Investor pada masa kini jika dilihat dari jangka waktu pembelian ekuitas bisa dibagi menjadi 2, Growth Investor, dan Value Investor. Growth Investor adalah investor jangka pendek, investor ini masuk ke bursa pada pagi hari saat pembukaan, dan keluar pada saat malah hari, investor ini tidak melihat suatu perusahaan bagus atau tidak, mereka melihat saham yang dijual menarik atau tidak, layak untuk mereka beli atau sebaliknya, tidak bisa dipungkiri bahwa ada perusahaan bagus yang memiliki saham jelek, atau perusahaan jelek yang memiliki saham luar biasa menarik, nah saham seperti  itulah yang diincar oleh para Growth Investor. Sebaliknya, Value Investing adalah investasi yang melihat bagus atau tidakya perusahaan yang akan mereka beli sahamnya. Value Investing memilih aset berdasarkan nilai intrinsiknya (pandangan para investor), dan mereka akan membeli suatu saham dikala saham tersebut memiliki nilai yang lebih rendah dibanding nilai intrinsiknya (undervalue).
Value Investors memiliki pandangan bahwa nilai (harga) saham adalah representasi nilai keseluruhan perusahaan yang bisa diukur dari laporan finansial, Value Investor juga tidak ambil pusing dengan rumor yang ada karena permintaan dan penawaran bisa sewaktu-waktu bergerak dikarenakan rumor, akan tetapi cepat atau lambat nilainya akan kembali ke nilai sebenarnya. Warren Buffet, Peter Lynch, Keluarga Templeton adalah 3 contoh investor sukses, dengan strategi Value Investing mereka, bahkan Value Investing mulai digadang-gadang sebagai strategi investasi paling sukses saat ini.
Pertanyaannya sekarang adalah darimana para Value Investor itu bisa menilai bagus atau tidaknya investasi yang mereka lakukan. Ternyata ada 3 pendekatan yang bisa diambil oleh mereka untuk menentukan apakah investasi mereka dalam suatu perusahaan bagus atau tidak. Pendekatan pertama adalah dengan melihat Price Earning Ratio (PER). PER adalah analisis nilai saham paling dasar, mudahnya PER membandingkan harga sebuah saham dengan keuntungan bersih dari perusahaan yang mengeluarkan saham tersebut, dari analisis ini kita bisa melihat harga wajar suatu saham. Semakin kecil nilai PER sebuah saham semakin besar pula keuntungan yang didapatkan oleh apalagi ditambah efek keuntungan ganda dari terjadinya capital appreciation. Pendekatan kedua adalah Price-to-book Value (PBV), PBV didapat dengan membandingkan total ekuitas dengan jumlah saham perusahaan tersebut yang terdaftar di bursa, pendekatan ini menilai apakah harga saham tersebut masih wajar, masih murah, atau sudah mahal (perkiraan murah atau mahal didapat dari perkiraan harga wajar untuk 1 tahun mendatang), semakin tinggi PBV suatu perusahaan, akan semakin besar pula ROE suatu perusahaan yang menandakan bahwa nilai sajam masih dibawah nilai intrinsiknya, sehingga saham layak untuk dibeli. Pendekatan terakhir adalah Dividend Yield, yang tentunya ditujukan supaya kita mengetahui berapa imbal hasil yang kita bisa dapatkan dari suatu saham.
Value Investing memang menggunakan kriteria penilaian yang sehat, dimana para investor yang menerapkan strategi ini bisa mendapat keuntungan diatas rata-rata yang diterima oleh pasar apabila berhasil membentuk portofolio, hal ini seperti yang terjadi pada seorang Warren Buffet, Value Investor yang menjadi orang terkaya ketiga di dunia. Dibalik kelebihan Value Investing terdapat beberapa kelemahan, antara lain Value Investing ini hanya cocok untuk investor jangka panjang, investasi ini membutuhkan kemahiran akuntansi, kesabaran, dan tentunya konsistensi, Value Investor tidak melibatkan orang banyak (karena hanya berpatokan pada laporan keuangan), dan Value Investing membutuhkan penyesuaian yang kontinu setiap waktunya.
Di Indonesia sendiri, kehadiran Value Investors belum terlalu terlihat, cukup banyak hambatan yang dialami oleh para investor untuk mengadopsi stratrgi Value Investing ini karena investor di Indonesia masih berada di dalam comfort zone mereka dengan menjadi Growth Investors. Apalagi mereka tahu kalau menjadi Value Investor harus memiliki kedisiplinan dan tentunya kesabaran yang tinggi untuk menilai setiap nilai saham yang ada. Orang Indonesia juga masih cenderung lebih suka berspekulasi pada investasi, sehingga mereka tidak berani untuk melakukan spekulasi terlalu jauh ke jangka yang lebih panjang. Faktor eksternal harus turut diperhitungkan adalah Financial of Corporate Governance masih kurang sistematis seperti negara-negara yang memiliki banyak Value Investor, sehingga Good Corporate Governance harus terus digalakkam supaya nantinya strategi Value Investing bisa tumbuh di Indonesia.
Last but not least, dalam dunia investasi optimisme yang berlebihan hanya akan menuju ke ambang kehancuran, karena semua barang memiliki harga wajar dan barang sebagus apapun tidak boleh dibeli dengan harga yang terlalu mahal. Jadilah investor yang cerdas! Karena investor cerdas membeli dari investor pesimis, dan menjualnya kepada investor optimis!
Ready to Invest? :)
[caption id="attachment_173086" align="alignnone" width="770" caption="Value Investing creating second richest man in the world, Warren Buffet"][/caption]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H