Jakarta -- Stasiun JuandaÂ
Kira-kira matahari hampir selesai menjalankan tugasnya. Menyebarkan cahaya yang mengagumkan di cakrawala. Sementara manusia kala itu nampak bergegas dengan semangat menuju stasiun, Menyembunyikan perangainya yang lelah dalam barisan yang tak terhenti.
Bersama ribuan hentakan yang menggema, seorang pemuda yang baru saja pulang bekerja, tengah melangkah menuju bagian atas stasiun. Beberapa ada yang berlari menaiki puluhan anak tangga untuk mengejar kereta yang baru saja tiba.
Juanda, Stasiun ini melayang di atas tanah. Seseorang harus melewati puluhan anak tangga jumlahnya untuk sampai ke ruang tunggu kereta. Saat jam sibuk di kota pusat bisnis seperti ini, orang-orang memang tidak peduli terhadap rasa lelahnya. Karena siapapun dikejar oleh waktu.
Lelaki itu akhirnya sampai di area peron. Ia terus berjalan, tidak jenuhnya mencari ruang yang masih renggang di antara kumpulan manusia.
"Aku benci manusia pada waktu seperti ini", katanya dalam hati. Bagi seorang yang membenci kerumunan tentu hal seperti ini sangat menyebalkan. Untuk itu dia lebih memilih meluruskan tatapan kosongnya pada rel dan memasang pelantang telinga untuk sekadar meredam kerumunan.
Berdiri mematung adalah kebiasaannya pada saat menunggu kereta sembari menikmati alunan lagu yang didengarnya.
Namun tiba-tiba saja seorang wanita menyentuh pundaknya. Melalui tatapannya ia paham bahwa ada sesuatu yang ingin dibicarakan.
Maka dengan sigap ia melepas pelantang telinga yang dipakai sambil menaruh gawai ke dalam saku.
"Apakah di sini kereta menuju Bekasi?", kata wanita yang berbaju biru itu.
"Iya", Jawab lelaki itu dengan singkat.