Isu dinasti politik kembali mencuat di Indonesia dengan ketertarikan putra bungsu Presiden Joko Widodo, Kaesang Pangarep, untuk terjun ke dunia politik. Meski bukan hal baru dalam sejarah politik Indonesia, fenomena ini membangkitkan kekhawatiran akan potensi pemusatan kekuasaan dalam satu keluarga atau kelompok tertentu. Dinasti politik tidak hanya mengancam prinsip kesetaraan dan keterbukaan dalam demokrasi, tetapi juga dapat menjadi pintu masuk bagi praktik nepotisme dan korupsi.
Pertama, dinasti politik cenderung menciptakan lingkaran kekuasaan yang sempit dan eksklusif. Keluarga atau kelompok tertentu mendapat akses istimewa ke posisi kekuasaan, sementara warga negara lain dengan kapabilitas yang mungkin lebih baik justru tersisihkan. Hal ini bertentangan dengan prinsip kesetaraan dan keadilan dalam demokrasi, di mana setiap warga negara seharusnya memiliki kesempatan yang sama untuk berpartisipasi dan berkompetisi secara adil.
Kedua, dinasti politik dapat membuka peluang bagi praktik nepotisme dan korupsi. Dengan kekuasaan yang terpusat dalam satu keluarga atau kelompok, terdapat risiko penyalahgunaan kekuasaan untuk kepentingan pribadi atau kroni. Sebagaimana disoroti oleh Foreign Policy, era pemerintahan Jokowi pun tidak luput dari kontroversi terkait penurunan situasi HAM dan pelemahan institusi demokrasi (Foreign Policy, Januari 2023).
Ketiga, dinasti politik dapat mengancam prinsip check and balances dalam sistem demokrasi. Ketika kekuasaan terpusat dalam satu keluarga atau kelompok, potensi untuk saling mengawasi dan menyeimbangkan menjadi berkurang. Hal ini dapat membuka jalan bagi penyalahgunaan kekuasaan tanpa adanya kontrol yang efektif.
Keempat, dinasti politik dapat menghambat regenerasi kepemimpinan yang sehat dan dinamis. Ketika posisi kekuasaan dimonopoli oleh satu keluarga atau kelompok, hal ini dapat menghalangi munculnya pemimpin-pemimpin baru dengan ide-ide segar dan perspektif yang beragam. Demokrasi membutuhkan sirkulasi kepemimpinan yang sehat untuk menjamin keberlanjutan dan kemajuan bangsa.
Kelima, dinasti politik berpotensi menimbulkan kekecewaan dan ketidakpercayaan masyarakat terhadap sistem demokrasi. Ketika masyarakat melihat bahwa kekuasaan hanya beredar di kalangan tertentu, hal ini dapat memicu sentimen bahwa demokrasi hanyalah kedok bagi kepentingan segelintir orang. Kondisi ini dapat melemahkan legitimasi sistem demokrasi di mata publik.
Terlepas dari klaim bahwa Indonesia memiliki pembatasan masa jabatan dua periode, kita harus tetap waspada terhadap upaya-upaya untuk mempertahankan atau mewariskan kekuasaan melalui dinasti politik. Sejarah telah membuktikan bahwa dinasti politik dapat menjadi pintu masuk bagi otoritarianisme dan pelanggengan kekuasaan, seperti yang terjadi pada era Soeharto.
Dinasti politik merupakan ancaman serius bagi demokrasi Indonesia. Meskipun individu-individu yang terlibat dalam dinasti politik mungkin memiliki kapabilitas dan popularitas tertentu, kita tidak boleh mengabaikan prinsip-prinsip kesetaraan, keterbukaan, dan check and balances yang menjadi pilar demokrasi. Partai politik dan masyarakat harus berperan aktif dalam mencegah dan melawan dinasti politik, dengan memastikan proses pemilihan yang adil dan terbuka bagi semua warga negara yang memenuhi syarat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H