Mohon tunggu...
A.RN
A.RN Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

City life enthusiasts

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Solo, The Spirit Of Java?

18 Oktober 2015   16:37 Diperbarui: 21 Oktober 2015   18:50 759
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kebetulan saya sudah empat kali berkeliling di kota Solo. Di kunjungan pertama, saya menggunakan sepeda motor dari Jogja. Kemudian untuk yang kedua, saya memilih moda transportasi kereta api dari Stasiun Tugu Yogyakarta.

Karena dekatnya jarak antara Jogja dan Solo, saya terpanggil untuk berkunjung kesana. Hal ini lantaran ada teman SMA saya yang bermukim disini. Jadi sedikit membantu saya untuk menjelajah dengan mudah sekaligus menguak kota kecil yang ajaib ini.

Teman saya ini begitu terbuka dan sangat bangga dengan apa yang ada di Solo. Dia begitu bersemangat menemani saya untuk berkeliling. Saya diajak ke tempat- tempat yang terkenal di kota ini.

Menurut saya Solo merupakan kota yang unik. Jalan- jalan nya lebar dan dipenuhi dengan pepohonan yang besar. Kontras dengan kondisi di Jogja. Oh iya, Pedestrian walk nya juga lebar- lebar. Terlihat sekali bahwa kota Solo sangat peduli dengan pejalan kaki. benar-benar walkable city !. Kemudian yang membedakan dari kota lain, jalan di kota ini memiliki rel kereta aktif, layaknya kota- kota di Eropa yang mempunyai trem.

Tapi sempat ada yang mengganjal di benak saya ketika berkunjung kesini, yaitu slogannya sebagai sebagai “The Spirit of Java”, Mengapa demikian?

Kalau diartikan, “The spirit of  Java” adalah “Ruh nya Jawa”. Apa yang mendasari pemerintah kota Solo membuat slogan tersebut untuk pariwisata?

Akhirnya saya mendapatkan jawaban ketika teman saya ini mengajak ke museum keraton Solo. Awalnya kami hanya ingin sekedar masuk kemudian berfoto- foto disana, namun tiba- tiba ada pegawai keraton, seorang lelaki tua yang memakai baju tradisional Jawa, lengkap dengan blankonnya berbaik hati (tanpa kepentingan apapun) bersedia menceritakan kepada kami tentang Solo dan keratonnya.

Sembari berdiri dibawah pohon, Ia menjelaskan bahwa Solo adalah pusat kebudayaan Jawa yang sebenarnya. Peradaban Jawa dimulai dari kota ini dengan berdirinya kerajaan mataram. Hal ini meruntuhkan pemahaman saya terhadap Yogyakarta sebagai pusat budaya.

Sebenarnya kerajaan Solo dan kerajaan Yogyakarta bersaudara. Raja Solo diberi gelar Pakubuwana, sementara raja Yogyakarta bergelar Hamengkubuwana. Jika melihat dari gelar, disinilah perbedaannya. Secara filosofis, Pakubuwana mengandung arti tiang (paku) yang menancap di alam semesta. Sementara Hamengkubuwana diibaratkan seperti kursi takhta di alam semesta. Entah mengapa saat itu saya merinding ketika memahami bahwa saya berdiri di pusat Jawa.

Dari penjelasan tersebut akhirnya saya mengerti mengapa Solo memiliki slogan “The spirit of Java”. karena nafas Jawa dimulai dari sini. Kejayaan tanah Jawa berada pada kota ini, sebab disinilah “Paku Bumi di alam semesta”.

Pernyataan tersebut menimbulkan pertanyaan baru. Yaitu, mengapa justru Yogyakarta yang lebih terkenal?.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun