Cerita Ki Ageng Pandhanarang merupakan cerita rakyat dari Jawa Tengah yang tertulis dalam naskah berbahasa Jawa dengan aksara latin berbentuk prosa pada tahun 1938 oleh Soewignja. Tempat penyimpanan naskah ini terdapat di Yayasan Sastra Lestari dengan kode katalog 552 series dari Bale Poestaka. Naskah ini menceritakan mengenai riwayat dan perjalanan dari Ki Ageng Pandhanarang yang merupakan Bupati Semarang yang diangkat oleh Sultan Demak Bintara. Ia diangkat menjadi Bupati Semarang atas hasil perundingan antara Sutan Hadiwijaya yang kala itu menjadi penasehat istana Demak dan Sunan Kalijaga.
Ki Ageng Pandhanarang yang memiliki nama asli Pangeran Mangkubumi dengan gelar Sunan Bayat atau Sunan Tembayat merupakan salah satu seseorang yang terlibat dalam penyebaran agama Islam di pulau Jawa pada masa wali sango, walaupun ia bukan termasuk dalam wali songo tetapi dalam mengemban amanatnya beliau sangat menjalankan tugasnya dengan baik dan  dilakukan dengan sepenuh hati selama menjadi Bupati Semarang. Ia melakukan beberapa tugasnya, antara lain ia membangun rumah ibadah dan menyebarkan agama Islam di penjuru kota.
Dalam naskah ini diceritakan bahwa Ki Ageng Pandhanarang mengalami perubahan sifat yang terjadi begitu saja, menunjukkan bahwa seorang pempimpin pun merupakan manusia biasa yang dapat berubah dalam sekejap waktu. Manusia kerap kali lupa diri atas kemewahaan duniawi dan membuat dirinya memiliki sifat yang sombong dan kikir. Ini terjadi pada Ki Ageng Pandhanarang yang mengumpulkan harta untuk kemewahan dirinya  hingga lalai dalam tugas-tugasnya baik sebagai seorang bupati maupun dalam tugas menyebarkan agama Islam. Ia tidak pernah lagi memberikan pengajian, ceramah kepada rakyatnya, dan ia tidak pernah merawat pondok pesantren dan tempat-tempat ibadah.
Mengetahui hal itu Sunan Kalijaga berniat untuk menyadarkan Ki Ageng Pandhanarang dengan beberapa cara, yaitu dengan menyamar menjadi penjual rumput. Di sela-sela  menjualkan rumputya, Sunan Kalijaga memberikan nasihat untuk Ki Ageng Pandhanarang karena telah menjadi penggila duniawi. Namun, nasehat itu ditolak mentah-mentah oleh Ki Ageng Pandhanarang. Sunan Kalijaga tidak menyerah untuk menyadarkan Ki Ageng Pandhanarang melakukan penyamaran yang lain yaitu menjadi pengemis.Â
Ki Ageng Pandhanarang atau bupati ini menjadi murka karena ketika melemparkan koin kepada pengemis tersebut tidak pergi. Setelah itu, pengemis tersebut melemparkan tanah yang ada di genggamannya ke arah Ki Ageng Pandhanarang. Betapa kagetnya tanah itu berubah menjadi sebongkah emas lalu diambilkannya emas itu oleh Ki Ageng Pandhanarang untuk membangun rumah yang mewah.Â
Sunan kalijaga lagi-lagi menyamar menjadi seorang yang berpakaian kumuh Ketika datang ke rumah mewah Ki Ageng Pandhanarang dengan memberi nasehat tentang harta yang tidak akan kekal di dunia. Akhirnya dengan berbagai cara nasehat, Ki Ageng Pandhanarang menyadari bahwa dirinya sedang diuji oleh sosok yang tidak biasa yang ternyata adalah Sunan Kalijaga.
Mengetahui hal itu Ki Ageng Pandhanarang langsung meminta maaf karena telah bersikap tidak baik dan ingin menjadi murid Sunan Kalijaga dengan beberapa syarat yang diberikan. Saat itulah Ki Ageng Pandhanarang melepas kegilaan terhadap duniawinya dan pergi ke Bayat untuk menjadi murid dari Sunan Kalijaga.
Dalam perjalanan ke Bayat ini dituliskan dalam naskah ini bahwa Ki Ageng Pandhanarang memiliki kesaktian sejak menjadi murid dari Sunan Kalijaga salah satunya ialah merubah wajah manusia menjadi domba karena mengganggu istrinya dalam perjalanan menuju Bayat. Dalam kisahnya Ki Ageng Pandhanarang bertaubat dalam kegilaan duniawi akhirnya dikenal banyak orang khususnya wilayah Jawa dalam perbuatan yang ia lakukan seperti membangun masjid-masjid karena ketika berguru kepada Sunan Kalijaga beliau merupakan murid yang yang cerdas dan rajin. Berkat kecerdasannya, ia pun mendirikan sebuah perguruan di Gunung Jabalkat. Ajaran Ki Ageng Pandhanarang yang paling menonjol dikenal dengan istilah Patembayatan, yaitu kerukunan dan kegotongroyongan. Setiap orang yang datang untuk memeluk agama Islam harus mengucapkan Sahadat Tembayat. Berkat ajaran Patembayatan, ia juga berhasil mendirikan sebuah masjid di Bukit Gala.
Kisah ini menjadikan pelajaran yang sangat berharga bagi pembacanya bahwa janganlah tergila-gila dengan harta duniawi yang tidak kekal. Oleh karena sibuk mengejar kemewahan duniawi, akhirnya ia lupa pada kehidupan akhirat yang kekal. Namun, seburuk-buruknya perbuatan seeorang, jika ia segera bertaubat, maka Tuhan akan mengampuni. Berkat kesadarannya ingin cepat bertaubat, Ki Ageng Pandhanarang direstui menjadi murid Sunan Kalijaga hingga akhirnya menjadi seorang sunan penyebar agama Islam di Jawa Tengah pada masa lalu dan terus dikenang hingga saat ini.
Untuk mengenang jasa besar Sunan Bayat atau Ki Ageng Pandhanarang diadakannya upacara Ruwatan yang digelar dengan rangkaian upacara bersih makam, mengganti kain penutup makam, serta pertunjukan Reog.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H