Mohon tunggu...
Aulya Setyasih
Aulya Setyasih Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa S1 Pariwisata

Saya suka membaca, menulis, dan traveling. Kini saya sedang menempuh pendidikan S1 Pariwisata di Universitas Gadjah Mada.

Selanjutnya

Tutup

Nature

Ekowisata dan Problematikanya

2 Desember 2022   15:15 Diperbarui: 2 Desember 2022   15:18 403
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Nature. Sumber ilustrasi: Unsplash

Munculnya tipologi ekowisata dalam perkembangan pariwisata diharapkan mampu memperpanjang usia dari industri wisata baik secara eksternal maupun internal. Ekowisata juga digambarkan memiliki hubungan erat dengan sumber daya alam dan arkeologi. Dari adanya penjelasan teori, konsep, dan prinsip dari para ahli, dapat disimpulkan bahwa ekowisata adalah sebuah kegiatan wisata yang dilaksanakan di tempat alami dengan fokus tujuan untuk melakukan transfer edukasi kepada para stakeholders yang terlibat mengenai konservasi baik alam maupun budaya dalam bentuk apapun dan tetap mempertimbangkan kesejahteraan lingkungan sekitarnya, terutama masyarakat lokal.

Paradoks Ekowisata

Pembentukan ekowisata dianggap sebagai bentuk yang ideal untuk dijalankan dalam sebuah industri wisata. Namun, adanya pembentukan konsep awal yang dianggap baik tidak selamanya menjadi baik ketika melihat fakta-fakta di realita yang menimbulkan paradoks dalam ekowisata. Misalnya, mobilitas dari kegiatan ekowisata yang berkontribusi untuk meningkatkan pemanasan global.

Berdirinya destinasi ekowisata cenderung diletakkan di negara berkembang dengan target pasar wisatawan dari negara maju. Adanya sistem marketing ini tentu diharapkan membawa kebaikan, namun ketika dilihat dengan perspektif yang lebih kecil lagi, adanya peluang ini telah menyalahi konsep dari ekowisata yang mampu memberikan dampak buruk bagi lingkungan sekitar. Contoh kecilnya adalah penerbangan antar negara yang memakan durasi cukup lama, mampu berkontribusi untuk menyumbang gas emisi karbon yang memicu terjadinya pemanasan global. Hal ini tentu menjadi dilematis karena terjadinya mobilitas wisata didalamnya justru menghambat proses keberlanjutan lingkungan, padahal awal tujuan utamanya adalah untuk menjaga keberlanjutan lingkungan. Pendapat ini didukung dengan adanya pernyataan dari Susanne Becken dan Matthias Schellhorn (Higham, 2007: 86).

“Isu-isu ini mencakup kelangkaan bakar fosil dan implikasi global dari pembakaran bahan bakar transportasi yang menghasilkan gas rumah kaca. Emisi antro gas rumah kaca pogenik (yang paling penting karbon dioksida (CO2)) menambah efek rumah kaca alami dan mengakibatkan perubahan iklim”. 

Terjadinya dampak buruk bagi lingkungan paling dirasakan oleh negara destinasi dimana ekowisata berada. Mereka memiliki risiko lebih tinggi untuk mengalami bencana alam, seperti banjir dan longsor yang diakibatkan dari adanya efek perubahan iklim akibat industri wisata. Hal ini turut diperparah dengan banyaknya wisatawan yang datang secara masif ke kawasan ekowisata. Ekowisata yang seharusnya difungsikan untuk menjaga kelestarian alam dan mengedukasi wisatawan tentang hal tersebut, justru menghancurkan tujuan awalnya karena faktor ekonomi dengan profit oriented mindset. Dalam prinsip ekowisata memang dijelaskan untuk memaksimumkan profit bagi masyarakat lokal tetapi dengan adanya mindset yang terlalu profit oriented juga akan menimbulkan dampak buruk bagi lingkungan maupun ekonomi.

Seringkali dengan adanya target pasar wisatawan mancanegara, industri ekowisata di negara berkembang mengalami kebocoran ekonomi karena harus melakukan impor barang dari luar negeri. Dengan alasan untuk memenuhi selera dan kebutuhan dari wisatawan mancanegara yang tidak tersedia di wilayah lokal. Seperti yang disampaikan oleh Banskota dan Sharma (1999) (Higham, 2007: 358).

“Secara ekonomis, pariwisata harus meningkatkan pendapatan dan lapangan pekerjaan agar layak dan harus mengembangkan keterkaitan dengan sistem produksi lokal. Dilaporkan bahwa sekitar 68% pengeluaran makanan untuk wisatawan diambil dari luar (impor) dan 28% dilaporkan berasal dari produksi mereka sendiri”. 

Padahal, jika ditinjau kembali sebagai wisatawan yang tergolong sebagai ecotourist sudah seharusnya mereka paham bahwa tujuan mereka datang ke destinasi tersebut adalah untuk melakukan kegiatan dan belajar mengenai pelestarian lingkungan di kawasan tersebut. Pihak pengelola juga perlu sadar bahwa dengan dibukanya kawasan mereka untuk ekowisata seharusnya mereka mampu menyeleksi ecotourist yang berkualitas sehingga mampu memberikan dampak positif dan keberlanjutan bagi kawasannya.

Kasus Ekowisata di Indonesia

Adanya pembangunan dan pengelolaan ekowisata dalam negara berkembang, terutama Indonesia, seringkali kurang didukung dengan adanya kebijakan dari pihak yang berwajib. Seperti yang dikatakan oleh Endang Karlina dalam Seminar ‘Basic Research Taman Nasional’, 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun