Mohon tunggu...
Auly _
Auly _ Mohon Tunggu... -

biasa saja !

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Filosofi Kamera

26 Agustus 2013   21:02 Diperbarui: 24 Juni 2015   08:47 372
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Sejak saya diamanati jadi tukang jepret atas bimbingan Kang Mujib Qodarr, saya baru sadar bahwa hidup itu tak ubahnya sebatang kamera. Meminjam istilah Coach Absor BYz, Trias Sett Shoot dalam menggunakan kamera.

Pertama, ISO, Secara definitif ISO adalah ukuran tingkat sensifitas sensor kamera terhadap cahaya. Semakin tinggi setting ISO kita maka semakin sensitif sensor
terhada cahaya. Dalam kehidupan sosial ini bisa dimaknai sebagai aktifitas berfikir
atau merespon fenomena. Ini mungkin yang saya fahami juga dari ngajinya Pak Roy Murtadho sebagai sense of responsibilty.

Kedua, adalah apa yang disebut “aperture” yaitu, ukuran seberapa besar lensa terbuka (bukaan lensa) saat kita mengambil foto. (Pasti temen crew TMG pada gatau meski sering liat..)

Menuurut analisis saya (cyeeh) konsep kerja aperture sama seperti kadar kualitas intelektual manusia. Jika aperture menentukan seberapa besar cahaya (rasa) yang bisa masuk pada kamera, maka dalam hidup kita ditentukan oleh kadar inteklektual.

Semakin tinggi kadar intelektual manusia, semakin tinggi pula kepekaannya terhadap
fenomena sosial.

Selanjutnya adalah sutter speed, saya menyebutnya dalam kehidupan moving. Ciri manusia hidup dan kualitasnya bisa dilihat dari seberapa ia cepat mampu nyelesaikan tugasnya (tindak lanjut trhadap fenomena yang ia respon).

Ketiganya harus berada dalam kehidupan secara bersamaan. Walaupun tokh porsinya berbeda. Seperti jika kita berada dilingkungan pesantren, haruslah mengaji, berjamaah, dll.. Lain lagi jika kita berada diwarung kopi atau di pantai, atau di asrama mahad aly tentu lain.hee

Adapun setting (atau jika temen2 gatau, PENGATURAN) lain dalam jeprat-jepret
adalah “art” dalam bahasa saya. Karena hidup tanpa seni bukanlah hidup.
Wallahua’lam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun