Bangunan stasiun tua itu telah sirna. Berganti bangunan perumahan warga, tanahnya terkavling-kavling untuk berbagai macam kepentingan, ada yang dibuat rumah, ruko, dan ada yang dibuat kebun jati, kebun pisang dan kebun sayur-sayuran. Aku termangu di depan puingnya, hatiku masih merasakan getaran kereta api tua jurusan Bojonegoro-Rembang, seakan-akan suasana itu masih jelas terekam dalam ingatan. Dan mataku masih memperhatikan puing-puingnya.
Ada sepotong kenangan yang tertinggal dalam puing-puing stasiun tua itu. Suatu hari aku menunggumu di taman stasiun yang penuh dengan bunga kamboja. Hembusan angin memainkan daun dan bunganya yang bertebaran jatuh ke tanah, tak kalah aroma harum bunga itu ikut terbawa. Mungkin kereta api datang di stasiun tua ini kurang lebih sejam lagi. Telat, karena harus menunggu kereta api dari Rembang menuju Bojonegoro dan bertemu di stasiun Sembung terlebih dahulu. Meski agak lama, aku harus tetap menunggumu dengan hatiku yang bertalu-talu. Dan yang kutunggu akhirnya datang juga.
Dari kejauhan lokomotif tua berjalan menderu-deru dengan terompet khasnya yang memekakkan telinga. Tibalah kereta api di stasiun tua ini. Senyum manismu membuatku semakin meraju.
“Sudah lama kau menungguku mas?” tanyamu
“Baru sejam. Dan itu hal biasa dalam dunia kereta api.”
“Apa itu mas?”
“Terlambat.”
“Iya. “
“Lebih baik datang terlambat asalkan selamat dan utuh.”
“Apa maksudmu mas?”
“Ehm, utuh dengan senyum manismu.”