Mohon tunggu...
Aura Kayla
Aura Kayla Mohon Tunggu... Jurnalis - Mahasiswa Ilmu Komunikasi

Hobi Menulis

Selanjutnya

Tutup

Foodie

Jenang Gempol Bu Tum: Setia pada Rasa, Setia pada Warisan

25 Desember 2024   13:22 Diperbarui: 25 Desember 2024   13:22 214
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Jenang gempol bu Tum, warisan turun temurun (Sumber: Aura Kayla C.P)

Yogyakarta - Di sudut sebuah kampung kecil di Sewon, ada sebuah cerita yang tak lekang oleh waktu. Sebuah cerita tentang jenang gempol, kudapan tradisional yang menjadi saksi perjalanan hidup sebuah keluarga. Selama lebih dari 20 tahun, jenang gempol ini tidak hanya menjadi sumber penghidupan tetapi juga simbol kegigihan dan kerja keras. Di tengah maraknya makanan cepat saji yang praktis, jenang gempol buatan tangan masih setia menggugah selera para pecinta kuliner tradisional. Dari sebuah lapak sederhana di Pasar Patuk, Yogyakarta, jenang ini telah melintasi tiga generasi sejak tahun 1950. Dibuat dengan kesabaran dan resep warisan keluarga, kuliner manis ini bertahan di tengah arus modernisasi yang kian deras.

"Dulu ibu yang mulai jualan. Tapi setelah ibu meninggal, saya yang meneruskan," kata pemilik usaha jenang gempol ini, mengenang awal mula perjalanan kuliner keluarganya. Krisis moneter di akhir 1990-an memaksa banyak orang untuk kembali ke akar, mencari penghidupan di kampung halaman. Dari situ, Bu Tum memilih kembali ke kampung halaman dan terus bertahan hingga kini.

Uniknya, tidak ada resep tertulis untuk jenang gempol ini. "Saya belajar dari melihat ibu," ujar sang penerus usaha. Namun, bukan berarti jenang gempol ini dibuat asal-asalan. Ada dedikasi besar di balik setiap mangkuknya. Salah satu bahan utama, beras, dipilih dengan sangat cermat. "Kami pakai beras 66, baik untuk gempol maupun dawetnya," tambahnya. Beras ini bukan sembarang beras. Di desa Bu Tum, beras 66 menjadi bahan baku utama yang dijaga kualitasnya oleh para petani lokal.

Beras tersebut dipanen sendiri oleh keluarga dan tetangga. "Kami saling membantu, terutama untuk kebutuhan beras," ujarnya lagi. Tradisi gotong royong ini tidak hanya menjaga kualitas jenang, tetapi juga memperkuat solidaritas. Dari Sewon, Bangunharjo, Bantul, jenang gempol ini telah menjadi tradisi turun-temurun yang tetap hidup di tengah modernisasi.

Menjalankan usaha tradisional seperti jenang gempol tentu bukan tanpa tantangan. Namun, sang pemilik mengatakan bahwa tantangan terbesar justru bukan dari pesaing atau perubahan zaman. "Tidak ada tantangan besar sebenarnya," katanya dengan santai. Hal ini mungkin karena jenang gempol telah memiliki pasar yang loyal. Banyak pelanggan yang rela datang dari jauh untuk mencicipi cita rasa autentik ini.

Salah satu momen paling berkesan adalah ketika banyak mahasiswa mulai mencoba jenang gempol ini. "Mereka suka datang beramai-ramai," ujarnya dengan senyum. Hal ini menjadi bukti bahwa makanan tradisional tetap relevan, bahkan bagi generasi muda.

Meski terkenal, jenang gempol tidak pernah membuat  konten, promosi jenang ini justru datang dari para konten kreator yang mengulas makanan lokal. Tanpa perlu banyak usaha dari sang pemilik, jenang gempol ini mendapatkan eksposur yang lebih luas berkat konten digital.

Sayangnya, adaptasi ke era digital tidak sepenuhnya berjalan mulus. Dengan rendah hati, sang pemilik mengakui bahwa mereka belum terlalu aktif memanfaatkan media sosial. "Harapan saya ke depannya, jenang gempol ini tetap ramai," ujarnya. Bagi mereka, yang terpenting adalah menjaga kualitas dan rasa, meski dunia terus berubah.

Dalam satu hari, jenang gempol ini bisa menghasilkan omset hingga 1,5 juta rupiah. Salah satu pelanggan tetapnya adalah Bank BPD Senopati, yang sering memesan hingga 500 porsi untuk acara kantor. Namun, lebih dari sekadar angka, jenang gempol ini adalah tentang bagaimana sebuah keluarga dapat bertahan dan berkembang melalui tradisi.

"Saya hanya ingin jenang ini tetap ada," katanya dengan nada penuh harapan. Bagi mereka, jenang gempol bukan sekadar makanan. Ini adalah warisan budaya, sebuah pengingat akan pentingnya kebersamaan, dan bukti bahwa tradisi bisa menjadi jembatan untuk bertahan di tengah perubahan zaman.

Tidak bisa dipungkiri, rasa adalah kunci dari kesuksesan jenang gempol ini. Dengan bahan-bahan lokal yang segar dan proses pembuatan yang penuh perhatian, jenang gempol mampu mempertahankan cita rasanya yang khas. "Kami selalu memastikan rasa tetap konsisten," kata sang pemilik. Santan yang digunakan adalah santan segar, dan gula yang dipakai adalah gula jawa asli, memberikan rasa manis alami yang tidak berlebihan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun