Selain pandangan media di Belanda, Indonesia sebagai negara yang menjadi korban pembantaian Westerling memiliki pandangan terhadap hal tersebut. Dendam sejarah masa lalu masih membuat sebagian orang Indonesia masih menyimpan citra kelabu tentang penjajahan Belanda.
Permasalahan yang diangkat bermacam-macam di media Indonesia pasca pembantaian Westerling. Adapun memuat bagaimana tanggapan pemerintah Indonesia terhadap sosok kontroversial Westerling menantang untuk diadili atas perbuatannya di Indonesia. Dilansir dari Kompas.com (2022), kasus pembantaian Westerling kembali dibicarakan pada tahun 1979 oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Da Costa, seorang anggota Komisi III DPR mengatakan Westerling menantang untuk diadili atas perbuatannya. Da Costa mengetahui hal tersebut setelah membaca laporan surat kabar Belanda.
Dalam surat kabar tersebut Westerling menanggapi pernyataan dari da Costa meminta pemerintah Indonesia mengekstradisi dan mengadili Westerling. Permintaan da Costa terhadap pemerintah untuk mengadili Westerling adalah upaya untuk tuduhan penjahat perang pembantaian yang disematkan kepada Westerling terungkap. Fakta sejarah perlu dikuak pengadilan terhadap Westerling.
Menurut da Costa, pemerintah Indonesia seolah-olah membiarkan Westerling hidup bebas di Belanda dan ia kecewa kepada Westerling yang selalu membantah tuduhan membantai 40.000 penduduk Sulawesi Selatan. Westerling hanya mengaku bahwa ia hanya membunuh 9.000 orang saja. Namun, pada 26 November 1987 Westerling tetap tidak tersentuh oleh hukum akibat pelanggaran berat HAM yang dilakukannya hingga ajal menjemputnya.
Adapun media di Indonesia yang mengkritik sikap pemerintah Belanda dalam peristiwa kekerasan yang dialami pada masa revolusi Indonesia, salah satunya pembantaian Westerling yang memakan banyak korban dalam sejarah Indonesia. Melansir dari Kompas.com (2022), seorang sejarawan Restu Gunawan mengkritik pemerintah Belanda untuk melakukan perbaikan dalam penulisan sejarah yang dilakukan Belanda.
Militer Belanda melakukan kekerasan ekstrim dan diketahui petinggi militer negara, tetapi tidak melakukan tindakan apapun untuk menghukum para pelaku. Kasus kekerasan di masa lalu yang dilakukan Belanda terhadap Indonesia tepatnya di Sulawesi Selatan dikumpulkan dalam dokumen arsip kejahatan perang Belanda.
Dokumen ini menjadi salah satu bukti untuk memerintahkan Pemerintah Belanda membayar ganti rugi kepada janda korban pembantaian di Sulawesi Selatan. Peneliti Belanda dan Indonesia menemukan bahwa kekerasan ekstrim yang dilakukan Belanda didukung diam-diam dari pemerintah.
Bentuk-bentuk kekerasan yang dilakukan Belanda dalam situs berita Detik.com (2022) menyatakan bentuk yang termasuk eksekusi di luar pengadilan, perlakuan buruk dan penyiksaan, penahanan yang tidak manusiawi, pembakaran rumah dan desa, pencurian, perampokan, perusakan, serangan udara yang tidak seimbang, penangkapan sewenang-wenang, suaka massal, dan pemerkosaan. Ini semua ditangani oleh tentara Belanda. Di sisi lain, pihak Indonesia juga menggunakan kekerasan, namanya saja perang. Namun, jumlah korban di pihak Indonesia dan Belanda tidak seimbang.
Ada perbandingan yang signifikan dari segi penyampaian media terhadap pembantaian bila dilihat dari dua sisi antara Belanda dan Indonesia.
Media massa di Indonesia mencondong terhadap kritik pemerintah Belanda dalam menanggapi pembantaian Westerling dari pasca sampai di masa sekarang. Kerugian yang diberikan Belanda terhadap Indonesia sangat besar dampaknya bagi masyarakat Indonesia.
Maka dari itu, banyak masyarakat menuliskan pandangannya tentang apa yang mereka rasakan tentang penjajahan Belanda pada masa lalu. Sedangkan, media massa Belanda terbagi menjadi dua pola. Pola pertama, banyak masyarakat menganggap Westerling adalah seorang pahlawan yang berjuang untuk kemenangan.
Pada 1954, Dewan menteri menyatakan bahwa Westerling dan komandan perang lainnya tak dituntut. Di Belanda, ia dipuja-puja bak pahlawan. Jumlah korban yang diakui Belanda hanya 2.000. Pola kedua, pandangan yang berasal dari apa yang terjadi yang berasal dari ingatan. Seperti buku yang berjudul “Di Belanda Tak Seorang pun Mempercayai Saya”. Dimana dalam buku ini memberikan pandangan mengenai yang terjadi sebenarnya dalam pembantaian tersebut.