CERPEN
SI FAJAR
Oleh. Rohmat Sholihin
Suasana masih terasa panas, tegang, dan membuncah. Guru sejarah itu masih marah dan merah kedua matanya. Membuat kami terasa diujung jurang yang siap diceburkan. Tak berkutik sedikitpun apalagi berani menatap matanya yang sangat marah. Begitulah sang guru yang sedikit mendapat tanggapan perlawanan dari anak didik, seakan kekuasaannya tercerabut dari akarnya. Goyah dan limbung malu bercampur gengsi. Pak Kayat, guru sejarah itu namanya. Orangnya jangkung, kurus, cekung matanya. Dari face-nya seakan ahli tirakat dan puasa. Tak ada humor, selalu tampak serius. Baginya sejarah adalah pergulatan waktu dengan peristiwa yang telah terjadi. Maka dari itu kita jangan sampai melewatkan sejarah itu sedikitpun dan kapanpun. Karena hidup manusia adalah goresan-goresan sejarah yang membeku dan siap meledak kapanpun. Hingga ada revolusi-revolusi dahsyat dari rakyat. Inilah perubahan sosial hasil dari goresan-goresan sejarah tiap-tiap manusia.
Dan siang, panas ini ia telah meronta dengan ganasnya. Matanya yang cekung mendelik dan siap menerkam mangsa. Ia berteriak dengan keras yang seakan tak pantas dilakukan karena mengganggu aktifitas kelas sebelahnya. Karena pengaruh emosi dengan satu tanggapan siswanya yang paling aneh dan pendiam, namanya Fajar. Jarang bicara dan bercanda dengan kawan-kawannya tapi ia bukan anak yang sombong dan angkuh dengan sikapnya itu. Ia sebenarnya anak yang suka bergaul dengan kawan-kawan, cuman waktunya banyak digunakan untuk berkunjung di perpustakaan. Ia suka membaca apa saja. Ia tak pernah lepas dari buku. Buku adalah teman akrabnya. Anehnya, ia tipe anak yang paling pintar namun ia tak mau mendapatkan peringkat pertama dalam kelasnya meskipun nilainya paling tinggi dalam satu kelas, bukan hanya satu kelas namun satu sekolahan.
Ia meminta pada wali kelasnya supaya nilainya dirubah menjadi peringkat yang paling belakang sendiri. Pernah juga mendapatkan prestasi terbaik dalam lomba karya tulis tingkat provinsi, ia tak datang mengambil hadiah itu. Akhirnya pihak sekolah yang mengambil hadiah itu sebagai salah satu pelengkap instrumen akreditasi sekolah. Itulah Fajar yang aneh dan kontroversial. Ia berani dan jujur dalam membela pendapatnya selagi benar. Dan tentu sifat setia kawannya yang tak dapat dibantah oleh siapapun. Ia juga sangat mengecam tawuran antar pelajar yang lagi marak terjadi sekarang ini. Baginya tawuran hanya pekerjaan bandit-bandit yang bodoh, atau memang gurunya yang telah menjadi bandit juga. Dan siang ini ia telah di hardik oleh Pak Kayat yang kurang bisa menerima pendapatnya tentang pertempuran 10 Nopember 1945 di Surabaya yang dahsyat itu. Hingga terjadi adu mulut diantara keduanya.
“Apa? Ulangi bicaramu!” bentak Pak Kayat.
“Barusan bapak menjelaskan peristiwa 10 Nopember 1945 di Surabaya. Bapak menganggap bahwa orang yang paling penting dan berjasa tiada tara adalah Bung Tomo karena telah berhasil menggerakkan rakyat terutama arek-arek Suroboyo untuk bertempur melawan tentara Inggris yang telah diboncengi NICA (Netherlands Indies Civil Administration), sedangkan saya memberi tanggapan sesuai dengan apa yang telah aku baca bahwa ada tokoh yang lebih berperan yang sampai saat ini masih misterius dalam peristiwa 10 Nopember 1945, yaitu Soemarsono sebagai ketua PRI (Pemuda Republik Indonesia), sedangkan Bung Tomo adalah anak buahnya karena Bung Tomo menjabat bagian penerangan di PRI. Akan tetapi jika dihitung-hitung yang paling berjasa dan bisa dikatakan pahlawan adalah rakyat, apa jadinya tanpa rakyat. Tak mungkin kekuatan tentara Inggris yang berpengalaman mau dilawan oleh satu orang yang bernama Bung Tomo. Belum lagi gebrakan yang dilakukan kalangan santri dibawah semboyan jihad yang dikobarkan oleh KH. Hasyim Asyari dan KH Wahab Hasybullah. Saya hanya memberikan pendapat begitu bapak, jadi bukan hanya Bung Tomo yang harus dijadikan pahlawan dalam peristiwa itu. Tapi adalah Rakyat. Tanpa rakyat kita tak kan bisa berbuat apa-apa. Dan maaf bapak, bukan aku berniat melawan pendapat bapak. Tapi, keterangan dalam buku begitu.” Fajar menjawab dengan diplomatis.
Pak Kayat masih saja belum terima atas tendangan Fajar yang ampuh. Dia masih saja memandang tajam dan sinis pada Fajar. Seakan ia tak terima dan ia merasa paling benar atas keterangannya.
“Akan tetapi Soemarsono adalah tokoh PKI (Partai Komunis Indonesia) ilegal, tahu kamu Fajar. Dan PKI adalah musuh kita yang harus dilibas habis. Sebab, ia telah tersangkut peristiwa Madiun 1948. Yang ingin memberontak kepada Republik Indonesia.” Hardik Pak Kayat kejam.
“Betul bapak!. Ia memang tokoh PKI ilegal. Dan yang aku permasalahkan bukan tersangkut PKI atau tidak. Saya hanya mengatakan bahwa Soemarsono adalah juga faktor yang penting dalam perang 10 Nopember itu. Kenapa bapak hanya menyinggung Bung Tomo saja. Bukan keseluruhan dan detail, seperti KH. Hasyim Asyari, KH. Wahab Hasybullah, Roeslan Abdulgani, dan masih banyak tokoh yang lain, kenapa hanya Bung Tomo saja.” Bantah Fajar.
“Kau membantahku ya!, kau merasa paling tahu dan pinter disini, begitu. Lalu mentang-mentang mau menjatuhkan aku di depan teman-temanmu.” Pak Kayat tidak kalah seru emosinya.
“Bukan begitu Pak Kayat, aku hanya memberi tanggapan saja. Tapi, Pak Kayat sudah keburu marah-marah dan lepas kontrol. Aku hanya mengusulkan pada forum pembelajaran ini dan memberikan info jika ada tokoh kunci peristiwa 10 Nopember 1945 di Surabaya yang bernama Soemarsono yang misterius dan banyak orang tidak kenal. Ini perlu untuk diangkat dalam masalah sejarah perjuangan anak bangsa yang begitu panjang dan melelahkan. Agar teman-teman yang lain tahu dan berfikir bahwa banyak tokoh penting dibaliknya. Bukan terus kita sangkut pautkan dengan organisasi politik yang telah menjadi momok atau phobia di negara kita yaitu PKI, partai yang berhaluan kiri dan Marxis itu. Apalagi kita langsung memfonis miring tanpa kita pelajari dulu secara wajar.” Argumen Fajar yang memukau.
Namun. Apa daya arti penjelasan jika emosi telah merasuk dalam jiwa yang kolot dan dangkal.
“Pergi kau!, keluar dari kelasku ini. Karena aku yang menentukan semuanya.” Teriak Pak Kayat, guru sejarah yang jangkung itu. “Dan besok orang tuamu suruh menghadapku.” Perintah Pak Kayat.
Dengan langkah kalah dan gontai. Fajar meninggalkan kelas yang masih panas dan tegang itu. Namun hatinya tetap teduh dan tenang, seakan masalah itu bukanlah masalah yang besar. Masalah yang ringan yang hanya menghias pojok perasaannya yang kuat dan kokoh, sekokoh memperjuangkan ide dan pendapatnya yang ia anggap benar. Ia tersenyum pada teman-temannya yang masih terselimuti ketakutan dan merinding dengan kemarahan Pak Kayat. Ia juga masih sempat meminta maaf pada teman-temannya. Dan sebelum pergi keluar, ia berhenti didepan Pak Kayat. Ia raih tangan Pak Kayat lalu ia cium dan berkata.
“jangan marah Pak. Sejarah adalah goresan waktu dan peristiwa yang dapat meledak setiap saat. Dan sesuai apa yang ditulis oleh budayawan Pramoedya bahwa sejarah memang bisa menggulung siapa saja, tetapi manusia bukanlah sepotong gabus yang setelah terombang-ambing dapat diempas ke daratan dan menjadi sampah dipantai,”. Lalu ia pergi meninggalkan kelas dengan tanpa sedikitpun takut. Tak perduli jika ia harus menerima resiko yang lebih besar. Ah kau Fajar, tak sedikitpun rasa bersalah yang hinggap di hatimu. Salah atau benar ia hanya menyampaikan ide yang ia tahu. Apakah itu salah?.
Bangilan, 1 Maret 2016.