Aulianita Listyani
aulianita306@gmail.com
Prodi Sastra Indonesia
Fakultas Sastra
Universitas Pamulang
Dalam mempelajari kehidupan manusia, sastra memberikan setting baru. Sastra pun tidak mengharuskan kita untuk membahas fakta kebenaran, karena logika sastra itu unik. Padahal tidak jarang kita membutuhkan pisau bedah logika untuk memahaminya. Karya sastra, karya sastra juga bukan wahyu Tuhan. Kita juga bisa lho mengatakan bahwa sering memberikan petunjuk dan mengarahkan kita ke arah yang benar. Kita secara alami akan mencapai proses pengenalan tanda, yang berubah menjadi konvensi kehidupan imajinatif pada setiap kata yang dibaca.
Namun, bukan berarti sastra dibuat secara asal-asalan atau "halu." Alasannya adalah bahwa sastra dan logika terkait erat, bahkan cerita yang tidak masuk akal seperti dongeng sihir Harry Potter dan cerita fiksi di Wattpad atau media massa lainnya. Bagaimana bisa penulis menciptakan karya fiksi jika si penulis tidak mengandalkan logikanya? Suatu hal yang mustahil bukan?Â
Teori mimesis pernah terungkap dalam Dunia Sastra Plato bahwa ada tiga dunia yang saling berhubungan; dunia ide, dunia manusia, dan dunia sastra. Sastra juga sering menggambarkan fenomena yang irasional, ajaib, dan absurd.
Dunia sastra juga mencerminkan dunia manusia, mengapa? Di dunia sastra lah manusia bebas untuk berimajinatif dan berjuang untuk mewujudkan imajinatifnya, banyak contoh karya yang sudah terwujud di Wattpad, salah satu aplikasi yang terkenal di kalangan penulis. Namun fenomena ini masih memiliki logikanya sendiri, seperti yang dilakukan Icarus ketika ia mengusulkan manusia terbang ribuan tahun lalu. Tokoh Harry Potter, pada di sisi lain, bisa mengendarai sapu terbang dan memakai jubah yang membuatnya tidak terlihat. Mengapa Icarus dan Harry Potter dapat diterima? karena dunianya mereka mengikuti logikanya sendiri. Singkatnya, hukum Icarus dan harry Potter berbeda satu sama lain. Konsisten juga dapat dikatakan sebagai kualitas logika. Selama sesuai dengan dunia sastra, sastra dapat diterima secara logis. Sastra juga dapat menjadi alat untuk merenungkan kebenaran keberadaan manusia.
Yayasan Arena mengorganisir peristiwa itu pada 8 September 1974, di Balairung Universitas Parahyangan Bandung, dengan Slamet Kirnanto menjabat sebagai "Jaksa Penuntut". adalah judul gugatannya. Tuntutan Slamet didasarkan pada penilaiannya terhadap puisi, ketidakpuasannya terhadap kritikus sastra, dan adanya label yang "mapan" bagi beberapa penyair Indonesia.
Tak ayal, peristiwa ini mengisyaratkan pemberontakan. Juga, Sapardi Djoko Damono menyatakan, tuntutan Slamet Kirnanto tidak lucu, tidak mengandung hal baru, dan ditulis dengan bahasa yang tidak baik. Meski demikian, Sapardi juga memuji keberaniannya dalam menyampaikan pendapatnya. fenomena lingkungan dan memasukkannya ke dalam karyanya.