Dalam kehidupan ini tentu tidak jauh dari perkembangan informasi yang bahkan setiap harinya selalu mengalami perubahan baru. Hal tersebut disebabkan oleh adanya konektivitas jejaring yang kian hari semakin maju. Namun, bagaimana informasi dapat tersampaikan kepada khalayak di zaman dahulu tanpa adanya internet dan media sosial seperti sekarang ini?
Kilas Balik Sejarah
Pada zaman dahulu, sebagian besar informasi diterima melalui sistem dari mulut ke mulut hingga kabar tersebut menyebar dengan cepat. Dari sinilah keinginan untuk menghadirkan media penyalur informasi berkembang. Hal ini bermula dari siaran radio milik Belanda yang didirikan di Amsterdam pada kurun waktu antara 1923 - 1928 bernama Nederlandsch-Indische Radio Omroep Maatschappij (NIROM) yang digunakan untuk menangani pemancaran siaran di wilayah Jawa. Saluran radio ini beroperasi pada tahun 1934. Pada kurun waktu tersebut muncul saluran radio baru bernama Bataviaasche Radio Vereeniging (BRV) pada tanggal 16 Juni 1925 di Weltevreden atau yang lebih dikenal sekarang sebagai Jakarta pusat. Dari sinilah saluran radio di Surakarta mulai bangkit, didirikan oleh KGPAA Sri Mangkunegara VII dan Ir Sasito Mangunkusumo pada tanggal 1 April 1933 dengan nama Solosche Radio Vereeniging (SRV) yang kemudian disusul oleh saluran radio lain dari berbagai daerah.
Saluran ini berlangsung di Gedung Societeit Sasana Soeka yang dibangun oleh KGPAA Sri Mangkunegara VII tahun 1918, yang sekarang lebih dikenal dengan nama Monumen Pers Nasional, Jl. Gajahmada No.59, Timuran, Kec. Banjarsari, Kota Surakarta, Jawa Tengah. Monumen ini diresmikan pada tanggal 9 Februari 1978. Dalam catatan sejarah, Gedung Societeit Sasana Soeka ini digunakan untuk pertemuan para wartawan Indonesia, bukan hanya itu saja tapi juga digunakan sebagai sarana para seniman menyalurkan bakat mereka. Banyak seniman terkenal yang pernah unjuk bakat kesenian di sini, salah satunya adalah WS Rendra yang pernah menampilkan pementasan drama. Nampaknya, hal tersebut belum banyak diketahui.
“Justru ini adalah sebagai bukti autentik bahwa banyak pementasan dramawan nasional. Gedung ini yang digunakan untuk pementasan,” tutur Dr. Edy Suryanto, M.Pd., dosen prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, FKIP, Universitas Sebelas Maret.
“Mulai dari WS Rendra, Putu Wijaya, termasuk Tera (Teater Surakarta) yang sekarang ini sangat familiar di masyarakat Surakarta,” imbuhnya dalam kunjungan belajar mata kuliah Jurnalistik Cetak di Monumen Pers Nasional pada tanggal 4 September 2024.
Koleksi di Monumen Pers Nasional
Gedung ini memiliki berbagai macam koleksi yang dapat digunakan untuk tambahan informasi. Pada bagian tengah gedung terdapat koleksi surat kabar dan patung tokoh-tokoh pers nasional Indonesia. Selain itu, terdapat beberapa informasi tertulis yang dapat dibaca pada tiap-tiap figur patung. Jika ingin mengetahui lebih lanjut, tour guide di sini banyak memberikan informasi menarik terkait pertanyaan-pertanyaan yang diajukan.
Kemudian pada gedung baru terdapat banyak koleksi yang dapat ditemukan, mulai dari:
- alat komunikasi tradisional;
- koleksi mesin tik dari tempo paling terdahulu, yang paling populer, hingga yang dianggap paling modern;
- surat kabar zaman Hindia Belanda, Jepang, dan Indonesia;
- radio kambing;
- berbagai macam tipe kamera yang digunakan pers tempo dulu;
- alat perlengkapan pers;
- Map of distribution and national press figure; dan masih banyak lagi.
Selain yang disebutkan di atas, terdapat juga dokumen seperti buku-buku dan gambar-gambar terkait Monumen Pers Nasional. Semua koleksi disimpan rapi dibalik kaca, tujuannya agar koleksi tetap aman dan tidak rusak.