Sampah plastik yang berada di laut (marine debris) merupakan salah satu masalah yang menjadi perhatian utama di setiap negara. Sampah plastik yang susah untuk terurai telah mencemari laut akibat aktivitas di laut maupun dari aktivitas darat yang dilakukan oleh orang-orang tidak bertanggung jawab. Asia Tenggara sebagai negara yang memiliki perairan strategis dan padat akan aktivitas di laut, akibat dari hal ini adalah sampah yang berdatangan tidak hanya dari wilayah Asia Tenggara itu sendiri melainkan juga datang dari negara lain yang melintasi perairan tersebut. Sampah laut juga menjadi konsiderasi utama dalam mempertahankan konservasi laut terutama di negara yang memiliki sumber daya yang kaya seperti Indonesia, bahwasannya permasalahan lingkungan ini akan mempengaruhi siklus kehidupan untuk manusia dan fauna yang berada di laut.Â
Menurut data Condor Ferries, sampah laut pada periode 2020-2021 bertambah dari tahun sebelumnya. Di mana China menduduki persentase tertinggi dalam pembuangan sampah laut sebanyak 29% dan diikuti dengan sebagian Asia lainnya sebanyak 21%. Tidak hanya Asia, Eropa pun juga menjadi peringkat ketiga dalam pembuangan sampah laut sebanyak 19%. Di dalam Asia Tenggara sendiri, Malaysia menjadi peringkat utama dan diikuti oleh Thailand. Dari data-data yang diberikan menandakan bahwa  penanganan sampah laut masih belum efektif, apalagi ditambah dengan adanya kegiatan "impor sampah" antar negara yang marak terjadi. Impor sampah ini dilakukan oleh negara-negara maju yang menargetkan negara-negara berkembang guna untuk keperluan industri pembuatan kertas, namun apabila diteliti kembali aktivitas ini sering disalahgunakan.Â
Penyalahgunaan ini dapat dilihat dari fakta bahwa negara maju mengirim sampah berupa plastik yang mengandung zat berbahaya, sedangkan plastik yang diperbolehkan untuk impor adalah berjenis skrap, kertas, reja di mana barang tersebut tidak terkontaminasi oleh Bahan Berbahaya dan Beracun (B3). Apabila negara maju melakukan impor ilegal maka negara yang menerima sampah tersebut berhak untuk mengembalikan kiriman tersebut, hal ini sangat perlu ditindak tegas juga dengan pemerintah agar negaranya tidak menjadi tempat sampah negara maju. Sebuah sampah tidak hanya sampah plastik melainkan polusi sampah berupa kaos, sepatu boots, dan lain-lain  dari industri busana akibat tren busana cepat (fast fashion)Â
Permasalahan yang dihadapi oleh kawasan regional adalah bagaimana cara untuk mengatasi impor sampah dan aktivitas laut yang mencemari laut. Dengan seiring berjalannya waktu dan fakta yang terjadi, bahwa negara-negara ASEAN menjadi dampak dari pengiriman non-stop sampah-sampah negara maju menginisiasikan bahwa negara-negara ASEAN juga perlu menindak tegas atas perbuatan pihak barat. Adanya sampah laut ini mengakibatkan beban untuk generasi di masa depan, mereka harus menerima konsekuensi seperti ketidakseimbangan siklus hidup diakibatkan terganggunya keseimbangan pangan. Banyak dari masyarakat berasumsi bahwa laut hanyalah tempat untuk hewan laut dan aktivitas pelayaran sementara itu, laut adalah sumber pangan yang strategis untuk umat manusia. Hal ini juga menjadi suatu permasalahan bahwa kurangnya kesadaran manusia untuk menjaga konservatif laut demi ketahanan pangan. Â
Eksisnya Green Politics atau yang dikenal dengan teori politik hijau melatarbelakangi diplomasi antar negara mengenai keberlanjutan lingkungan sehingga munculnya berbagai kebijakan mengenai lingkungan, seperti perubahan iklim, krisis lingkungan laut, dan sebagainya. Kontribusi anggota ASEAN mengenai sampah laut sudah dilakukan sejak 2017 di Thailand karena gentingnya isu ini di kawasan regional kolaborasi pun akhirnya dilaksanakan dengan organisasi aktivis lingkungan. Hal ini melahirkan adanya ASEAN Framework of Action on Marine Debris yang berisi mengenai aksi anggota ASEAN hingga tahun 2025.Â
Aktor yang berperan tidak hanya negara saja, melainkan non aktor juga ikut berkontribusi; masyarakat, lembaga swadaya, lembaga multinasional sebab isu ini adalah isu yang menyangkut kesejahteraan bersama. Apa yang dilakukan oleh aktor negara anggota ASEAN telah mendukung dengan adanya kebijakan-kebijakan yang telah dibuat.Â
Malaysia, larangan penggunaan sedotan plastik dan kenaikan harga untuk pembelian kantong plastik sejak 2018.Â
Indonesia, melarang penggunaan plastik sekali pakai seperti styrofoam, kantong belanja plastik, dan lainnya sejak 2019. Berfokus pada lima pilar termasuk memperbaiki perubahan perilaku, meningkatkan mekanisme pendanaan, reformasi kebijakan. Melahirkan  peta jalan implementasi Extended Producer Responsibility (EPR). Kementerian Pembangunan Nasional Perencanaan (Bappenas) sedang mengembangkan peta jalan ekonomi sirkular nasional, dengan fokus pada kemasan plastik
Filipina, melarang untuk menggunakan kantong belanja plastik.Â
Thailand, melarang untuk menggunakan plastik sekali pakai pada tahun 2018.Â
Cambodia, telah mengembangkan strategi rencana aksi sampah pada tahun 2018 dan mendukung pengembangan pendaur ulang.Â
-
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!