Dahulu, pokok-pokok kayu menaungi terik mentari. Disini.Â
Kini tebang pohon berserakan. Aku berjalan menembus malam. Menghitung langkah-langkah kaki menjejak lemah.Â
Dingin menyusup, tengkuk yang kaku. Pundak rapuh memanggul berjuta angan dan benak. Rembulan tersenyum tipis. Kecut.Â
Bintang berkedip beradu, berlomba sepanjang malam. Batu-batu rebahan di atas aspal.
Nyeri. Kerikil menggelitik kakiku.Â
Kapankah malam ini berakhir?Â
Sanggupkah aku kembali pulang?
Sementara mereka masih ada. Masih bercokol di sana.Â
Tak mungkin juga mengharapkannya enyah. Atau jikapun benar, pastilah suatu mukzizat.Â
Pantaskah ia datang untuk seorang hina? Seorang yang kini  hilang tujuan.Â
Seorang bodoh yang tak sanggup bahkan untuk melihat sebuah aral.
Helaan napas berat. Basah. Lambat. Aku mengejanya satu demi satu.Â
Sanggupkah aku kembali pulang? Dengan raut pucat pasi.
Dengan hanya kulit dan tulang? Tuhan, aku bersyukur tak Kau penjarakan aku dalam kemiskinan.Â
Aku tahu, aku hanya sebuah benda kecil. Aku tak ingin dan tak mampu mempersalahkan takdir.
Kendaraan bising. Gesek ban dan jalan kian lantang. Klakson menjerit di sana-sini.Â
Sirine ambulans meraung-raung. Bergegas melesat. Egois.Â
Aku tahu kau. Kau yang membawa manusia-manusia ke tempat itu.Â
Kau bahkan pernah menggiringku masuk ke ruangan penuh tabung.Â
Formalin menusuk hidung. Sebuah jarum ditancapkan di sisi telapakku.Â
Di sana, tangis menjadi melodi abadi. Berdengung sepanjang koridor-koridor. Di atas ranjang-ranjang.Â
Bukan aku takut. Bukan aku takut mendengar ocehan pria berjas putih.Â
Mengatakan kepalsuan. Bukan aku takut dijejali celoteh wanita berhak tinggi.Â
Bermulut manis dan mencoba memancing harapan hidup di sorot-sorot mata.Â
Apa yang mampu mereka lakukan?  Tidakkah hanya mendendangkan nyanyian surga? Sementara algojo di pelupuk mata?
Sanggupkah aku kembali pulang? Setelah berpayah-payah mencabut selang itu dari hidung dan mulutku?
Sementara di tempat kecilku dulu selalu ada mereka menanti.Â
Matahari terbit nanti, mungkin seorang lelaki tua akan sibuk. Kerut dan peluh di wajah.Â
Dan seorang wanita paruh baya menggigit jarinya. Perasaan yang membuncah di dada. Bisakah aku merasakannya juga?
Bukan nanti. Bukan juga saat ini. Tahukah  aku sudah menyimpannya? Sekian musim. Tanpa tujuan. Bukan tanpa alasan.Â
Tuhan, Kau tak sisakan satu alasan untukku pergi. Tapi aku tahu Kau paham. Entah ini wahamku ataukah realita tengah menari-nari mempermainkanku. Ada berjuta alasan. Mereka mungkin tak akan membiarkanku damai. Tenang.
Sanggupkah aku kembali pulang?
 Ah, tidak. Biarkan aku menghabiskan malam ini bersama kelam langit.Â
Bahkan jika ia tak mengizinkanku untuk melihat gurat mentari esok. Setidaknya aku ada di dunia.Â
Tempat dimana seorang anak kecil berlarian. Tempat masih ada orang-orang. Merangkak menggapai cita.Â
Mungkin saja malaikat maut bisa tersenyum di sini...
Purwokerto, 6 Oktober 2009
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H