Mega menghias nirwana sementara.
Disudutnya menari gadis bermata sayu
Bekas tangisnya masih kentara
Tapi bibirnya masih tersenyum jua
“Kenapa ?!”
Teriaknya disela ayunan jemarinya
Fikirannya berkelana
Imajinasinya liar
Kakinya menghentak
Ia berputar putar
Sedetik kemudian
Selendangnya terjatuh beriringan dengan lambaian tangannya yang melemah
Sang gadis kelelahan
Lalu Ia terduduk dan kembali menangis sesenggukan.
Ada nyeri di ulu hatinya.
Cinta orang yang dicintainya.
Yang ada bila bosan
Yang ada bukan karena keadaan.
Bertahan karena iba?
Begitukah?
Sang Gadis tersenyum dalam sedu nya.
Betapa bodoh, pikirnya.
Ia memang berharap lebih pada cintanya.
Berharap dia yang bisa menjadi sandarannya untuk yang terakhir.
Berharap dia yang selalu ada saat sedih dan gembiranya.
Tapi ganjalan dihatinya menyadarkannya.
Bahwa firasatnya tak sepenuhnya salah.
Sang gadis belum yakin benar.
Bahwa cintanya telah membohonginya.
Membohongi perasaannya.
Kekalutan menyelimuti mereka.
Sang gadis yang terlanjur mencinta.
Dan cintanya yang tak tega pergi meninggalkannya.
Sang Gadis berdiri kembali.
Dihirupnya napas yang semula sesak.
Ia kembali menari.
Memeluk nestapa yang semoga segera sirna
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H