Mohon tunggu...
Aurelia Clarissa
Aurelia Clarissa Mohon Tunggu... Mahasiswa - Universitas Airlangga

Undergraduated Pharmacy Students at Universitas Airlangga

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Pengaruh Kebudayaan Jawa dalam Perawatan Ibu Hamil & Bayi Baru Lahir

21 Desember 2024   09:32 Diperbarui: 21 Desember 2024   09:33 54
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Budaya Jawa kaya dengan tradisi dan ritual yang mempengaruhi banyak sekali aspek kehidupan, termasuk kesehatan ibu hamil dan bayi baru lahir. Praktik budaya ini sering kali melibatkan serangkaian ritual, pantangan, dan nasihat dari generasi ke generasi, seperti ritual Mitoni dan pantangan makanan selama kehamilan, memberikan peran signifikan dalam membentuk pengalaman kehamilan dan pasca-kelahiran. Praktik ini tidak hanya mencerminkan nilai-nilai tradisional tetapi juga berfungsi sebagai mekanisme sosial untuk memberikan dukungan emosional maupun spiritual bagi ibu dan keluarga. 

1. Tradisi Kebudayaan Jawa Mitoni (Tingkeban) 

Upacara tingkepan sering disebut mitoni yaitu berasal dari kata Jawa pitu yang artinya 7 (tujuh). Upacara mitoni ini dilaksanakan setelah usia kehamilan mencapai 7 bulan pada kehamilan pertama. Upacara tingkepan ini biasanya dilaksanakan pada tanggal-tanggal yang mengandung nilai 7 yaitu seperti tanggal 7, tanggal 17 dan tanggal 27.  Di antara tanggal-tanggal tersebut, yang sering dipilih oleh masyarakat Jawa adalah tanggal 27 (dua puluh tujuh), karena tanggal tersebut adalah tanggal yang mengandung nilai 7 (tujuh) yang paling tua dalam bulan tersebut. Waktu untuk melaksanakan upacara biasanya pagi hari sekitar pukul 10.00  atau sore hari sekitar pukul 16.00.

2. Peran Pantangan dan Nasihat

Pantangan makanan dan perilaku selama kehamilan juga merupakan aspek penting dari pengaruh budaya Jawa. Beberapa makanan dianggap harus dihindari berdasarkan kepercayaan turun-temurun yang mengaitkannya dengan kesehatan janin. Selain itu, nasihat dari orang tua atau tokoh masyarakat sering kali memberikan panduan dalam menjaga kesehatan fisik dan spiritual ibu hamil. Seperti contoh ibu hamil dilarang makan ikan lele karena kumis lele akan menyebabkan kesulitan saat melahirkan, kepala bayi menjadi besar seperti lele, dan anak menjadi nakal, Ibu hamil tidak boleh duduk di depan pintu, dan lain sebagainya. 

3. Pengaruh Budaya pada Perawatan Bayi Baru Lahir

Setelah kelahiran, tradisi Jawa tetap berlanjut dalam bentuk upacara dan perawatan bayi. Salah satu praktik umum yang biasa dilakukan adalah ritual Tedak Siten, yaitu merayakan langkah pertama bayi di tanah. Ritual ini melambangkan harapan agar anak tumbuh sehat dan kuat. Selain itu, perawatan bayi baru lahir dalam kebudayaan Jawa juga sering kali melibatkan penggunaan ramuan herbal tradisional. Ramuan ini dipercaya dapat digunakan untuk memandikan atau memijat bayi agar tetap sehat dan terhindar dari penyakit. 

Upacara tradisi untuk masa kehamilan yang berkaitan dengan daur hidup masyarakat Jawa telah dilakukan sejak dahulu, yaitu pada masa sebelum kedatangan Islam di Indonesia, masa budaya Hindu. Ciri-ciri budaya Hindu masih sangat kental dengan upacara-upacara tradisi di Jawa, seperti pemujaan kepada leluhur dan hadirnya kekuatan-kekuatan alam yang sangat mempengaruhi kehidupan di dunia. Selain itu unsur-unsur budaya Hindu juga terdapat pada pemaknaan perlengkapan upacara tradisi seperti sesaji dan lain sebagainya. 

Pada perkembangannya upacara tradisi yang dilakukan masyarakat Jawa mengalami perkembangan dan perubahan dari masa ke masa. Ketika budaya Islam merembet masuk ke dalam budaya dan tradisi lokal yang dilatarbelakangi oleh Hindu, lambat laun upacara tradisi juga memasukkan unsur-unsur Islam terutama pada doa-doa yang menyertai upacara tradisi tersebut. Perkembangan teknologi dan globalisasi telah merubah fungsi dan esensi dari upacara tradisi masyarakat dalam Jawa. Kegiatan masyarakat yang padat dalam upaya memenuhi kebutuhan hidup menyebabkan masyarakat memiliki waktu yang terbatas untuk melaksanakan upacara tradisi, sehingga saat ini masyarakat hanya melaksanakan upacara tradisi yang dianggap penting. Perlengkapan dan tata cara yang rumit dalam upacara tradisi juga mulai disederhanakan, sehingga pemaknaan upacara tradisi hanya sebagai sarana untuk menjalin hubungan sosial kemasyarakatan dan kekeluargaan, serta mempertahankan budaya yang sudah turun temurun dari leluhur sebelumnya. 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun