Bukan spesies terkuat yang akan bertahan, bukan pula yang terpandai, tapi mereka yang paling responsive terhadap perubahan -- Charles Darwin
Manusia terpilih menjadi spesies yang bertahan hingga saat ini, karena manusia merupakan salah satu spesies paling responsif terhadap perubahan zaman. Tapi tentu saja, tidak hanya zaman yang berubah namun begitupula dengan tubuh kita. Nah, apa hubungannya dengan stress?
Stress adalah kondisi tubuh ketika kita merasa terancam, atau lebih luasnya ketika kondisi tubuh kita berada didalam mode flight or fight. Mode flight or fight ini adalah mode yang secara otomatis dikeluarkan oleh sistem saraf pusat (SSP) yang ada di otak dan sumsum tulang belakang kita. Sistem saraf pusat (SSP) bergerak dalam dua mode, yaitu mode bertarung (sympathetic) dan istirahat (parasympathetic).
Oleh karena itu, ketika kita dalam suatu kondisi tertentu merasa terancam masa otomatis tubuh kita akan berada di mode bertarung. Adapun ciri-ciri tubuh ketika berada dalam mode bertarung seperti mata melotot, jantung berdetak dengan kencang, dan tegang. Lalu bagaimana jika kondisi ini terjadi dalam waktu yang panjang? Ini lah yang dinamakan stress kronis. Jadi, dari sini kita dapat memahami bahwa stress adalah reaksi biologis yang dikeluarkan dari tubuh ketika kita berada di situasi yang mengancam, saat ini yang menjadikan ia sebagai sebuah masalah yaitu ketika reaksi ini terjadi secara berkepanjangan dan menyebabkan individu yang mengalami terganggu aktifitas setiap harinya.
Dengan berubahnya zaman saat ini, stressor kita kesulitas menganalisis sesuatu yang mengancam kita, akibatnya kita menjadi mudah stress. Mengapa demikian?
Tubuh kita saat ini adalah hasil dari adaptasi tubuh yang sejak dahulu dimiliki oleh nenek moyang kita. Otak bagian depan kita juga mengalami adaptasi dengan hebatnya perkembangan zaman, tapi tidak dengan otak primitif atau otak bagian bawah kita. Otak primitif kita diprogram untuk menyelamatkan kita dari situasi yang mengancam, atau bisa dikatakan otak bagian ini yang menentukan manakah sebuah situasi yang akan menjadi stressor kita. Sayangnya, otak primitif kita sesuai dengan namanya, cara ia untuk memilah situasi tidak jauh berbeda dengan yang nenek moyang kita dulu rasakan.
Dahulu, ketika nenek moyang kita merasa terancam karena seekor ular atau pun macan, maka secara otomatis ia akan berada di mode bertarung. Dimana tanpa disadari ia akan melakukan hal-hal yang bisa menyelamatkan dirinya. Jaman sekarang, ketika kita sudah jarang menemui ular maupun macan, maka hal-hal yang membuat kita merasa terancam pun berubah. Saat ini kita merasa terancam dengan mendapat komentar buruk di akun social media kita, kurang secara finansial, dan memiliki nilai yang buruk. Ketika kita berada didalam beberapa kondisi tersebut, maka otak kita akan menilai hal tersebut sebagai sesuatu yang mengancam kita, tubuh kita pun merespon sama seperti bagaimana nenek moyang kita dulu berhadapan dengan ular maupun macan. Ditambah dengan berkembangnya teknologi informasi yang membuat kita semakin mudah mendapatkan akses untuk mengetahui apa yang orang lain capai, apa yang mereka lakukan, dan apa yang mereka cemaskan membuat tubuh kita semakin sulit dalam menilai mana situasi yang mengancam kita. Hal ini terjadi karena kita berada di dunia dengan kondisi moral yang tinggi dan kebutuhan atas pengakuan dari orang lain.
Referensi:
Korzan, W. J., & Summers, C. H. (2021). Evolution of stress refine mechanism of social rank. Neurobiology of Stress.
Lu, S., Wei, F., & Li, G. (2021). The evolution of the concept of stress and the framework of the stress system. Cell Stress.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H