Budaya patriarki, merupakan sebuah sistem sosial yang menempatkan laki-laki sebagai pemegang kekuasaan utama, telah mengakar kuat dalam masyarakat dari berbagai lapisan. Dalam tatanan ini, laki-laki mendominasi hampir seluruh aspek kehidupan, mulai dari keluarga, politik, ekonomi, hingga budaya. Ketergantungan pada norma-norma yang mendukung dominasi laki-laki ini menciptakan struktur sosial yang menempatkan perempuan pada posisi subordinat. Dampaknya, ruang gerak perempuan dalam mengekspresikan diri, berpendapat, atau memperjuangkan hak-haknya terbatas.
Dampak budaya patriarki terasa nyata dalam kehidupan sehari-hari, terutama ketika perempuan berusaha menyuarakan pendapat atau memperjuangkan prinsip-prinsip mereka. Sering kali, perempuan yang bersikeras pada pendiriannya dicap egois karena dianggap tidak mengutamakan kepentingan keluarga atau pasangan. Padahal, argumen yang mereka sampaikan sering kali berlandaskan logika yang matang dan kepedulian terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Ekspektasi sosial yang menuntut perempuan untuk menempatkan kepentingan orang lain di atas kebutuhan pribadi mereka justru menjadi kendala yang membatasi kebebasan individu perempuan.
Namun, menjadi perempuan berprinsip bukanlah egoisme. Sebaliknya, itu adalah bentuk keberanian untuk mempertahankan hak, martabat, dan integritas diri. Pasal 5 Convention on the Elimination off All Forms of Discrimination Agains Women (CEDAW) menegaskan bahwa norma-norma budaya yang merendahkan perempuan harus diubah. Contoh nyata tantangan ini muncul ketika perempuan memilih untuk mengejar karier, menolak pernikahan dini, atau menuntut kesetaraan dalam keluarga. Langkah-langkah ini sering dianggap sebagai pelanggaran terhadap "kodrat" perempuan, meskipun pada kenyataannya, mereka adalah upaya memperjuangkan hak-hak yang dijamin oleh hukum. Dalam budaya patriarki, perempuan yang melampaui peran tradisional mereka sering dipandang sebagai ancaman terhadap tatanan yang ada.
Selain itu, perempuan yang kerap berargumen atau melawan arus seringkali dicap sebagai "sulit diatur" label ini bukan hanya mencerminkan ketidaksetujuan terhadap keputusan mereka, tetapi juga menggambarkan resistensi budaya patriarki terhadap perempuan yang menentang struktur sosial yang tidak adil. Ketika perempuan berani menantang pandangan dominan atau menawarkan perspektif baru, suara mereka sering dianggap sebagai ancaman terhadap tatanan yang sudah mapan. Ironisnya, stigma ini tidak hanya membatasi perempuan dalam lingkup privat, tetapi juga menghambat mereka di ruang publik, seperti dunia kerja dan politik.
Salah satu tantangan utama perempuan dalam berargumen adalah membangun kredibilitas. Dalam budaya patriarki, pendapat laki-laki lebih sering diterima sebagai "otoritas" sementara perempuan harus berusaha lebih keras untuk meyakinkan orang lain bahwa pandangan mereka valid. Ini menciptakan dilema yang sulit diatasi, jika perempuan terlalu lantang dalam menyuarakan pendapat, mereka sering dianggap agresif atau terlalu dominan, jika terlalu tenang, mereka dianggap lemah atau tidak kompeten. Ketidaksetaraan ini memperburuk situasi, memperkuat stereotip tentang peran perempuan yang hanya sebatas di rumah tangga atau sebagai pendukung, bukan sebagai pemimpin atau pengambil keputusan.
Untuk menghadapi budaya patriarki yang mengakar, langkah nyata yang dapat diambil untuk mendukung perempuan dalam berargumen adalah membuka ruang yang inklusif, menyediakan edukasi yang mendalam tentang kesetaraan gender, advokasi kebijakan perlindungan hak perempuan, dan meningkatkan representasi perempuan di berbagai sektor kehidupan. Perempuan yang berani bersuara dan menantang norma sosial yang tidak adil dapat memotivasi perempuan lain untuk juga berani berbicara dan memperjuangkan hak mereka. Ini menciptakan gelombang perubahan yang tidak hanya bermanfaat bagi perempuan, tetapi juga bagi masyarakat secara keseluruhan.
Dalam banyak kasus, perempuan yang melawan budaya patriarki justru menjadi agen perubahan yang luar biasa. Mereka menginspirasi perempuan lainnya untuk lebih berani berbicara, menuntut keadilan, dan menentang norma-norma yang tidak adil. Dengan demikian, perempuan yang berani menyuarakan pendapat dan memperjuangkan hak-hak mereka memiliki peran penting dalam membentuk dunia yang lebih setara. "Dunia yang lebih adil dan setara bukanlah utopia" itu adalah visi yang harus diperjuangkan bersama oleh semua lapisan masyarakat, baik laki-laki maupun perempuan.
Perubahan menuju masyarakat yang lebih setara tidak hanya tanggung jawab perempuan. Laki-laki juga memainkan peran krusial dalam mengubah pandangan dan norma budaya patriarki yang menghambat kemajuan sosial. Dalam banyak budaya, laki-laki dianggap sebagai pihak yang paling berkuasa dalam struktur sosial. Oleh karena itu, peran laki-laki dalam mendukung kesetaraan gender dan melawan diskriminasi terhadap perempuan sangat penting. Dengan berpartisipasi dalam advokasi kesetaraan gender, laki-laki dapat membantu menciptakan lingkungan yang lebih inklusif dan membangun kesadaran kolektif bahwa hak perempuan adalah hak asasi manusia.
Penulis : Aulia Rachma, Mahasiswa Program Studi Hukum Tata Negara, Fakultas Syariah, Universitas Islam Negeri (UIN) Salatiga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H