Ketika detak jantung terakhirnya, pesan belasungkawa segera terbang di semua ponsel. Ketika ambulans membunyikan sirinenya sepanjang jalanan kota, hujan mengiringi bersama angin dan petir. Napas seorang bapak telah tenang, meninggalkan segala urusan duniawinya dan menyusul sang istri yang lebih dulu berpulang.
Hanya delapan bulan ia sendiri. Hanya delapan bulan ia menduda. Kini, tinggallah anak-anaknya yang masih menyusun masa depan. Wajah tuanya yang lelah tersamarkan oleh senyum pucat. Wanginya menggelitik hati. Para malaikat mendampingi tubuh kurus itu, menaburkan bubuk bunga pada raga dinginnya.
Di seberang sana, ada yang merutuki nasib buruknya, aku. Gadis yang baru saja kehilangan sahabat, kini Tuhan merebut guru kesayangannya. Aku meraung marah saat mengeja pesan malam yang sungguh gelap. Tanganku mengepal. Apa tahun itu aku ditakdirkan untuk kerap mengunjungi pemakaman?
Tawanya terlintas di telinga. Memintaku kembali pada pertemuan terakhirku. Mataku menatap lurus, air mata deras mengucur. Hatiku mengutuk, mengemis belas kasih. Bulan ramadan, itulah memorinya. Kenangan yang sampai saat ini tersimpan.
"Syukurlah aku ke sana hari itu," batinku.
Entah dorongan dari mana juga aku mau menapakkan kaki ke tempat yang membuatku trauma. Setelah bertahun-tahun aku menolak ajakan buka puasa bersama di sana, namun hari itu aku mengiyakannya. Kalau dipikir-pikir, apa Tuhan menggerakkan hati karena ingin mengambilnya sesegera mungkin?
"Bertemulah, kau tak akan bertemu lagi setelah ini," mungkin begitu.
***
Aku ingat betul, jantungku berdebar saat memasuki gerbang sekolah pertamaku di kota ini. Kalau ada cermin di depan, aku pasti sudah bisa melihat betapa pucatnya bibirku. Keringat membuat telapak tanganku kedinginan. Angin malam melucuti keberanianku. Tawaku menutupi gemetarnya kedua kaki ini. Banyak lelucon yang sebenarnya menghibur, namun jantung ini berdegup makin cepat. Mataku siaga, melirik ke sana ke mari, sudah seperti takut bertemu penunggu bangunan lama.
Tidak, aku tidak sendiri. Ada empat orang lainnya, yang sama-sama aneh soal menyetujui rencana bukber itu. Saat memasuki area, bedug sudah ditabuhkan. Kami berbuka di musala lebih dulu, lebih tepatnya bersembunyi dan menyiapkan mental. Selesai salat magrib dan menyiram tenggorokan yang sudah kering, kami melangkah ke acara.