Mohon tunggu...
Aulia Neka Putri
Aulia Neka Putri Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Menulis

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Nilai Nilai Filosofis Adat Basandi Sarak Sarak Basandi Kitabullah di Bumi Minangkabau

6 Mei 2024   12:40 Diperbarui: 6 Mei 2024   12:48 286
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Nilai Nilai filosofis Adat Basandi Sarak Sarak Basandi Kitabullah di Bumi Minangkabau
By : Aulia Neka Fitri

Sebagian besar wilayah Sumatra Barat didiami oleh masyarakat Minangkabau yang terkenal dengan sistem kekerabatan matrilineal, di mana garis keturunan berdasarkan garis ibu. Masyarakat ini juga dikenal sebagai orang-orang yang kuat dalam adat dan agama. Bagi masyarakat Minangkabau, adat dan agama tidak bisa dipisahkan. Adat Basandi Sarak, Sarak Basandi Kitabullah adalah dasar dari identitas mereka. Ini merupakan hasil dari kesepakatan dalam Piagam Sumpah Satie Bukik Marapalam pada awal abad ke-19, yang mengatasi konflik bersenjata yang melelahkan antara dua pandangan dunia dan pandangan hidup utama masyarakat Minangkabau.

Filosofi budaya Minangkabau dalam Adat Basandi Sarak, Sarak Basandi Kitabullah mendasarkan kehidupan mereka pada nilai-nilai Islam. Adat Basandi Sarak, Sarak Basandi Kitabullah adalah kerangka kehidupan sosial, baik secara
horizontal maupun vertikal.
Sama seperti budaya Batak yang menekankan siklus dan konsep rohani, Adat Basandi Sarak, Sarak Basandi Kitabullah di masyarakat Minangkabau merupakan perpaduan norma dan etika yang menggabungkan agama Islam dengan adat istiadat. Masuknya Islam dan penyatuan dengan adat istiadat melahirkan kesepakatan luhur, dengan keyakinan bahwa seluruh alam semesta adalah ciptaan Allah SWT, dan manusia adalah khalifah-Nya di dunia.
Adat, juga disebut sebagai 'uruf', merujuk pada sesuatu yang menjadi kebiasaan dalam masyarakat karena telah dikenal dan diwariskan secara turun-temurun sehingga menjadi bagian dari identitas. Bagi umat Islam, terdapat adat baik dan buruk. Menguatkan adat yang baik dan menghapus yang buruk adalah tujuan kedatangan agama dan syariat Islam.
 
Proses pertentangan dan perimbangan yang dilakukan oleh orang Minang telah membentuk karakter masyarakat Minangkabau yang memiliki sikap dan watak yang jelas dalam menghadapi kehidupan. Beberapa karakter tersebut meliputi penekanan pada nilai-nilai keadaban yang menjadi kekuatan moral dalam kehidupan, etos kerja yang didorong oleh kekuatan moral untuk berkontribusi bagi semua orang, kemandirian dalam hidup tanpa tergantung pada orang lain, toleransi dan persatuan hati meskipun terdapat persaingan, kesadaran akan kebersamaan, dan pandangan masa depan yang visioner.
Perpaduan antara adat dan agama yang menjadi semangat hidup seharusnya menjadi dasar kehidupan yang baik, baik di dalam komunitas adat maupun dalam hubungan dengan komunitas lain. Akidah tauhid dalam ajaran Islam ditanamkan dalam berbagai aspek kehidupan sehari-hari, baik di dalam rumah tangga maupun dalam masyarakat.
Penggabungan adat dan agama yang menjadi landasan semangat hidup seharusnya menjadi fondasi kehidupan yang positif, baik di dalam komunitas adat maupun dalam interaksi dengan komunitas lain. Keyakinan tauhid dalam ajaran Islam ditanamkan dari hal-hal yang sederhana seperti dalam tata pergaulan di rumah tangga hingga dalam kehidupan masyarakat.
Dengan demikian, masyarakat Minangkabau menghadapi sistem nilai etika, norma hukum, dan sumber harapan sosial yang memengaruhi perilaku ideal individu maupun masyarakat, serta melihat perubahan yang timbul dari adat dan Islam dengan cara yang bijaksana. Kemampuan dan kearifan orang Minangkabau dalam menghadapi dan memaknai setiap perubahan antara adat dan Islam akhirnya memungkinkan kedua hal tersebut bersatu dan saling mendukung, membentuk fondasi kebudayaan Minangkabau melalui Adat Basandi Sarak, Sarak Basandi Kitabullah.
Adat Basandi Sarak, Sarak Basandi Kitabullah akhirnya menjadi dasar dan pandangan hidup masyarakat Minangkabau. Manusia bisa mengambil pelajaran berharga untuk kehidupan bersama dari prinsip ini. Ketentuan alam dijadikan landasan untuk mengatur kehidupan masyarakat Minangkabau, baik secara pribadi, dalam masyarakat, maupun sebagai pemimpin. Fenomena alam mengajarkan bahwa setiap tindakan harus sesuai dengan hukum yang berlaku dan nilai-nilai dasar kemanusiaan, seperti 'bulek aie dipambuluah' (air yang keruh dipisahkan) dan 'bulek kato di mufakat' (kata-kata disetujui), yang menggambarkan pentingnya kesepakatan dan kejernihan dalam komunikasi.

Ajaran adat Minangkabau berdasarkan filosofi "Alam Takambang Jadi Guru", sebuah konsep yang menganggap alam semesta sebagai sumber kebenaran dan kearifan bagi orang Minangkabau. Alam dipahami dari segi fisik dan kosmologis, bukan hanya sebagai tempat kelahiran, pertumbuhan, dan mencari kehidupan, tetapi juga memiliki makna filosofis yang mendalam.
Pemahaman orang Minangkabau terhadap alam tercermin jelas dalam pandangan dunia dan gaya hidup yang sering mereka sampaikan melalui pepatah, petitih, dan petuah, yang terinspirasi dari sifat dan kehidupan alam. Pandangan kosmos ini akhirnya membawa mereka pada pengertian bahwa keteraturan alam bukanlah sesuatu yang datang secara tiba-tiba, tetapi muncul melalui proses perjuangan antara pertentangan dan keseimbangan.
Sejarah menunjukkan bahwa kesepakatan yang bijak ini telah memungkinkan lahirnya beberapa generasi "emas" selama lebih dari satu abad berikutnya. Pada periode keemasan ini, Minangkabau dikenal sebagai penghasil tokoh dan pemimpin, baik dari kalangan ulama "suluah bendang anak nagari" maupun "cadiak pandai" (cendekiawan dan pemimpin sosial politik) yang aktif di tingkat regional dan internasional. Mereka menjadi ujung tombak dalam kebangkitan budaya dan politik bangsa Indonesia pada awal abad ke-20, serta dalam perjuangan kemerdekaan bangsa ini pada pertengahan abad ke-20. Meskipun sebagai kelompok etnis kecil yang hanya menyusun kurang dari 3% dari total penduduk bangsa ini, peran kunci yang dimainkan oleh sejumlah tokoh besar dan elit seperti H. Mas'oed Abidin
Titik temu antara adat dan Islam menciptakan sistem nilai dan norma dalam kebudayaan Minangkabau yang menghasilkan falsafah Adat Basandi Sarak, Sarak Basandi Kitabullah. Perpaduan kedua konsep ini merupakan kesatuan budaya di mana adat dan agama saling terkait. Dalam konteks ini, tokoh agama pada masa lampau tidak hanya sebagai da'i, tetapi juga memiliki gelar adat secara kultural. Contohnya, Hamka dengan gelar Dt. Indomo, M. Natsir Dt. Sinaro Panjang, dan Mansur Daud Dt. Palimo Kayo, bersama tokoh-tokoh lainnya di berbagai bidang seperti eksekutif, legislatif, perguruan tinggi, yang juga memiliki gelar datuk. Tokoh- tokoh karismatik ini berhasil menyatukan Islam dengan adat Minangkabau.
Hamka, melalui karyanya yang monumental "Adat Minangkabau Menghadapi Revolusi" (1947), menjadi standar dalam memahami ajaran adat secara mendalam. Karyanya ini tidak hanya diminati oleh generasi saat itu, tetapi juga mengalami peningkatan cetakan berkali-kali. Selain

itu, Hamka dikenal dengan ratusan judul buku lainnya, beberapa bahkan diterbitkan di luar negeri seperti di Malaysia.
Meskipun belum ada bukti pasti secara ilmiah mengenai waktu, tempat, dan pencetus Adat Basandi Sarak, Sarak Basandi Kitabullah di Minangkabau, beberapa periode tertentu telah diidentifikasi. Ada klaim bahwa perjanjian ini sudah ada sebelum Perang Paderi pada tahun 1640 M oleh Kaum Fiqih dan kaum Sufi yang berselisih tentang masalah keagamaan, kemudian bersepakat pada kesepakatan tersebut.
Sarak, Sarak Basandi Kitabullah muncul saat gerakan kembali ke syariat diprakarsai oleh Tuanku Nan Tuo Berbagai sumber juga menyebutkan kesepakatan antara Syeikh Burhanuddin dan pemimpin adat Minangkabau pada tahun 1668 M, atau ketika Syeikh Burhanuddin bersama Penghulu 12 Ulakan bertemu dengan Yang Dipertuan Pagaruyung di Tanah Rajo di Bukit Marapalam pada tahun 1680 M. Menurut Syafinir Abu Naim, ikrar Adat Basandi sekitar tahun 1720 M.
Walaupun masih terjadi perdebatan di kalangan ahli mengenai sejarah dokumen ini, "Perjanjian Bukit Marapalam" diterima secara sosial di Minangkabau sebagai doktrin khas yang menggabungkan agama sebagai patokan ideal dalam tata prilaku dan pengaturan sosial yang diberikan oleh adat.
Referensi :
Yelmi Eri Fardius, Nilai-Nilai Filosofis ABS-SBK di Minangkabau.
Teguh Gunung Anggun, Falsafah Budaya Minang Adat Basandi Sarak Sarak Basandi Kitabullah. Gunawan, 17 Alasan Pembentukan Daerah Istimewah Minangkabau.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun