Remaja merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan masa transisi dari anak-anak menuju manusia dewasa yang umumnya ditandai dengan perubahan fisik, kognitif, dan psikososial. Sarwono (2006) menyatakan bahwa seseorang masuk sebagai bagian dari remaja ketika berada pada usia 10-19 tahun, sedangkan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia melalui publikasinya menyatakan bahwa remaja merupakan seseorang yang masuk ke dalam kelompok usia 10 tahun sampai dengan 18 tahun. Usia remaja terbagi menjadi 3 fase, yakni usia remaja awal berkisar antara 10-12 tahun, usia remaja madya berkisar antara 13-15 tahun, dan usia remaja akhir berada pada rentang 16-19 tahun. Lebih lanjut Rice (2004) dalam Tampubolon, (2021) menyatakan bahwa masa remaja adalah masa tumbuh kembang seorang individu dari anak-anak menjadi individu yang memiliki kematangan pola pikir sehinga dengan kesadaran penuh melepaskan diri dari ketergantungan sosial ekonomi menuju kondisi yang relatif mandiri.
Usia remaja merupakan awal dimulainya pencarian jati diri seseorang. Remaja cenderung mempertanyakan eksistensinya sebagai seorang individu atau sebagai bagian dari suatu kelompok tertentu dengan pertanyaan-pertanyaan sederhana tentang siapa diri mereka dalam kaitannya dengan keluarga dan masyarakat. Pada masa ini remaja mulai mengeksplorasi diri dengan mencoba dan mempelajari berbagai hal baru, ikut serta dalam suatu kelompok atau komunitas tertentu, bahkan terkadang ada yang merasa terasingkan dan menemukan ketidakcocokan dengan kelompok orang dewasa atau terasingkan dari kelompoknya sendiri. Remaja mempertimbangkan hubungan yang mereka kembangkan antara dirinya dengan orang lain dan menemukan perbedaan pemikiran dengan kelompok orang dewasa yang tidak jarang menimbulkan pemberontakan pribadi. Hal tersebut yang terkadang menyebabkan timbul berbagai konflik dan kerentanan (Tampubolon, 2021).
Tantangan orang tua untuk menjaga hubungan yang sehat dengan anak mereka yang memasuki masa remaja semakin besar ketika dihadapkan pada era society 5.0 dengan pesatnya perkembangan teknologi informasi. Kemajuan teknologi pada era society 5.0 tidak hanya menjadi jembatan pembuka bagi remaja untuk memperoleh berbagai informasi dari dunia luar, namun juga berdampak pada bergesernya norma-norma sosial serta kondisi sosial budaya yang selama ini dipegang teguh oleh masyarakat Indonesia.
Era society 5.0, menghadapkan remaja pada berbagai permasalahan sosial, salah satunya yakni pernikahan dini. Berdasarkan data yang dipublikasikan oleh UNICEF Tahun 2022 diketahui bahwa Indonesia berada pada posisi ke-8 dengan kasus pernikahan dini terbanyak di dunia dan telah mencapai tingkatan mengkhawatirkan, dan berada pada posisi ke-2 di antara negara-negara ASEAN dengan total kejadian sebanyak 1,5 juta kasus. Tingginya kasus pernikahan dini yang terjadi di Indonesia merupakan cerminan dari kondisi kesehatan lingkungan remajanya dan rendahnya kesadaran terhadap bahaya yang ditumbulkan karena pernikahan dini. Berdasarkan studi dari Koalisis Perempuan Indonesia, diketahui bahwa 1 dari 8 remaja putri di Indonesia telah melakukan perkawinan sebelum berusia 18 tahun. Kondisi tersebut diperparah dengan meningkatnya pengajuan dispensasi pernikahan selama masa pandemi Covid-19, dimana pada kurun waktu Januari hingga Juni 2020 tercatat dari total permohonan dispensasi sebesar 34.413 perkara, sebanyak 33.664 diantaranya telah mendapatkan persetujuan oleh pengadilan. Pernikahan dini yang terjadi di bawah usia 18 tahun didominasi oleh suatu kondisi tertentu, misalnya dipaksa menikah dengan alasan lemahnya kondisi ekonomi keluarga. Hal tersebut jelas bukanlah solusi dan yang akan terjadi justru berbagai permasalahan berkelanjutan seperti semakin melemahnya kondisi ekonomi keluarga, gizi buruk, menurunnya akses perolehan pendidikan, kesehatan, serta semakin meningkatnya resiko tindak kekerasan dan perceraian. Â
Data yang dipublikasikan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2020, mencatat bahwa kasus pernikahan dini yang terjadi pada tahun 2019 sebesar 10,82%. Jumlah tersebut telah mengalami penurunan pada tahun berikutnya, yakni 2020, dengan kasus pernikahan dini sebesar 10,18%, dengan persentase kasus pernikahan dini di wilayah pedesaan lebih besar dibandingkan dengan wilayah perkotaan. Pernikahan dini yang terjadi di di daerah perkotaan pada tahun 2020 sebesar 15,24%, sedangkan kasus pernikahan dini yang terjadi di daerah pedesaan sebesar 6,82%. Dari data yang disampaikan di atas, diketahui bahwa angka pengajuan pernikahan dini  pada perempuan lebih besar dibandingkan laki-laki.
Badan Pusat Statistik mempublikasikan data persentase pemuda Indonesia yang bertama kali melaksanakan pernikahan pada tahun 2020, dimana sebesar 18,02% menikah pada usia 25-30 tahun, sebesar 26,83% menikah pada usia 22-24 tahun, sebesar 33,30% Â menikah pada usia 19-21 tahun, sebesar 19,68% menikah pada usia 16-18 tahun, dan sebesar 21,16% menikah pada usia di bawah 15 tahun. Dari pemaparan di atas, diketahui bahwa persentase pelaksanaan pernikahan penduduk Indonesia dengan rata-rata usia di bawah 15 tahun sampai usia 21 tahun masuk ke dalam kategori tinggi.Â
Ketika melihat kenyataan demi kenyataan yang terjadi berkaitan dengan bentuk tata pergaulan remaja di berbagai daerah Indonesia di masa sekarang ini, kita dapat melihat mengapa dan bagaimana kasus pernikahan dini di Indonesia pada akhirnya dapat dikatakan yang paling besar jumlahnya diantara negara-negara lainnya. Kasus pernikahan dini di Indonesia menjadi gambaran betapa memprihatinkannya kondisi remaja di tengah era society 5.0 yang seharusnya menjadikan remaja lebih bersemangat dalam meraih prestasi dan berlomba-lomba menjadi yang paling unggul demi tercapainya kemajuan negara. Era society menjadikan remaja Indonesia dihadapkan pada berbagai faktor yang sangat kompleks, hal tersebut berkaitan dengan ketidaksiapan remaja dalam menerima perubahan, kurang mampunya remaja dalam memfilter seluruh hal baru yang masuk, dan pengaruh pergaulan bebas yang pada akhirnya justru menjerumuskan mereka kepada pilihan terakhir untuk menjalani kehidupan pernikahan pada usia yang masih jauh dari batas minimal di dalam undang-undang.Â
Sumber:
Sarwono, S. (2006). Psikologi Remaja. Jakarta: Grafindo Persada.
Tampubolon, E.P.L. (2021). Permasalahan Perkawinan Dini di Indonesia. Jurnal Indonesia Sosial Sains. Vol 2(5).738-746.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H