Mohon tunggu...
R.H. Authonul Muther
R.H. Authonul Muther Mohon Tunggu... Penulis - Editor-in-chief Edisi Mori

R.H. Authonul Muther, yang akrab disapa Ririd, lahir 15 Desember 1998. Ia seorang editor in chief di penerbitan Edisi Mori yang fokus pada buku filsafat, sains dan humaniora. Ririd juga adalah seorang editor dan penyunting teks-teks filsafat. Minat kajian yang digeluti adalah filsafat, sastra dan politik; khususnya, ia lebih menekuni filsafat kontemporer. Sesekali melakukan perjalanan dan menuliskannya; sesekali juga menulis sebuah tulisan persembahan.

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Dari Hukum Internasional ke Krisis Kedaulatan: Tantangan Kedaulatan dan Sikap Indonesia atas Konflik Laut China Selatan

29 Mei 2024   14:00 Diperbarui: 29 Mei 2024   14:02 69
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ruang Kelas. Sumber Ilustrasi: PAXELS

Laut China Selatan berada di Samudera Pasifik dengan luas 3,5 juta km2, sebuah wilayah maritim yang meliputi wilayah laut Singapura, Selat Malaka, hingga Selat Taiwan. Dengan keluasan Laut China Selatan, ia menjadi wilayah maritim terluas ke lima di dunia. Di dalamnya terdapat banyak sekali sumber daya alam, baik dari segi pertambangan dan mineral maupun potensi perikanan dan kelautan. Laut China Selatan memiliki cadangan minyak dan gas yang setidaknya setara dengan cadangan minyak di Meksiko---barangkali, juga menjadi cadangan minyak terbesar kedua setelah Arab Saudi. Di sisi lain, secara geopolitik, Laut China Selatan merupakan sepertiga lalu lintas perdagangan dan pelayaran internasional. Di abad ke-21, wilayah Laut China Selatan, dengan segala potensi sumber daya alam dan geopolitik yang strategis, adalah wilayah di mana beberapa negara saling merebut teritori. Dengan status saling klaim atas wilayah Laut China Selatan, terdapat krisis kedaulatan dan, jika sampai naik ke status keadaan darurat yang mengancam keamanan nasional negara tertentu, perang terbuka tak bisa dihindari.

China, yang diwakili Beijing, mengkalim lebih dari 95 persen wilayah Laut China Selatan. Di sisi lain, Beijing juga mengklaim pulau-pulau kecil di Laut China Selatan dengan membangun sekitar 1.300 hektar untuk fasilitas militer---termasuk landasan pacu untuk menerbangkan pesawat pengebom Xian H-6. Dari 95 persen wilayah Laut China Selatan ini, 85 persen impor minyak mentah China berasal.

Keluasan Laut China Selatan memungkinkannya berbatasan dengan banyak negara: Republik Rakyat China, Malaysia, Taiwan, Singapura, Filipina, Brunei Darussalam, dan Indonesia. Oleh karena keluasannya, Laut China Selatan rentan mengalami sengketa batas wilayah yang akan mengakibatkan krisis kedaulatan. Sengketa wilayah Laut China Selatan terjadi karena klaim antar satu negara dengan negara lain saling tumpang tindih; dan peristiwa saling klaim ini pada akhirnya menimbulkan krisis kedaulatan.

Pada level ASEAN, misalnya, hubungan antara Filipina, China dan Vietnam tak begitu harmonis. Filipina memberikan banyak laporan adanya pelanggaran yang dilakukan oleh kapal China karena melewati perairan yang sedang disengketakan---bahkan sempat terjadi insiden penembakan sebuah kapal. Filipina juga melaporkan adanya intimidasi yang dilakukan kapal China tehadap kapal-kapal eksplorasi minyak Filipina. Selain Filipina, Vietnam juga bersitegang dengan China. Dua negara Komunis ini bersitegang setelah empat kali gagal melakukan diplomasi. Vietnam geram karena China terus-menerus mengeruk potensi perikanan di wilayah sengketa. Konsekuensinya, baik Filipina, Vietnam maupun China, meningkatkan kekuatan militer di Laut China Selatan.

Konflik di Laut China Selatan, bisa kita kategorikan menjadi dua: pertama, negara-negara yang masuk ke dalam claimant state; dan kedua, negara-negara non-claimant state. Negara claiment state merujuk pada negara yang melakukan klaim wilayah atas Laut China Selatan (Vietnam, Filipina, Brunei, misalnya); sedangkan negara non-claiment state merupakan negara yang tak melakukan klaim atas wilayah Laut China Selatan (Indonesia, misalnya, masuk ke dalam kategori kedua ini).

 Kita harus melihat sebentar latar belakang terkait konflik di wilayah Laut China Selatan. Seperti yang telah kita singgung sebelumnya, inti permasalahannya adalah klaim kepemilikan atas sebuah wilayah maritim maupun pulau tak berpenghuni di Laut China Selatan. Terdapat dua pulau utama yang menjadi sorotan beberapa negara, yakni Pulau Spratly dan Pulau Paracel yang klaim atas kepemilikannya saling tumpang tindih. Misalnya, China mengeluarkan peta Nine-Dashed Line (Sembilan Garis Putus-Putus) untuk menyatakan Pulau Spratly dan Paracel sebagai wilayahnya. Klaim teritori dari beberapa negara ini muncul karena gugusan pulau dan terumbu karang di Pulau Spratly dan Paracel terdapat cadangan minyak dan gas bumi yang melimpah.

Karena kepentingan antar negara yang begitu besar, wilayah Laut China Selatan menjadi zona potensi konflik militer bersekala besar. Lantas, apakah hukum internasional tak punya tawaran terhadap konflik klaim teritori atas Laut China Selatan?

Dari Hukum Internasional UNCLOS 1982 ke Krisis Kedaulatan

Pada dasarnya, dalam menyikapi konflik Laut China Selatan, hukum internasional membentuk pedoman UNCLOS pada tahun 1892 untuk memberikan tata cara suatu negara untuk mengklaim sebuah wilayah kelautan---misalnya tertuang di dalam Article 74 dan Article 123. Kita tahu, Laut China Selatan merupakan kawasan laut semi tertutup (semi-enclosed sea) yang membuat wilayah tersebut mempunyai sebuah ketentuan, yakni ketentuan UNCLOS (United Nations Convention on the Law of the Sea) pada tahun 1982, sebagai rujukan hukum teritori atas sebuah wilayah. Namun, China membuat kontrovesi dengan membuat peta Nine-Dash Line (Sembilan Garis Putus-Putus) yang dipublikasikan secara resmi untuk menunjuk batas teritori di Laut China Selatan. Sembilan Garis Putus-Putus digunakan China sebagai justifikasi terhadap Pulau Parcel dan Pulau Spratly.

Sembilan Garis Putus-Putus tak diakui oleh komunitas internasional, dan telah menjadi sumber konflik beberapa negara, termasuk Vietnam, Filipina, dan Brunei. Di dalam pedoman UNCLOS, yang juga telah diratifikasi oleh China pada tahun 1982, tak memberi hak kepada negara tertentu untuk mengklaim kedaulatan atas sebagian maupun keseluruhan wilayah Laut China Selatan. Karena beberapa ketakpatuhan China terhadap hukum internasional UNCLOS 1982, menyebabkan terjadinya banyak sengketa dan konflik antar negara.

Selain sengketa antar negara yang mengklaim teritori (claiment state), Laut China Selatan juga menjadi konflik kepentingan negara non-claiment state, negara yang bahkan tak berurusan langsung dengan perebutan wilayah. Misalnya Amerika Serikat beserta sekutunya (Australia misalnya), ingin memastikan jalur pelayaran di Laut China Selatan tak terhambat. Amerika was-was, konflik kedaulatan atau hak berdaulat beberapa negara atas wilayah di Laut China Selatan mengganggu ekonomi global, walhasil, Amerika juga menyusun sebuah intervensi politik. Hal ini tampak ketika Angkatan Laut Amerika Serikat secara berkala menerapkan operasi pelayaran di Laut China Selatan, dan memang disengaja untuk "menentang" klaim China. Di titik ini, Laut China Selatan tak hanya konflik Asia, melainkan merambah ke kepentingan dan intervensi politik global.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun