Mohon tunggu...
Aulia Nurul Kurniasari
Aulia Nurul Kurniasari Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Saya Aulia Nurul Kurniasari mahasiswa Universitas Sebelas Maret Surakarta program studi D3 Teknologi Hasil Pertanian. saya anak ke dua dari dua bersaudara. hobi saya yaitu memasak. saya mempunyai kelebihan disiplin, perfeksionist, dan mandiri. saya senang menekuni bidang pangan, kesehatan yang menyangkut tentang gizi, dan sosial.

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Setiap Manusia Punya Masanya

21 Desember 2022   11:00 Diperbarui: 21 Desember 2022   11:05 101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Diary. Sumber ilustrasi: PEXELS/Markus Winkler

Suatu ketika cuaca sangat cerah. Pada saat itu saya sedang bermain dan berhenti di suatu rumah makan bersama dengan teman saya. Saya menikmati makanannya karna kalau boleh jujur itu untuk pertama kalinya saya makan di rumah makan tersebut. Keadaan baik-baik saja sampai saat saya keluar dari rumah makan saya melihat anak kecil berkeliling berjualan buah. Pada saat itu saya kaget ternyata masih banyak anak-anak yang berjualan di jalan padahal diusia mereka seharusnya mereka bermain dan belajar. Saat itu saya hanya melihatnya sambil bergumam "kasihan hari sudah siang tapi jualannya masih banyak" tanpa ada niat untuk membeli.

Saya juga tidak tahu kenapa pada saat itu saya tidak inisiatif untuk membelinya. Padahal saya sadar bahwa harusnya anak itu bermain bukan mencari uang. Entah anak itu membantu ibunya, atau mungkin dia punya bos. Jika mungkin membantu ibunya misalpun tidak laku banyak ibunya tidak akan memarahinya, namun apa jadinya jika dia punya bos yang galak dan selalu marah jika dia hanya bisa menjual dalam jumlah sedikit. Pikiran itu terpikirkan saat perjalanan pulang.

Setelah kejadian itu saya tepikirkan tentang saya yang sering membandingkan diri saya dengan orang lain. Ketika teman atau saudara dapat bersekolah di sekolah yang bergengsi kadang membandingkan, merasa iri. Mengapa saya tidak mencoba untuk bersyukur saja daripada membandingkan sekolah saya dengan orang lain. Toh juga sama-sama sekolah, sama-sama mencari ilmu. Kualitas seseorangpun juga tidak dapat dilihat hanya dari dimana ia bersekolah.

Kemudian selang beberapa bulan, saat masa-masa sulit mencari ptn hal itu terjadi lagi. Saat itu pengumuman SNMPTN saat itu saya yakin saya bisa lolos di uniersitas yang saya daftarkan. Namun ternyata hasilnya zonk yang saya dapatkan hanyalah kata "Maaf anda belom lolos". Selang beberapa menit bermunculan story wa dengan ucapan selamat. Yang bisa saya lakukan hanyalah menangis dan lagi-lagi membandingkan dengan orang lain. Padahal presentase yang lolos SNMPTN dengan yang tidak lolos SNMPTN tentu saja banyak yang tidak lolos. Tapi mengapa merasa kurang sedangkan di luar sana masih ada yang tidak masuk dalam kuota siswa SNMPTN. Setiap melihat story wa terus bergumam "paling juga cuma kebetulan" dibilang iri ya memang iri. Siapa yang tidak kepengin bisa masuk PTN tanpa jalur test.

Dibukalah jalur masuk lain menggunakan test yaitu SBMPTN, dan lagi-lagi gagal dengan ucapan "Tetap Semangat dan Jangan Putus Asa". Story wa Kembali dipenuhi ucapan kata selamat yang membuat saya cukup muak. Seharusnya bersyukur tidak lolos juga bukan suatu hal yang salah daripada membandingkan dengan teman yang lolos. Bersyukur karena mungkin Tuhan sedang mempersiapkan yang terbaik untuk saya yang bukan dari jalur SBMPTN. Bersyukur mungkin jika masuk jalur SBMPTN ukt yang didapat tidak sesuai dan bersyukur karena masih bisa merasakan suasana UTBK.

Sampai pada saat saya masuk di UNS kebiasaan untuk membanding-bandingkan dengan orang lain ini masih ada. Melihat teman-teman yang bisa lolos di universitas yang saya inginkan membuat saya iri. Padahal jika saya mau mengamati banyak teman sebaya yang mungkin tidak bisa melanjutkan taun ini, masih banyak yang melanjutkan di universitas swasta. Seharusnya juga saya harus bersyukur bisa mengalahkan orang-orang yang bermimpi sekolah di UNS. Bersyukur ternyata dengan kuliah di UNS saya bisa pulang seminggu sekali.

Dari kejadian-kejadiang di atas dapat disimpulkan bahwa rasa syukur tidak harus kita lakukan ketika mendapat sesuatu yang besar. Hanya karena kita msih diberi umur yang panjang seharusnya kita bisa bersyukur. Membanding-bandingkan diri dengan orang lain hanya menjadi hal yang sia-sia dan melelahkan. Semakin seseorang naik tingkatnya semakin besar rasa untuk membandingkan diri. Padahal kita hanya perlu untuk bersyukur denga napa yang kita punya, apa yang kita raih. Di luar sana masih banyak orang yang jauh lebih susah daripada kita. Terkadang kita harus melihat ke bawah untuk bersyukur dan melihat ke atas untuk terus berjuang. Ingat untuk berjuang ya bukan membandingkan. Kalau dirasa sulit untuk bersyukur coba dengan bersyukur dari hal-hal kecil. Bersyukur masih bisa makan, masih bisa sekolah, bersyukur diberi mata yang bisa melihat, anggota tubuh yang normal dan hal-hal kecil lainnya. Hidup kita akan lebih tenang jika kita pandai bersyukur daripada terus membandingkan diri sendiri dengan orang lain.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun