Mohon tunggu...
Lizz
Lizz Mohon Tunggu... ibu rumah tangga -

Now only @ www.fiksilizz.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Memperkuat 'Jiwa' Fiksi Melalui Musik Latar

5 September 2014   19:15 Diperbarui: 18 Juni 2015   01:31 26
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada awal-awal saya bergabung di Kompasiana, saya nyaris selalu terbengong ketika membaca fiksi yang ada musik latarnya. Bagaimana bisa? Otak tumpul saya yang kelamaaan jadi IRT dan jarang diasah membuat saya tak mampu mengikuti kemajuan teknologi seperti itu (menyertakan musik latar dalam tulisan). Gaptek berat deh, pokoknya!

Sampai suatu saat saya menerima komen dari Mas Erri Subakti yang memberikan cara bagaimana menambahkan musik latar ke dalam tayangan tulisan. Sekali lagi, otak tumpul saya nggak mampu mencerna penjelasan sederhana dari Mas Erri. Terus terang saya cukup 'terganggu' dengan kebodohan saya itu.

Kalau cuma membaca teori thok tanpa mencoba praktek, ya marilah kita pikul kedodolan itu sepanjang hidup, begitulah saya bicara pada diri saya sendiri. Akhirnya dengan sejuta cenunukan alias terbata-bata, saya berhasil menyematkan musik latar pada karya fiksi saya (sudah lupa yang mana). Apalagi Mas Erri juga memberi tips bagaimana caranya agar musik itu bisa langsung mengalun begitu link tulisan terbuka (tergantung jaringan internet juga sih, lola apa enggak). Ternyata eh ternyata, setelah saya praktekkan langsung, menyematkan musik latar itu mudah banget. Saya jadi keranjingan melakukannya.

Sejak saat itu saya mulai bermain dengan musik latar. Mencoba memberi 'jiwa lebih' pada fiksi saya. Walaupun ada yang memprotes karena buka link tulisan saya jadi lola dan makan kuota banyak karena ada musiknya, saya nggak begitu gentar. Dengan 'sombongnya' saya bilang dalam hati, suka bacalah, nggak suka ya tinggalkan!

Tapi ketika Kompasiana jadi lebih sering tertimpa musibah error, menyematkan musik pada tulisan jadi nggak semudah biasanya. Ada yang sudah bisa disematkan, ternyata ketika dibuka malah jadi error tak berujung. Ada yang mulus-mulus saja. Dan saya sama sekali nggak tahu apa sebabnya.

Agak lama saya enggan menyematkan lagi lagu latar pada karya fiksi saya. Padahal sebetulnya musik latar itu cukup penting buat saya agar suasana dalam fiksi yang saya tulis bisa terbangun lebih baik. Dan buat saya sendiri, nggak gampang menemukan musik yang cocok dengan tema tulisan/fiksi yang hendak saya gelindingkan. Tapi justru di situlah letak keasyikannya, berusaha untuk menemukan musik latar yang cocok untuk cerita yang hendak saya tulis. Kadang-kadang malah ide untuk berfiksi muncul ketika saya mendengarkan sebuah lagu.

Beberapa fiksi saya belakangan ini ada yang saya tambahi musik latar, ada yang tidak. Sekarang sih sepertinya lebih ke sekadar iseng saja menyematkan musik latar, walau ada juga yang serius saya carikan musik yang cocok.

Contoh yang dengan serius saya carikan musik pendukung adalah cerpen Matinya Diki Anggada. Cerpen itu buat saya sendiri terasa cukup sadis dan mengerikan. Saya belum pernah menulis cerpen monolog yang seperti itu (kesannya hitam banget). Kebetulan saya menemukan lagu berjudul Lacrimosa dari Karl Jenkins. Lagu itu merupakan seri dari Requiem yang memang 'bicara' tentang kematian. Buat saya pribadi, suasana dari monolog yang saya tuliskan bisa lebih terbangun sehingga kesan mengerikan yang hendak saya ciptakan lebih terasa (itu menurut saya lho, entah menurut pembaca).

Berikutnya adalah cerpen Angsa Hitam. Ide untuk menuliskan cerpen itu muncul ketika saya sedang browsing lagu di youtube dan nyasar ke bagian video-video Swan Lake dari Tchaikovsky. Saya cuma mikir gimana ya kalo posisinya kebalik? Yang 'putih' sebenarnya 'hitam' dan yang selama ini dianggap 'hitam' sebenarnya putih? Hmmm...

Kemudian, ada juga lagu yang sudah lama ingin saya buatkan ceritanya tapi idenya menguap melulu alias nggak jadi-jadi. Lagu itu judulnya Per Te yang dinyanyikan oleh Josh Groban. Lama banget saya menunggu ilham jatuh dan tanpa diduga, di tengah saya menggarap cerbung Gaun Pengantin Berlian #7 (episode tamat), ada ide yang muncul untuk menggarap cerpen berdasar keromantisan lagu Per Te. Jadilah L'amore Vincera yang diganjar HL oleh Admin. Judulnya pun saya ambil dari potongan lirik lagu Per Te.

Jauh sebelum dapat ide untuk jabanin lagu itu jadi cerita, saya lebih dulu ngulik arti dari keseluruhan lagu itu. Google memudahkan segalanya. Dan saya makin 'menggelepar' untuk segera bertapa menunggu jatuhnya wangsit untuk menggarap cerita romantis berdasarkan lagu itu. Hasilnya? Jujur agak meleset karena ada sedih-sedihnya. Walaupun sebenarnya cocok juga sih karena irama lagunya ya memang rada memelas begitu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun