Sudah tak aneh bila warga sosmed meributkan hal-hal kecil termasuk makanan, akhir-akhir ini topik yang sedang panas diperdebatkan adalah mengenai salah satu makanan khas Jepang bernama 'Takoyaki'.Â
Seiring perkembangan zaman, keberadaan penjual takoyaki di Indonesia tidak hanya ada lagi di mall-mall besar atau event Jejepangan, sekarang semakin mudah ditemui stand-stand penjual takoyaki di pinggir jalan dengan harga terjangkau.Â
Di mall atau event Jejepangan sendiri berusaha menyajikan takoyaki dalam bentuk yang 'sebenarnya' mulai dari isi dan topping. Nama takoyaki sendiri diambil dari kata 'tako' yang artinya gurita. Nah gurita tersebut dipotong-potong kecil kemudian dimasukkan kedalam adonan bola-bola mini lalu dipanggang menggunakan cetakan bulat-bulat, tak lupa taburan kezuribushi (ikan cakalang yang sudah diserut) untuk menambah cita rasa.
Sementara itu takoyaki yang dijual di pinggir jalan cenderung lebih sederhana, gurita sebagai isi biasa diganti dengan sosis, keju, suwiran ayam, sampai telur puyuh. Taburannya pun menggunakan daun bawang. Maka tak heran bila takoyaki yang di pinggir jalan dijual dengan harga lebih murah. Istilahnya sih ada barang, ada harga.
Meski begitu, perbedaan ini bukalah hal sederhana bagi golongan tertentu, terutama penggemar kebudayaan dan kuliner Jepang. Mereka merasa resah dengan keberadaan takoyaki yang tidak ada 'tako'nya dan mengeluhkan hal itu di sosial media. Hal itulah yang memulai perdebatan warga sosmed. Ada yang ngotot kalau takoyaki ya harus ada gurita dan pakai taburan kezuribushi, jangan merusak makanan khas negara lain, "Warga Jepang bisa menangis kalau tau tokoyaki tidak ada guritanya!", "Kalau nggak ada guritanya, jangan pakai nama takoyaki!" dan sebagainya.Â
Di pihak lain ada membela pedagang kecil menjual takoyaki sesuai kemampuan dan target pasar. Bisa jadi para pedagang kecil memang tidak tau apa itu takoyaki atau bisa saja mereka tau namun kesulitan mendapatkan bahan-bahan yang sesuai dengan yang asli. Di samping itu, target pasar mereka adalah anak-anak yang uang sakunya tidak seberapa. Lalu mereka pun balas menyerang "Kalau mau yang ada guritanya, jangan beli di pinggir jalan! Harga sepuluh ribu kok protes pengen dapat gurita!", "Namanya juga usaha!", dan sebagainya.
Masing-masing pihak berusaha mengutarakan pendapat sesuai sudut pandang masing-masing. Meski perdebatan ini cukup sengit, biasanya seiring waktu akan menguap begitu saja dan tergantikan perdebatan baru.
Kalau para pembaca, kalian tim mana nih? Takoyaki itu harus ada guritanya atau menyesuaikan harga? Tulis di kolom komentar ya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H