Mohon tunggu...
M. Auritsniyal Firdaus
M. Auritsniyal Firdaus Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Alumni S1 Jurusan Muamalah Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam IAIN Walisongo Semarang - Mahasiswa S2 Prodi Hukum Bisnis Syariah Jurusan Hukum Islam Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Money

Akad yang Dipakai Bank Syariah dalam Melakukan Kerjasama dengan Merchant

1 Juli 2015   13:10 Diperbarui: 1 Juli 2015   14:25 264
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Akad Yang Dipakai Bank Syariah dalam Melakukan Kerjasama dengan Merchant

Oleh : M. Auritsniyal Firdaus

Alumni S1 Jurusan Muamalah Fakultas Syariah IAIN Walisongo Semarang

Mahasiswa S2 Prodi Hukum Bisnis Syariah Jurusan Hukum Islam Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Perjanjian kerjasama antara merchant dengan bank syariah adalah perjanjian kerjasama yang menyangkut pembayaran pembelian ataupun transaksi lain yang dilakukan nasabah bank di merchant tertentu dengan menggunakan kartu elektronis yang diterbitkan bank syariah. Alat pembayaran kartu elektronis ini sesuai dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor : 7/52/PBI/2005 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Pembayaran Menggunaan Kartu, bahwa lembaga perbankan boleh menerbitkan alat pembayaran menggunakan kartu elektronis untuk memberikan kemudahan nasabah bertransaksi. Perjanjian kerjasama antara merchant dengan bank syariah tersebut tidak ada akad khusus secara syar’i yang mengatur di dalamnya, dengan demikian menggunakan akad tidak bernama sebagai aturan tersebut.

Sedangkan akad tidak bernama (aqad ghoiru musamma) adalah akad yang tidak disebutkan dengan terminologi khusus dan tidak pula menerangkan akibat hukum yang ditimbulkannya di dalam nash. Karena asal dari akad diperbolehkan dan tidak haram ataupun batal kecuali ada dalil yang mengharamkannya. Menurut Wahbah Zuhaili Akad tidak bernama (aqad ghoiru musamma) adalah Akad yang tidak disebutkan namanya secara khusus di dalam syara’ dan syara’ tidak mengatur hukumnya secara khusus. Sedangkan menurut Prof. Dr. H. Syamsul Anwar M.A memberikan pengertian akad tidak bernama adalah akad yang tidak mendapatkan pengaturan khusus dalam ketentuan fiqh dan tidak diberi nama tertentu, karena akad tersebut dibuat sesuai kebutuhan para pihak untuk memenuhi hajat dan kepentingan bermuamalah. Akad tidak bernama pada umumnya mengacu pada ketentuan-ketentuan akad dan asas kebebasan berakad (mabda’ hurriyat al-ta’aqud). Akad tak bernama ini muncul selaras dengan kepentingan para pihak dan merupakan akibat kebutuhan masyarakat yang terus berkembang. Contoh akad tak bernama adalah perjanjian penerbitan periklanan dan sebagainya.

Akad tidak bernama sering bermunculan dalam sejarah hukum Islam, suatu akad baru dan untuk waktu yang lama tidak mempunyai nama, kemudian diolah oleh para fuqaha diberi nama dan dibuatkan aturannya sehingga kemudian menjadi akad bernama. Misalnya akad al-ba’i bi al-wafa’ (jual beli opsi), dalam hukum Islam timbul dari praktik dan merupakan campuran antara gadai dan jual beli, meskipun unsur gadai lebih menonjol. Oleh karena itu diberi nama sendiri.

Adapun asas kebebasan berakad (mabda’ hurriyat al-ta’aqud), yaitu prinsip hukum yang menyatakan bahwa setiap orang dapat membuat akad jenis apapun tanpa terkait dengan nama-nama yang telah ditentukan dan memasukkan klausul-klausul apapun ke dalam akad yang dibuatnya sesuai dengan kepentingannya sejauh tidak bertentangan dengan hukum Islam.

Kebebasan berakad dalam hukum Islam dibatasi dengan ketentuan-ketentuan yang dilarang atau tidak dibenarkan oleh hukum Islam, baik secara langsung di dalam nash maupun berdasarkan ijtihad atas nash. Seperti larangan makan harta sesama dengan jalan bathil. Akad kebebasan berkontrak juga diatur dalam KUHPer Buku III Pasal 1338, yang berbunyi : semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan undang-undang berlaku bagi mereka yang membuatnya. Yang dimaksudkan oleh pasal tersebut, tidak lain dari pernyataan bahwa tiap perjanjian “mengikat” para pihak. Tetapi dari peraturan ini, dapat ditarik kesimpulan bahwa asas kebebasan berkontrak tidak melanggar ketertiban umum dan kesusilaan.

Kebebasan membuat perjanjian tersebut berarti orang dapat menciptakan hak-hak perseorangan yang tidak diatur dalam Buku III BW, tetapi diatur sendiri dalam perjanjian, sebab perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya (Pasal 1338 ayat 1 KUHPer). Namun, kebebasan berkontrak bukan berarti boleh membuat kontrak (perjanjian) secara bebas, tetapi kontrak (perjanjian) harus tetap dibuat dengan mengindahkan syarat-syarat untuk sahnya perjanjian, baik syarat umum sebagaimana disebut Pasal 1320 KUHPer maupun syarat khusus untuk perjanjian-perjanjian tertentu

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun