Apa yang terlintas di benak Anda saat mendengar kata Surabaya?
Hiruk-pikuk kesibukan kota yang seakan tidak pernah habis?
Suasana 'after rain'nya yang berseliweran di beranda TikTok?
Atau Anda memiliki pengalaman istimewa dengan orang istimewa di Kota Pahlawan tersebut?
Surabaya dengan serba-serbinya, menjadi tempat peraduan nasib bagi para perantau dari berbagai kalangan, mulai para pelajar hingga pekerja dan faktor pernikahan. Pendatang-pendatang tersebut mencari peruntungan hidup berbekal segunung tekad dan restu orang tua yang senantiasa menguatkan bahu mereka.
Bagi saya sendiri, Surabaya adalah tempat saya dan teman-teman seperjuangan mengais pengetahuan dan pengalaman hidup baru untuk meniti karir masa depan. Ya, saya merupakan seorang mahasiswa di salah satu kampus negeri di Surabaya. Mengembara ke kota orang untuk menemukan banyak perpesktif lain guna menyusun jati diri, ditemani berbagai rintangan yang melukai tidak membuat saya lantas tidak bisa menikmati gemerlap kota yang katanya Kota Sejuta Taman itu.
Menjadi salah satu penduduk di kota besar yang sedikit-banyak didominasi oleh kaum pendatang dan perantau, mempertemukan saya dengan berbagai macam dialek dan logat khas yang dibawa orang dari daerah masing-masing. Logat khas dari Madura, daerah Mataraman (Blitar-Kediri-Nganjuk-Pacitan-Trenggalek-Ponorogo-dan sekitarnya), dan wilayah Pantura berbaur dan saling sapa di ibukota Jawa Timur. Saya dan teman-teman pun jadi sering membandingkan dialek khas daerah asal kami, dengan menemukan penyebutan yang sama dengan makna sama, makna berbeda, atau sebaliknya.
Adanya persinggungan tersebut menyebabkan munculnya konflik antar individu, termasuk juga persinggungan budaya yang berbeda-beda. Contohnya saja, perbedaan logat yang dibawa oleh perantau dari Kediri dan logat penduduk asli Surabaya. Tentu saja orang Kediri akan kalah tanding suara dengan warga lokal di Surabaya, karena gaya bicara yang dimiliki Surabaya terkesan membentak dan bak amukan bagi warga kidulan seperti Kediri.
Para pendatang yang berasal dari daerah berlogat halus, dapat mengalami gegar budaya atau yang biasa kita kenal dengan sebutan culture shock terhadap logat atau gaya bicara yang dimiliki arek-arek Suroboyo. Bayangkan saja, mereka yang terbiasa berbicara dengan nada rendah, santun nan lembut harus berhadapan dengan orang-orang yang perkataannya bagai amarah yang meluap. Ini bisa menjadi momen lucu dan ngeri sekaligus bagi warga-warga asal kidulan Jawa Timur.
Hal ini yang terkadang saya amati, menjadi suatu kesalahpahaman dalam berkomunikasi antar pribadi. Jika orang tersebut belum memiliki wawasan mengenai dialek bahasa dan logat, ia akan mengira lawan bicaranya sedang marah kepadanya dan membentak tanpa ia tahu alasan jelas dari sikap tersebut. Padahal, bagi lawan bicaranya yang merupakan warga lokal tulen memang seperti itulah caranya berbicara dalam keseharian.
Persepsi yang salah menimbulkan kesalahpahaman yang berujung konflik antar individu. Inilah mengapa pentingnya memahami latar belakang budaya yang dimiliki masing-masing subjek interaksi. Dialek bahasa dan logat bicara merupakan budaya yang terbawa individu dan menemani selama proses pertumbuhan.