Mohon tunggu...
Aprilia Paramitasari
Aprilia Paramitasari Mohon Tunggu... -

Common crowd

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Sejawat (Bagian 1)

16 Februari 2011   15:38 Diperbarui: 26 Juni 2015   08:32 73
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Getaran ini membuatku terbangun dari tidur siangku. Ah, sms ini, rapat lagi. Buat apa sih rapat-rapat ini. Toh sedari awal skenarionya tidak pernah berubah. Aku menggerutu dalam hati. Mengganggu tidur siangku saja. Aku meletakkan kembali hp itu. Dan melanjutkan tidurku.

Begitu aku memasuki ruangan ini, aura tidak suka sudah jelas terpancar dari orang-orang yang hadir. Honestly, aku ngga terlalu peduli mereka suka padaku atau tidak, karena aku juga ngga berminat untuk mengisi formulir “suka” pada mereka. Tapi aku tetap saja masuk, dan mengambil tempat untuk duduk, mataku yang memang masih berat enggan rasannya untuk terbuka, apalagi kalo dihadapanku yang muncul wajah-wajah munafik itu. Aku menguap, lagi.. dan lagi.. rasanya memang rasa kantuk ini enggan berpaling. Sementara waktu berjalan lambat, kenapa tidak segera saja dimulai sih? Cepat mulai cepat selesai. Toh, kalau prediksiku benar, ngga akan ada perubahan setelah rapat ini. Skenario lama tetap berjalan. Menyampaikan bahwa fakta ketidak adilan lebih pada mereka, atau kerja mereka lebih berat, karena harus begini begitu. Hadeh.... siapa sih sebenarnya yang mau mereka bohongi dengan tampang palsu itu?

Rapat dibuka, seperti biasanya, dengan pertanyaan “ada yang ingin disampaikan?” (kadang aku heran kalo mereka yang ngajak rapat kenapa mereka mesti nanya agendanya?). Well, meski seharusnya ngga perlu ada pertanyaan tersebut. Tetapi tetap saja, agenda hari ini membahas soal jam kerja. Para pekerja non kroni mereka, seperti misalnya aku, merasa keberatan dengan jam kerja yang selama ini begitu menguntungkan mereka, dan mengajukan usul bagaimana jika dirolling saja, sehingga terasa adil untuk semua. Jadi, kusampaikan saja apa yang menjadi keberatan kami selama ini, dan prediksiku sama sekali tidak meleset. Jawaban dimulai dari bahwa dengan sistem jam kerja saat ini, justru mereka lah yang tidak untung, karena harus masuk setiap hari kerja dan harus mengeluarkan ongkos bensin perhari yang menghabiskan gaji mereka, belum lagi salah satu anggota keluarga kroni menimpali, bahwa kerja mereka lebih berat sebagai orang shift pagi karena harus mengurus tidak hanya mereka sendiri, tetapi para bawahan bahkan sampai ke OB, juga memastikan bahwa tidak ada bahan dan peralatanyang kurang untuk keperluan hari itu. Yang lain tak kalah heboh mendukung bahwa pekerjaan mereka justru jauh lebih berat dari kami karena tanggung jawabnya, auditnya, tidak ada uang tambahan, dll. Sehingga pada intinya mereka menolak usul rolling. Aku hanya tersenyum simpul mendengarkan bualan panjang lebar tersebut.

Kenapa kusebut bualan? Pertama.. kalau memang segitu beratnya pekerjaan mereka, kenapa mereka tidak mau dilakukan rolling? Kenapa mereka terkesan tidak rela pekerjaan tersebut dikerjakan secara bergiliran oleh rekan mereka sendiri? Kenapa mereka bersikeras mempertahankan pekerjaan tersebut untuk mereka sendiri? Apakah ada keuntungan lebih? Atau apakah sebegitunya mereka tidak percaya akan kemampuan rekan kerja mereka sendiri? Hmmm.. aku hanya tersenyum. Skenario ini sudah pernah ada, ketika pertama kali dulu aku juga mempertanyakan soal jam kerja yang aneh bian ajaib ini. Tapi toh ending yang dulu dan sekarang tetap sama, tidak ada solusi.

Kalau dulu, aku akan setengah mati bersikeras bahwa semuanya harus adil, tapi sekarang, ah... sudah malas rasanya aku berdebat panjang lebar dengan orang-orang bermuka dua macam mereka. Untuk apa? Supaya di belakang mereka bisa menyebarluaskan berita-berita yang memojokkan? Mengumbar fitnah disana-sini. Tuhan, saat ini aku hanya berharap, selesaikanlah rapat ini dengan segera. Dan syukurlah... panggilan datang. Ada yang sedang membutuhkan kinerjaku diluar, thanks god, akhirnya aku keluar juga dari ruangan ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun