Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang pernah mengalami sejarah politik, dari masa kolonial sebelum merdeka bahkan sejarah politik yang terjadi kerusuhan dalam negaranya sendiri pada tahun 1966 dan 1998. Banyak yang berpendapat bahwa pada masa itu merupakan masa yang kelam karena terjadinya pelanggaran hak asasi manusia terburuk. Hal ini dipertegas oleh Pitaloka menyebutkan bahwa Orde Baru sering menganalogikan negara sebagai sebuah bentuk keluarga besar dengan asas kekeluargaan menjadi konsep yang harus ditaati masyarakat. Kepala keluarganya diasumsikan sebagai Bapak, yang tentunya masih jelas dengan sebutan "Bapak Pembangunan" atau istilah lainnya yaitu "asal Bapak senang". Kepada Bapak seluruh rakyat dituntut menyerahkan segala sesuatunya yang menyangkut kesejahteraan mereka. Rakyat sebagai objek yang harus manut yakni taat, tunduk, secara pasif (Widyaiswara., et al., 2021). Sejarah tersebut tidak  dapat dihilangkan sebagai warisan persamaan nasib akan pelanggaran hak asasi manusia sebagai warga negara. Untuk menyampaikan informasi sejarah tersebut pada masyarakat, salah satu cara yang kini banyak diminati yaitu melalui novel bergenre historical fiction yang berjudul Laut Bercerita karya sastra dari penulis Leila S. Chudori yang terbit pada tahun 2017. Sebelumnya, pada tahun 2012 Leila S. Chudori juga pernah menghasilkan novel berjudul Pulang yang melatarbelakangi sejarah Indonesia menganai peristiwa Gerakan 30 September 1965 (G30S/PKI). Sama halnya dengan novel Pulang dengan latarbelakang sejarah Indonesia, novel Laut Bercerita pun dibuat dengan latarbelakang sejarah yaitu detik-detik sebelum dan sesudah peristiwa Reformasi pada tahun 1998 yang ditandai dengan gerakan mahasiswa dan runtuhnya masa pemerintah Presiden Soeharto dan Orde Baru (Orba).
Novel Laut Bercerita bertutur tentang kisah keluarga yang kehilangan, sekumpulan sahabat yang merasakan kekosongan dada, sekelompok orang yang gemar  menyiksa dan berkhianat, sejumlah keluarga yang mencari kejelasan makam anaknya, dan tentang cinta yang tak akan luntur. Novel tersebut  seakan-akan membawa para pembaca  ikut berpetualang ke dalam perjalanan emosi. Akan tetapi tidak hanya membawa para pembaca pada pasang surut emosi, buku ini juga berisikan pengetahuan tentang keadilan sosial, prinsip demokrasi, dan sejarah pergerakan untuk mendukung Orde Baru. Kenyantaan bahwa hilangnya demokrasi dan kebebasan berpendapat pada masa Orde Baru menjadi pokok yang ingin disampaikan oleh Leila S. Chudori. Hal ini ditegaskan dengan pesan-pesan yang disampaikan  melalui tindakan rezim pemerintah yang otoriter pada pengalaman tokoh dalam bukunya. Alur cerita ditulis dengan bentuk keresahan mahasiswa mengenai pengekangan pemerintah dalam kelompok aktivis mahasiswa yang dicurigai melakukan unjuk rasa. Pengekangan ini justru memicu mahasiswa kala itu untuk bergerak menyuarakan pemikirannya bahwa hal ini menjadi tanda yang tidak sesuai dalam pemerintahan sehingga terjadi pembungkaman. Â
Disambut dengan syair pembuka "Matilah engkau mati, Kau akan lahir berkali-kali." Menjadi gerbang utama sebuah pertanyaan siapakah yang akan lahir berkali-kali? Dari syair tersebut menganalogikan makna bahwa kalimat "lahir berkali-kali" merupakan lahir berkali-kali oleh kenangan di akhir cerita. Kemudian penokohan dalam cerita ini memiliki dua tokoh sebagai pemeran utama. Dua tokoh utama memiliki sudut padang yang bergantian. Biru Laut adalah salah satu tokoh utama. Dirinya merupakan seorang mahasiswa yang cinta pada sastra. Kecintaannya terhadap buku sastra mengiringnya menemui berbagai buku yang memuat perlawanan terhadap rezim pemerintah pada saat itu. Biru Laut juga gemar berdiskusi dan mengulas buku yang sesuai dengan pemekirannya. Ia sangat keras kepala untuk melakukan perlawanan terhadap diktator pemerintah kala itu. Tokoh utama selajutnya adalah Asmara Jati. Ia merupakan adik perempuan Biru Laut. Sangat berbeda dengan Laut yang cinta terhadap sastra, Asmara lebih tertarik pada sains. Namun, ia juga memiliki semangat juang yang serupa dengan Laut. Semenjak Laut menghilang tanpa kabar, Asmara melakukan aksi untuk menuntut kabar dari kakak dan aktivis lainnya kepada pemerintah. Ia mendirikan lembaga untuk menjadi wadah bagi para keluarga yang kehilangan anggotanya juga.
Perjuangan yang dimulai oleh Laut mengenai kegiantannya sebagai seorang mahasiswa yang hidup dalam dunia sastra. Kecintaannya  terhadap sastra mengiringnya untuk membaca buku-buku yang memuat perlawanan atas rezim pemerintah. Ketertarikan Laut terhadap buku-buku itu mendorong keinginannya untuk mengikuti organisasi bernama Winatra dan Wirasena. Organisai tersebut merupakan tempat diskusi untuk mengkaji suatu isu berdasarkan buku yang dibaca hingga isu menentang rezim pemerintah. Dari organisasi itulah Laut dipertemukan dengan berbagai orang yang memiliki semangat perjuangan yang sama mengenai rezim pemerintah. Perjuangan yang dilakukan oleh Laut disertai dengan seorang kekasih yang bernama Anjani. Seorang wanita yang digambarkan begitu kreatif dan pintar. Ia selalu mendukung Laut dengan kegemaran melukisnya. Lukisan yang selalu Anjani sematkan mengenai pesan perjuangan di dalamnya. Selain itu, Laut juga bertemu dengan teman sesama aktivis lainnya, yaitu Kinan, Daniel, Alex dan Gusti. Kinan adalah seorang wanita yang dianggap sebagai pemegang keputusan. Seringkali berbagai rencana dan diskusi ditutup dengan keputusan Kinan yang sangat realistis dan alasan yang sangat logis. Sementara Daniel, adalah seorang pria filsuf. Kepandaianya dalam berbicara membuatnya dikenal sebagai playboy. Selanjutnya sejoli Alex dan Gusti. Dua orang yang sangat mencintai seni. Kemampuan kedua nya dalam fotografi tidak perlu diragukan kembali. Tetapi mereka dikenal akan cara kerja yang saling berlawanan. Alex selalu memilih momen yang tepat untuk dipotret, sementara Gusti menganggap semua momen adalah penting sehingga harus dipotret. Meskipun semua tokoh memiliki perbedaan karakter dan kegemarannaya, para tokoh ini memberikan pengaruh pada jalan cerita perjuangan seorang Laut, sehingga memberikan sudut pandang dan suasana baru pada alurnya.
Dalam perjalanan cerita, Laut menjadikan diskusi buku sebagai kegiatan rutinitas selama berorganisasi Winatra dan Wirasena. Diskusi yang disertai dengan pemikiran yang searah dari anggota organisasi tersebut terfokus pada konsep perlawanan kepada kekuasaan pemerintah yang telah berjalan selama puluhan tahun ini. Diskusi-diskusi tersebut juga melahirkan berbagai pikiran yang dikemas dalam bentuk tulisan untuk dimuat dalam media cetak. Dalam menyuarakan pemikiran, Laut tidak hanya membuat gagasan berupa tulisan-tulisan yang dimuat media cetak. Pada akhirnya ia berhasil membuat sebuah pergerakan mahasiswa aktivis yang ikut dalam perlawan petani Belangguan akibat perampasan oleh perintah. Ini menjadi alasan awal Laut dan teman-temannya ditangkap dan diawasi oleh pemerintah. Para oknum intelejen pemerintah menjadi momok bagi para mahasiswa dalam menyuarakan gagasannya. Sebuah diskusi buku antar mahasiswa juga dapat menjadi awal mula mereka masuk dalam pantauan pemerintah yang mengakibatkan mereka diculik atau ditangkap. Hal ini menggambarkan betapa dikekangnya kegiatan mahasiswa karena dipercaya dapat menjadi aktor dalam melakukan perlawanan pada masyarakat kala itu. Suasana seperti itu yang menjadi latar perjalanan Laut dalam upaya mewujudkan pikirannya terhadap pemerintah. Berbagai kewaspadaan, pengkhianatan, pengawasan menjadi rasa yang setia menemani dalam berbagai kegiatan yang Laut dan teman-temannya jalani.
Seiring berjalannya waktu, buah pemikiran diskusi tersebut menjadi suatu aksi nyata yang dilakukan dalam bentuk pergerakan mahasiswa. Namun sangat disayangkan, diskusi tersebut bocor kepada intel pemerintah melalui sebuah pengkhianatan. Salah satu anggota organisasi yang bernama Gusti menjual hasil foto-foto yang ia punya kepada intelejen pemerintah. Alhasil diskusi dan rencana-rencana yang telah dipersiapkan oleh Laut beserta teman-temannya berujung pada penangkapan setelah mereka melakukan Aksi Blangguan. Mereka diculik dalam perjalanan pulang ketika sedang berada di terminal Jakarta. Mereka dibawa ke suatu tempat seperti markas tentara dan mengalami penindasan di dalam sana. Berbagai bentuk penyiksaan seperti dipukul, disetrum, dan disiram air panas mereka rasakan. Penyiksaan tersebut berjalan selama satu malam, mereka terus ditanya siapa yang mendalangi aksi yang mereka lakukan. Penculikan tersebut menjadi awal Organisasi Winatra dan Wirasena masuk dalam pengawasan pemerintah. Semakin berjalan aksi yang dilakukan Laut, organisasi mereka semakin dicap berbahaya oleh pemerintah. Sampai akhirnya, mereka disekap dan disiksa kembali. Penyekapan kali ini tidak disertai dengan pengembalian para aktivis tersebut. Hingga saat ini mereka masih hilang tanpa kabar.
Dalam bagian kedua, cerita berlanjut pada sudut pandang tokoh Asmara Jati. Dalam bagian sebelumnya, nuansa perjuangan yang dilakukan oleh Laut sangat dirasakan di setiap pergerakan yang ia lakukan. Sesekali, Penulis menceritakan kondisi pribadi dari Laut yang merasa jauh dari keluarganya. Hal ini diakibatkan waktunya habis dalam pergerakan mahasiswa bersama teman-teman seperjuangannya. Laut dan keluarganya memiliki tradisi untuk makan malam bersama setiap minggu dikala kesibukan masing-masing anggota keluarga. Namun, kesibukan Laut dalam dunia pergerakan mahasiswanya mengakibatkan hilangnya kebersamaan dalam tradisi keluarga tersebut. Tak disangka, hilangnya sosok Laut dalam keluarga terjadi selama-lamanya. Selanjutnya, cerita dilanjutkan oleh Asmara sebagai pihak keluarga yang merasa kehilangan. Kehilangan anak laki-laki pertamanya yang memutuskan untuk merantau menyisakan duka mendalam bagi kedua orang tuanya. Ayah dari tokoh Laut masih terus menyediakan seporsi makanan setiap makan bersama keluarga dengan harapan anak pertamanya dapat kembali. Kisah Asmara menggambarkan bagaimana keluarga merasakan kehilangan akan Laut. Asmara beserta keluarga aktivis lainnya tidak tinggal diam dari hilangnya masing-masing anggota keluarga. Mereka melancarkan aksi unjuk rasa akan ketidakjelasan kabar dari keluarga mereka. Para keluarga tidak mengetahui apakah para aktivis ini hilang, ditangkap, atau bahkan dibunuh akibat aksi yang mereka lakukan. Asmara bersama teman-temannya mendirikan lembaga sebagai wadah bagi para keluarga yang anggotanya turut dihilangkan secara paksa oleh pemerintah.
Melalui novel Laut Bercerita, dengan sangat jelas kita bisa melihat bahwa pada kala itu pelanggaran Hak Asasi Manusia ("HAM") menjadi hal yang meradang di tanah air. Tidak hanya di novelnya saja karena pada kenyataannya di era tersebut terdapat sejumlah catatan hitam dalam ranah hukum dan HAM. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999, HAM merupakan seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. Sedangkan dalam instrumen hukum internasional, Pasal 1 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia ("DUHAM") disebutkan bahwa semua manusia dilahirkan merdeka dan memiliki martabat dan hak yang sama. Manusia dikaruniai akal dan hati nurani dan hendaknya bergaul satu sama lain dalam semangat persaudaraan. Tidak hanya itu, berdasarkan konsideran International Covenant on Civil and Political Rights ("ICCPR") yang telah diratifikasi ke dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005, menyatakan bahwa HAM merupakan hak-hak yang berasal dari martabat yang inheren atau melekat pada diri manusia.
Pengaturan HAM yang relevan dengan buku ini diatur oleh Konstitusi UUD 1945 dan diperinci lebih lanjut dalam undang-undang lainnya seperti UU No. 23 Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya, UU No. 27 Tahun 1959 tentang Mobilisasi dan Demobilisasi. Selama perjalanan sejarah Indonesia, mulai dari masa Orde Baru hingga masa reformasi, Negara Republik Indonesia telah menghadapi berbagai peristiwa dan kejadian yang luar biasa atau menghadapi situasi darurat. Situasi darurat ini meliputi berbagai bidang, seperti politik, pertahanan, keamanan, ekonomi, moneter, serta situasi sosial yang diakibatkan oleh kerusuhan berdarah, ancaman bom, dan konflik horizontal di berbagai daerah. Situasi-situasi dan pelanggaran HAM yang terjadi pada kala itu digambarkan dengan sangat jelas dalam buku Laut Bercerita melalui kejadian-kejadian yang dialami para tokoh, seperti penyiksaan dan ancaman, pembunuhan, pembungkaman, dan Peristiwa Belangguan.
Akhir cerita, kematian Laut menunjukkan bahwa tokoh utama juga mampu mendapatkan akhir cerita yang sangat tragis. Penyekapan dan pembungkaman yang kala itu dihadapi, ternyata bukan tonggak awal untuk mendapatkan keadilan. Sebaliknya, justru menjadi gerbang awal menuju kematiannya. "Ke Laut, sesuai namamu. Ke kuburanmu!" begitulah percakapan yang dialami Laut dengan salah satu intel sebelum dirinya dibawa menuju tempat bersenandungkan ribuan debur ombak yang pecah. Sejak saat itu, lautan menjadi rumah abadi sesuai dengan namanya, Laut. Ia ditembak mati dan dibungkam tidak hanya didaratan, tetapi hingga dasar laut. Akhir cerita bahwa pada kenyataannya Laut telah mati dipeluk kegelapan dan kesunyian tanpa diketahui keluarganya dan orang terdekat, mengajarkan betapa berdampaknya penghilangan paksa bagi sanak saudara korban pada saat itu. Tidak hanya di dalam novel ini, tetapi pada kenyataannya, keluarga korban mengalami penderitaan mental yang sangat lama karena tidak tahu apa yang telah terjadi pada anggota keluarga mereka, apakah mereka masih hidup atau telah meninggal. Ketidakmampuan untuk mengetahui apakah orang yang mereka cintai akan kembali atau tidak, menyebabkan para keluarga korban terus-menerus merasakan kesedihan yang menghantui. Ketidakpastian mengenai nasib anak-anak mereka mungkin telah menjadi titik akhir dari suatu perjalanan, tetapi satu hal yang pasti, ini bukanlah akhir dari kisah mereka.
"Peristiwa tak nyaman atau menyakitkan tidak perlu dihapus, tetapi harus diatasi," begitulah bunyi salah satu percakapan dalam novel ini. Hal tersebut memberikan pelajaran bahwa pada akhirnya peristiwa yang kelam tidak bisa dihapus, tetapi harus diatasi. Begitu pula dengan sejarah kelam yang pernah menyelimuti bangsa ini. Akan tidak adil rasanya bagi keluarga korban dan pihak-pihak lain yang secara langsung terlibat apabila sejarah kelam tersebut dihapus. Oleh karena itu, melalui novel Laut Bercerita, kita tidak hanya mendapat hiburan dalam bentuk bacaan di waktu luang, tetapi juga pembelajaran dan pengetahuan mengenai awan hitam yang pernah menyelimuti bangsa ini. Sebagaimana novel ini dibuka oleh "Matilah engkau mati, Kau akan lahir berkali-kali," melalui novel Laut Bercerita diharapkan catatan kelam yang dialami tanah air ini tidak terulang kembali. Biarkan sejarah ini menjadi catatan yang memberikan sebuah pelajaran besar, yang lahir berkali-kali melalui kenangan.