https://athisa88.wordpress.com/2015/02/25/legenda-air-mata-putri-meng-jiang/
Puteri Bah Tei # 4
Oleh. Rohmat Sholihin
Ki Baroto
Fajar menyingsing. Suara-suara penghuni hutan Bukitduwur mulai riuh menyambut bola api kehidupan matahari. Bangsa burung berciut-ciutan indah sekali. Kera-kera berlompat-lompatan dari ranting pohon dengan lincah dan riang menggambarkan rasa syukur telah melewati malam dan berganti pagi. Sang pencipta menciptakan malam dan pagi adalah tanda-tanda kebesaranNya agar seluruh makhluk merasa bersyukur masih menghirup nikmat dari sang pencipta. Bah Tei dan Joko masih terus berjalan menyusuri hutan menuju bukit. Mereka ingin mencari Ki Baroto seorang kakek yang telah menolong Joko sewaktu terjebak dalam lumpur hidup.
“Sebentar lagi kita akan sampai diatas bukit Tei.”
“Iya Joko. Tubuh rasanya seperti ditikam seribu belati. Nyeri karena capek. Tapi aku sangat bahagia dan bersyukur bisa melewati cobaan itu dengan selamat. Karena Allah masih memberikan kita kesempatan hidup.”
“Betul Tei. Allah memberikan pertolongan lewat perantara-perantara, termasuk Ki Baroto yang telah menyelamatkanku dari jebakan lumpur hidup itu. Jika tak ada pertolongan dari Allah mungkin tak kan ada lagi kesempatan hidup lagi padaku. Tubuhku sudah ambles ke dalam lumpur itu, hanya tinggal jariku yang hanya dapat memegang angin saja. Syukurlah Ki Baroto dengan cepat menyelamatkan aku. Alhamdulillah.”
“Akhirnya kita sampai dipuncak bukit Joko.”
Joko hanya diam, kedua matanya terus mengawasi sekitar bukit yang curam dan hijau. Penuh semak-semak belukar. Masih saja diam tak menghiraukan omongan Bah Tei. Seperti orang yang bingung dan tersesat untuk mencari jalan keluar.
“Dimana pondok itu Tei? sepertinya dibawah bukit hanya ada semak-semak belukar.”