 Korea Selatan menempati urutan ke-99 dari 146 negara dalam peringkat kesenjangan gender.
Beberapa gambaran kesenjangan gender dan budaya patriarki dalam Buku Kim Ji-yeong Lahir 1982 adalah sebagai berikut.
1. Anak laki-laki lebih berharga dari anak perempuan
Pada bagian awal buku ini menggambarkan bagaimana anak laki-laki begitu dijunjung dan diidamkan. Hal ini digambarkan dari bagaimana nenek Ji-yeong memperlakukan Ji-yeong dan kakak perempuannya sangat berbeda dengan adik laki-lakinya. Gambaran lain perbedaan ini juga lengkap digambarkan pada halaman 23.
Pada halaman lain (halaman 31) juga diceritakan bagaimana ibu Ji-yeong dan saudara perempuannya yang harus bekerja untuk menyekolahkan saudara laki-laki mereka (paman Ji-yeong). Hal ini karena laki-laki dianggap lebih bisa mengangkat derajat keluarga.
Bahkan, ada bagian paling menyedihkan ketika ibu Ji-yeong harus menggugurkan anaknya hanya karena diketahui memiliki jenis kelamin perempuan. Tak hanya ibu Ji-yeong, diceritakan pada tahun itu jumlah aborsi meningkat karena anak dalam kandungan diketahui berjenis kelamin perempuan (halaman 26).
2. Perbedaan perilaku dan peraturan untuk laki-laki dan perempuan
Diceritakan pada masa sekolah anak perempuan diharuskan memakai pakaian yang amat sangat tertutup dan tidak nyaman, berbeda dengan anak laki-laki yang lebih bebas. Bahkan, dalam hal makan siang di sekolah pun, anak laki-laki didahulukan daripada anak perempuan.
Dalam keluarga Ji-yeong pun begitu kentara perbedaan perilaku antara Ji-yeong dan kakak perempuannya dengan adik laki-lakinya. Sejak kecil, Ji-yeong dan kakaknya sudah harus membantu ibunya dalam hal membersihkan rumah. Namun, berbeda dengan adik laki-lakinya yang bahkan tidak pernah melakukan pekerjaan rumah.
3. Seksualitas dan ketidakadilan pada korban pelecehan seksual
Selain kesetaraan gender, masalah lain yang melekat adalah mengenai pelecehan seksual.Â
Pada halaman 54 buku ini sedikit menceritakan tentang burberry man yang suka menggunakan mantel tanpa dalaman dan memamerkan tubuhnya pada perempuan. Suatu hari teman-teman perempuan sekelas Ji-yeong memergoki seorang burberry man dan menyorakinya dari kelas. Namun, teman-teman perempuan Ji-yeong malah dinasehati guru dan diminta untuk introspeksi diri.
Gambaran miris lain datang dari Ji-yeong sendiri yang hampir mengalami pelecehan seksual. Namun, ayahnya malah menyalahkan cara berpakaian Ji-yeong dan cara Ji-yeong berperilaku ramah pada orang-orang. Hal itu membuat Ji-yeong menjadi pendiam dan tak lagi menyapa atau menatap orang lain setelahnya (halaman 65).
4. Kesempatan yang berbeda bagi laki-laki dan perempuan
Perbedaan kesempatan antara laki-laki dan perempuan juga digambarkan dalam buku ini di beberapa halaman. Mulai dari perbedaan kesempatan perempuan untuk menjadi pemimpin hingga dalam pekerjaan.
Ji-yeong menemukan sebuah fakta tak terduga ketika dia gagal masuk dalam tim perencanaan yang akhirnya beranggotakan laki-laki semua. Suatu hari rekan kerjanya menceritakan bahwa laki-laki dipilih untuk proyek tersebut karena dianggap akan bekerja lebih lama.
Karyawan wanita dianggap tidak bisa menyeimbangkan karir dan keluarga mereka terutama setelah memiliki anak. Sehingga, karyawan wanita tidak dianggap sebagai karyawan jangka panjang (halaman 122).
5. Wanita pintar dianggap intimidatif
Pada halaman 95, Ji-yeong menceritakan tentang kakak seniornya yang merupakan mahasiswi berprestasi di jurusannya. Sayangnya, pihak kampus merekomendasikan 4 mahasiswa alih-alih merekomendasikan kakak senior perempuannya ini.Â
Ketika kakak seniornya bertanya, dosen pembimbing mengatakan bahwa perusahaan akan merasa terbebani dengan wanita yang terlalu pintar karena terkesan intimidatif.
6. Pandangan terhadap wanita dan ibu rumah tangga
Setelah menikah, Ji-yeong dan suaminya; Dae-hyeon memutuskan untuk menunda memiliki anak. Namun, keluarga Dae-hyeon beranggapan bahwa Ji-yeon mungkin tidak sehat sehingga mereka sulit memiliki anak. Ji-yeon merasa bahwa dia adalah perempuan cacat.
Ketika Ji-yeon bekerja saat hamil, Ji-yeon merasa dipandang sebelah mata karena bisa datang lebih lambat dari karyawan lainnya. Beberapa karyawan lain juga terang-terangan membicarakan masalah ini.
Ibu hamil di tempat umum juga dianggap beban. Ji-yeong sempat merasakan dirinya begitu rendah ketika seseorang terpaksa harus memberikan kursinya di transportasi umum untuk wanita hamil sepertinya.
Setelah memiliki anak, orang-orang tetap memandang rendah padanya karena dia adalah ibu rumah tangga yang bersantai di kafe dengan uang suaminya. Seolah, Ji-yeong tidak pantas menerima hal yang sama seperti orang lain.
Masalah dalam buku Kim Ji-yeong Lahir 1982 mungkin lebih kompleks dari itu semua. Meskipun kisah dalam buku hanyalah fiksi. Tetapi masalah-masalah dalam buku ini nyata adanya. Dan para wanita di seluruh dunia mungkin masih bergelut dengan patriarki di lingkungannya dan berjuang menghadapi masalah-masalah ketidaksetaraan gender ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H