Seiring berkembangnya zaman, tren thrifting semakin digandrungi masyarakat Indonesia. Aktivitas membeli pakaian/barang yang sudah tidak digunakan pemilik sebelumnya menjadi sangat populer dalam beberapa tahun terakhir. Harga yang terjangkau menjadi daya tarik utama bagi para pecinta thrifting. Tak hanya tren semata, fenomena ini turut memberikan peluang bisnis bagi segelintir masyarakat, contohnya Rosmana (63) atau yang akrab disapa Nenek.
Nenek yang merupakan seorang penduduk Depok, Jawa Barat ini telah memulai bisnis menjual barang bekas di rumahnya sekitar enam bulan yang lalu. Dalam perjalanannya, ia telah sukses menjadikan pakaian bekas sebagai produk andalan, serta menyediakan tas, sepatu, dan bahkan kebaya kepada pelanggannya.
Nenek asal Cianjur itu awalnya tidak menduga akan memulai bisnis penjualan barang-barang bekas setelah mendapatkan kesuksesan awal dari lungsuran baju yang ia jual dengan harga lima ribu rupiah di pos dekat rumahnya dengan ibu-ibu yang menjadi mayoritas pembelinya.
Melihat respon positif tersebut, Nenek kemudian memutuskan untuk fokus berjualan baju bekas dengan meminta bantuan lima adiknya untuk mendapatkan persediaan barang.
Dengan modal terbatas, Nenek dan suaminya bepergian ke beberapa tempat untuk mengumpulkan baju-baju yang akan dijualnya. Nenek pun mematok harga yang sangat terjangkau untuk barang jualannya, berkisar antara lima hingga lima belas ribu rupiah saja.
"Ada baju goceng, ada baju sepuluh ribu, ada baju lima belas ribu. Gak ada yang mahal, di atas 30 40 tuh gak ada, paling mahal baju gamis lima belas ribu. Abis ya gimana, yang beli juga kebanyakan tetangga," ungkap Nenek ketika ditanya perihal harga barang yang dijualnya.
Nenek menghadapi fluktuasi omzet harian dalam bisnisnya meskipun menjual barang dengan harga yang terjangkau. Pada beberapa hari omzetnya hanya mencapai 50 ribu rupiah, sementara pada hari lain yang banyak pembeli omsetnya bisa mencapai 200 ribu rupiah.
Meskipun demikian, yang terpenting bagi Nenek adalah kebutuhan sehari-harinya bisa terpenuhi. Nenek merasa bersyukur atas setiap jumlah penghasilan yang diperoleh dari bisnis tersebut, tak peduli seberapa besar atau kecilnya. Nenek juga mengungkapkan bahwa kini ia mampu ikut membayar iuran yang diadakan oleh RT setempat.
“Alhamdulillah sih Nenek gini juga, bisa buat kebutuhan gitu, ya abis gimana gak mau repotin anak, pada banyak kebutuhan. Yaudah atuh rezeki mah gak kemana, alhamduliilah bisa ngikut-ngikut iuran pengajian, jumatan, barusan juga udah nebus baju gamis karena harus seragam. Alhamdulillah lah,” ujar Nenek menambahkan.
Dampak positif thrift lokal juga dirasakan oleh Shepi (20), seorang mahasiswi yang gemar berbelanja thrifting. Shepi mengungkapkan bahwa dalam berbelanja thrift, ia memilih baju yang dianggapnya bagus dan sesuai dengan kebutuhannya, tanpa terlalu memperhatikan mereknya.