Hai sayang,Â
Aku wanita biasaÂ
Penikmat hangatnya senyumanÂ
Pembenci dinginnya pengabaianÂ
Seperti yang kukatakan, aku wanita biasaÂ
Terlalu tidak bisa untuk menjadi luar biasaÂ
Terlalu tersiksa untuk berubah dari hal yang sudah terbiasaÂ
Bolehkah aku menyayangimu dengan cara biasa?Â
Aku masih yakin, aku wanita biasaÂ
Mengumpati para perayu dan pujanggaÂ
Menghindari tawaran dan bahagia yang berlebihanÂ
Dan tetap saja aku terjatuh pada lubang-lubang yang samaÂ
Bolehkah aku memperhatikanmu dari dalam lubang tempatku bersemayam?Â
Aku bersikeras, aku wanita biasaÂ
Menekankan pisau lipat pada urat takdirku yang biasaÂ
Meneriakkan makian dan tuntutan akan kehidupan yang luar biasaÂ
Dan di sini aku ditampar ironi, mendorongku menjual diri tanpa label hargaÂ
Bolehkah aku tetap mengingatmu dengan peranku sebagai wanita biasa?Â
Aku kira, aku bukan lagi wanita biasaÂ
Penipu, perekayasa romansaÂ
Pendusta, pembolak-balik kataÂ
Pengkhianat, pelanggar janji dan ikrarÂ
Aku kira, aku memang bukan wanita biasaÂ
Lebih rendah dari rendahanÂ
Lebih murah dari murahanÂ
Lebih kecut dari pengecutÂ
Wanita biasaÂ
Bahkan lencana wanita biasaÂ
rasanya begitu berat untuk tersematkanÂ
Sepertinya aku telah menjandaÂ
Bahkan sejak sebelum aku sadar Â
Bahwa aku adalah seorang wanitaÂ
Â
(Depok, 2014)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H