Mohon tunggu...
aulia zahro fiba putri
aulia zahro fiba putri Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Mahasiswa

Pendidikan

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Krisis Lingkungan

29 September 2024   03:16 Diperbarui: 29 September 2024   03:16 15
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Analisis Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

 

Sejarah mencatat bahwa dalam kurun waktu kurang lebih tiga ratus tahun terakhir, sains modern telah memberikan kemajuan yang signifikan dalam hal temuan-temuan ilmiah, baik pada tataran teoritis maupun praktis. Namun di antara begitu banyak penemuan-penemuan dalam dunia sains itu banyak juga yang melahirkan pertanyaan-pertanyaan baru mengenai hal tentang realitas, yakni tentang hakikat alam kosmos, pengertian ruang dan waktu, hakikat materi dan energi atau cahaya, kesadaran manusia, relasi pikiran, dan tubuh atau relasi subjek-objek pengetahuan, dan termasuk pertanyaan tentang hakikat sains itu sendiri. Perkembangan sains yang ditandai dengan kemajuan sains dan teknologi tersebut, ternyata tidak seluruhnya meniscayakan hilangnya problematika kehidupan manusia. Problematika kehidupan yang semula ingin diselesaikan manusia dengan sains dan teknologi ternyata justru kian membuat problem menjadi semakin pelik. perkembangannya tengah menyisakan berbagai macam krisis, seperti kemiskinan, ketidakadilan ekonomi, politik, informasi, termasuk menurunnya kualitas kesehatan dan kurangnya kesadaran akan lingkungan hidup (Amirullah, 2015).

Permasalahan krisis ekologi jelas sangat berbeda dengan permasalahan non-ekologis, krisis ekologi tidak dapat diabaikan begitu saja. Kepasifan dan keaktifan manusia dalam merespon permasalahan ini akan menentukan jalan cerita ekosistem lingkungan hidup dan planet bumi dimasa mendatang.Krisis ekologi ini mulai disuarakan sejak tahun 1960-an, dimana sebagian besar orang mulai memikirkan kembali relasi mereka terhadap alam ketika tindak-tanduk manusia mulai mengancam keseimbangan alam dan mengalienasikan manusia dengan kehidupan selain dirinya (Amirullah, 2015).

Berteologi dalam konteks krisis ekologis berarti berteologi terhadap ancaman yang dihadapi lingkungan hidup yang sudah sangat rusak dan terancam binasa oleh ulah manusia. Krisis ekologis berarti lingkungan hidup sedang terancam menuju kehancuran. Berteologi dalam konteks kerusakan lingkungan hidup berarti suatu usaha merefleksikan teologi dalam konteks kondisi faktual lingkungan hidup (ecofactual) yang sedang krisis.Pendekatan baru studi teologi tentang lingkungan hidup (ecotheology) lahir dari realitas lingkungan yang rusak. kerusakan lingkungan hidup sebagai akibat dari perkembangan pembangunan, khususnya industrialisasi di Barat, membangkitkan kritik orang-orang tertentu terhadap peran negatif teologi Kristen, bahkan peran negatif Kitab Suci Kristen terhadap kerusakan lingkungan tersebut. Kritik pertama a kesalahan yang sangat besar atas krisis lingkungan kontemporer. White menyebut Kitab Suci Kristen-Yahudi mengabaikan kekudusan alam. Tradisi dan teologi Yudaisme-Kristen telah menafsir Kejadian 1:26-28 secara antroposentrik menyebabkan manusia mengeksploitasi dan tidak merawat alam (Borrong, 2019).

Cogito ergo Sum, aku berpikir maka aku ada. Gagasan Rene Descartes ini menandai perubahan paradigmatik dalam menentukan relasi manusia dengan sesuatu hal di luar dirinya, termasuk alam. Pola pikir rasional yang dibawa dalam gagasan ini membawa dampak yang sangat luar biasa pada munculnya semangat optimisme pada diri manusia untuk mampu menaklukkan alam. Manusia tidak lagi tunduk pada alam, melainkan manusia dengan rasio yang dimilikinya mampu untuk mengubah alam sesuai dengan kebutuhannya. Alam dan segala hal yang berada di luar diri manusia kemudian ditempatkan sebagai sarana bagi pemenuhan kebutuhan manusia. Pada konteks ini kategori bernilai hanya dimiliki oleh manusia dan tidak yang lain. Inilah sesungguhnya yang menjadi cikal bakal gagasan antroposentrisme (Muthmainnah, 2020).

Berteologi dalam konteks krisis ekologis dewasa ini harus mencakup semua pendekatan berteologi, mulai dari berteologi biblis sampai berteologi praktik (doing theology) yang nyata dan dapat sungguh-sungguh menyumbangkan transformasi kehidupan umat manusia, khususnya dari perspektif Kristen. Berteologi dalam konteks krisis ekologis bukan lagi sekedar sebagai upaya apologetis atau konstruktif, tetapi juga praktik, menggapai bumi atau alam dengan yang dapat disebut sebagai praktik berteologi ekologi. Berteologi bukan di ruang kosong melainkan dalam konteks yang real, nyata dan solutif. Praktik teologi ekologi tidak hanya dalam alam sebagai tindakan romantik melainkan melalui gaya hidup yang dapat disebut sebagai green habitus theology (Amirullah, 2015).

Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun