Mohon tunggu...
M Aulya Rusyadi
M Aulya Rusyadi Mohon Tunggu... -

jika bermimpi itu salah, maka saya tidak akan tidur.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Pulang Kampung, Lalu Bangun Indonesia!

16 Maret 2012   13:21 Diperbarui: 25 Juni 2015   07:57 147
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Harus menjadi orang Jawakah? Islamkah? Atau mayoritas lainkah untuk menjadi Indonesia? Untuk mengerti dan mau peduli dengan Indonesia?

Harus tinggal di Jakartakah untuk lebih dekat dengan Indonesia?

Rasanya ada yang salah. Semua berteriak kalau Pemerintah, dengan system sentralisasinya telah menjadikan kita justru kehilangan Kebhinekaan kita. Indonesia, Kawan! Diperjuangkan dari Sabang sampai Merauke. Kenapa harus Jakarta? Bahkan letaknya pun tidak ditengah-tengah Indonesia.

Tidak heran dan akhirnya tidak menyalahkan kalau akhirnya banyak bangsa lain yang tidak mengenal nama Indonesia, bahkan lebih mengenal Bali. Tidak percaya? Lihat saja Film “Eat, Pray, Love”, sang pelakon menyebut Italia, India, dan Bali, bukan Indonesia. Padahal 2 sebelumnya menyebut nama Negara.

Terlalu banyak kita menyalahkan. Padahal tidak pernah berkaca kalau kita pun tidak begitu mengenal apa, siapa, dimana, bagaimana, Indonesia itu. Mari sekarang kita berfikir dan bertindak untuk yang namanya Indonesia. Mengembalikan Kebhinekaan kita.

Percayalah ada cara dan secercah harapan untuk menjadikan itu ada. Sekarang mari berbicara pendapat pribadi. Terserah anda setuju atau tidak. Mau melakukan atau tidak.

Sebut saja saya anak kemaren sore yang baru melihat dunia. Mencoba membandingkan idealisme kemahasiswaan saya dan realitas “pengangguran” pasca menjadi sarjana dan di wisuda. Ya, sayapun harus ke Jawa, ke Bandung untuk membuat hidup saya meningkat derajatnya. Dari siswa menjadi Mahasiswa. Disitu saya membangun mimpi saya. Menjadi kaya raya dan bahagia. Hidup di kota besar Jakarta agar saya menjadi orang Indonesia yang berhasil. Versi saya saat itu saya tidak akan balik ke kota asal saya yang jauh dari Jakarta karena menurut saya tidak mungkin membangun mimpi saya itu dari sana karena saya hanya anak seorang pegawai negeri sipil. Bukan golongan kerajaan yang biasanya mengusai segala aspek sosial ekonomi kemasyarakatan di daerah itu. Mungkin saya tidak akan diakui dan tidak akan berkembang. Selalu jadi kelompok menengah.

Tuhan ternyata berkata lain. Suatu kejadian menuntut saya untuk kembali ke daerah asal saya. Jangan tanya alasannya kenapa. Jelas mimpi itu berubah. Tapi bagi saya hidup harus terus bergerak dan berusaha. Harus bangun mimpi  lagi. Pada saat itu, idealisme saya berkata, “lo yang harus ciptakan perubahan itu disini. Mungkin tak bisa merubah yang tua, lo rubah yang muda-mudanya”. Itulah alasan saya membangun sebuah media di kota ini. Segmennya adalah anak muda. Anak sekolahan. Setidaknya kelabilan mereka yang saya manfaatkan untuk memasuki pemahaman dan ideology saya tentang perubahan ke dalam pikiran mereka.

Daerah ini, tempat saya dilahirkan bukan kota kecil. Masuklah dalam kategori metropolitan. Tapi sayang yang berubah hanya fisiknya. Mentalnya tidak. Perubahan menjadi musuh bersama disini. Perbedaan hanya sebatas “dia dan saya tidak sama” tidak menjadikannya sebagai suatu potensi besar yang namanya keragaman. Menjadi statis dan “itu-itu saja” adalah ketenangan hidup. WOW………Bagaimana bisa saya hidup di kota ini? Mental saya dibentuk dengan pemahaman keberagaman, penerimaan perbedaan, perubahan untuk menjadi lebih baik, penerimaan, dan bergerak untuk bisa bertahan hidup.

Tapi tenang, masih ada harapan. Saya yang harus menciptakan itu.

Suatu saat saya berdiskusi dengan seorang teman.Bertanya kenapa teman-teman saya yang berasal dari daerah jarang yang mau kembali lagi ke daerahnya. Mengapa mereka dengan segala ilmu dan kepintaran yang mereka miliki tidak mau pulang dan menerapkannya ke kota mereka. Jawaban yang sama, selain di Jawa, tidak ada lagi tanah yang menjanjikan untuk hidup kaya, bebas bergerak, dan berkreativitas.

Padahal bayangkan kalau mereka yang dari berbagai disimplin keilmuan itu kembali ke daerah masing-masing dan menciptakan industry baru di kota tersebut. Bayangkan saja, kita tidak lagi harus ke jawa hanya untuk menjadi artis. Solusinya yah mengembangkan media sebanyak-banyak di daerah. Media yang berkualitas tentunya. Tapi rasanya aneh. Justru dihadapkan pada masalah orang-orang daerah baru merasa itu berkualitas ketika datangnya dari Jakarta, Jawa. WOW…..

Rasanya kalau orang-orang daerah yang pintar itu kembali ke daerahnya masing-masing dan menerapkannya disini pasti akan berhasil. Membuat produk dalam negeri untuk bisa diterima diluar negeri aja bisa, kenapa membuat produk daerah tidak bisa diterima di daerahnya juga?

Tidak berhenti dari situ. Ketika tiap daerah sudah dibangun, punya potensi industry beragam, maka tak harus lagi berfikir membangun Indonesia harus menjadi Jakarta atau Jawa, cukup ada disini berkarya, hidup kaya raya dan sejahtera. Tanpa alasan apapun. Ketika tiap daerah menjadi “sama” hebatnya, tentu Indonesia akan jauh lebih hebat. Karena dulupun Negara ini dibangun dari sudut pandang daerah yang bersatu menjadi sebuah Indonesia. Mengapa tidak itu yang kita kembalikan lagi disini? Masih cinta Indonesia kan?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun