Nine dash line atau sembilan garis putus adalah sebuah peta yang membentang di Laut China Selatan yang diciptakan oleh pemerintah China pada tahun 1947. Klaim tersebut didasari oleh sejarah China pada zaman kuno yang disebut sebagai traditional fishing ground. Tentu hal ini menjadi polemik bagi negara-negara yang secara hukum internasional memiliki yurisdiksi atas wilayah yang diklaim China.
Indonesia menjadi salah satu negara yang dirugikan dari adanya peta nine dash line. Sekitar 50.000 km wilayah di Laut China Selatan, tepatnya di perairan Natuna Utara, memiliki klaim tumpang tindih di antara kedua negara. Meskipun Indonesia bukan merupakan negara yang mengklaim (non claimant state) atau tidak memihak siapa pun, Indonesia tetap terganggu dengan kehadiran kapal-kapal dari China di perairan Natuna. Tak jarang terjadi konfrontasi antara kapal patroli milik TNI AL dengan kapal dari China yang berlayar secara ilegal.
Dari sudut pandang ekonomi, Perairan Natuna Utara memang kaya akan sumber daya alam hayati dan non hayati. Menurut penelitian, cadangan gas alam yang tersimpan di laut Natuna sebesar 112.356.680 barel, minyak bumi sebesar 14.386.470 barel, dan gas hidrokarbon sebanyak 46 ton kaki kubik. Selain itu, angka potensi ikan laut di Perairan Natuna Utara mencapai 504.212,85 ton per tahun.Â
Dalam konteks perdagangan, laut Natuna memiliki nilai strategis sebagai SLOT (Sea Lanes of Trade) dan SLOC (Sea Lanes of Communication). Pemerintah memanfaatkan SLOC untuk mengakselerasi perekonomian Indonesia sebagai wujud implementasi MP3KI (Master Plan Percepatan dan Perluasan Penurunan Kemiskinan Indonesia).
Pemerintah Indonesia melakukan berbagai cara dalam meredam agresivitas China di Perairan Natuna Utara, di antaranya adalah sekuritisasi dan diplomasi. Pada saat Presiden Joko Widodo dilantik, ia memilki agenda NAWACITA, yaitu mewujudkan Indonesia sebagai poros negara maritim.Â
Dalam mewujudkan cita-cita tersebut, beberapa langkah sekuritisasi dilakukan seperti penamaan dari Natuna menjadi Natuna Utara dan membuat peta baru. Di sisi lain, langkah diplomatis juga diambil Joko Widodo yang terhitung beberapa kali mengirimkan nota protes kepada pemerintah China akibat pelanggaran yang dilakukan oleh kapal China.Â
Selain itu, Presiden mengunjungi Perairan Natuna Utara untuk mengirimkan pesan kepada China bahwa Indonesia menanggap Perairan Natuna Utara sebagai objek penting dan Indonesia berani untuk bertindak dalam menanggapi pelanggaran tersebut.
Meskipun demikian, konflik Natuna tidak mempengaruhi hubungan China dan Indonesia secara signifikan. Baik China maupun Indonesia masih menganggap satu sama lain sebagai partner ekonomi yang menguntungkan. Kita dapat melihat fenomena ini menggunakan konsep ketergantungan atau interdependensi. Indonesia dan China telah melakukan kerja sama khususnya dalam bidang keamanan dan ekonomi seperti Defence Cooperation Agreement, ASEAN-China Free Trade Agreement, dan Belt Road Initiative. Di mana, ketergantungan kerja sama ekonomi dan keamanan antara ke dua negara dapat menghindari konflik semakin besar.
Pada tahun 2020, Duta besar China di Indonesia, Xiao  Qiaan, mengatakan bahwa China dan Indonesia sepakat tidak memiliki sengketa wilayah. Kendati demikian, Indonesia tetap akan mengusir nelayan asing jika mulai memasuki wilayah Indonesia. China bersikap demikian untuk menjaga stabilitas keamanan di kawasan lantaran Indonesia dianggap sebagai negara yang memiliki pengaruh serta menjadi penjembatan dengan negara asia lain.
Unilateral China melalui klaim nine dash line-nya memang sangat problematik. Keberanian mereka untuk face to face dengan negara-negara sekitar yang terlibat sengketa dengan membawa klaim historis tersebut tidak terlepas dari kebangkitan kekuatan China pada abad ini. Pada tahun 90-an, polemik di Laut China Selatan sebenarnya sudah menjadi pembahasan di antara negara-negara ASEAN.
Namun, the ASEAN way menghambat progres penyelesaian sengketa hingga masuklah China sebagai kekuatan baru dengan mendobrak hukum yang sudah ada. Pada akhirnya, pemerintah harus segera mencari penyelesaian masalah karena hal ini berkaitan dengan kedaulatan negara. Meskipun situasi Natuna dapat dikatakan tidak sepanas kasus sengketa China dengan Filipina, tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa eskalasi sengketa Natuna akan naik di masa yang akan datang, terutama jika tidak ada upaya diplomatik yang efektif.