Bagi Kami Mencintai Rasulullah adalah inti dari Syahadat Risalah
(لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ (رواه البخاري
"Tidak sempurna iman salah seorang dari kalian sehingga menjadikan aku lebih ia cintai dari orang tuanya, anaknya dan seluruh manusia" (H.R Bukhari).
Prancis seolah menjadi musuh bersama bagi negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim. Hal ini dimulai dari pernyataan kontroversi Presiden Prancis, Emmanuel Macron yang membuat umat Muslim berang hingga diterbitkannya karikatur Nabi Muhammad di koran satir oleh Charlie Hebdo. Beberapa negara Islam melakukan aksi boikot secara massal terhadap produk Prancis, karena ini adalah hal yang bisa dilakukan untuk mendukung Nabi Muhammad SAW.
Pada awal September, Macron mengajukan undang-undang untuk separatisme Islam di negara yang ia pimpin. Macron sempat berujar bahwa "Islam adalah agama yang sedang mengalami krisis di seluruh dunia". Oleh karena itu, pemerintahnya akan mengajukan rancangan undang-undang pada bulan Desember untuk memperkuat undang-undang tahun 1905 yang secara resmi memisahkan gereja dan negara di Prancis (Fathanah, 2020).
Macron juga menganggap enteng masalah karikatur Nabi yang dikeluarkan oleh Charlie Hebdo. Ia mengaku tak bisa mengekang karena kebebasan berekspresi. "Tidak pernah ada kewenangan presiden memberikan penilaian pada pilihan editorial jurnalis atau berita," katanya, menambahkan untuk tetap mengutamakan kesopanan dan rasa hormat, sehingga tak ada ungkapan bernada kebencian.
Pada awal September, koran satir Prancis, Charlie Hebdo, mencetak ulang karikatur Nabi Muhammad. Langkah itu dilakukan sehari sebelum persidangan untuk mengadili tersangka pelaku terorisme yang menyerang kantor mereka pada 2015 digelar. "Gambar-gambar itu milik sejarah, dan sejarah tidak dapat ditulis ulang atau dihapus," tulis surat kabar di samping gambar kontroversial yang diterbitkan dalam sebuah editorial, mengutip CNN International. Gambar sampul Charlie Hebdo tersebut merupakan karikatur yang pertama kali diterbitkan harian Denmark Jyllands-Posten pada 2005. Charlie Hebdo kemudian mencetak ulang gambar itu pada 2006 (Fathanah, 2020).
Oleh karena itu, hal tersebut menimbulkan kemarahan bagi umat Muslim sehingga membuat mereka melakukan protes secara umum menentang pernyataan Macron. Aksi protes ini marak terjadi di beberapa negara Islam, seperti di Turki, Arab Saudi, Yordania, Qatar serta Kuwait. Mereka melakukan boikot secara besar-besaran terhadap produk Prancis, mulai dari produk kecantikan, fashion, otomotif hingga supermarket. Beberapa merek dagang produk Prancis tersebut adalah Dior, Chanel, Louis Vuitton, Ibis, Garnier, Cartier, L'oreal, Danone, dan lain sebagainya. Maka dengan adanya aksi pemboikotan ini dapat berdampak terhadap ekonomi negara tersebut.
Seruan untuk memboikot produk-produk asal Prancis mengancam transaksi luar negeri dari negara yang kini dikomandoi oleh Emmanuel Macron. Saat ini tercatat lebih dari USD 100 miliar atau setara Rp 1.442 triliun (kurs Rp14.423) nilai transaksi perdagangan yang dimiliki antara Prancis dengan negara-negara mayoritas Muslim. Dilansir dari Dailysabah, Sabtu, 31 Oktober 2020, seruan boikot produk Prancis dipicu klaim kontroversial Presiden Emmanuel Macron tentang Islam. Imbasnya, Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan mengimbau warga untuk menghindari produk Prancis karena agenda anti-Islam Macron. "Sama seperti mereka mengatakan 'Jangan beli barang dengan merek Turki' di Prancis, saya menyerukan kepada semua warga saya dari sini untuk tidak pernah membantu merek Prancis atau membelinya," kata Erdogan. Menurut data yang dihimpun Anadolu Agency (AA), negara berpenduduk mayoritas Muslim memegang peran penting dalam perdagangan luar negeri Prancis.
Pada 2019, ekspor Prancis ke negara-negara Islam senilai USD 45,8 miliar, dengan impor mencapai USD 58 miliar. Prancis yang memiliki populasi hampir 67 juta pada 2019 itu mencatat nilai ekspor sekitar USD 555 miliar, sementara impor mencapai USD 639 miliar. Prancis adalah pengekspor utama produk pertanian global, dengan tiga persennya dikirim ke Timur Tengah.
Beberapa produk asal Prancis yang diekspor ke negara Timur Tengah di antaranya adalah senjata, termasuk jet militer yang dipesan Mesir dan Qatar. Selain itu, perusahaan energi Total juga hadir di banyak negara mayoritas Muslim. Untuk label mode utama Prancis, Timur Tengah mewakili sebagian kecil penjualan dibandingkan dengan Amerika Serikat, Asia, atau Eropa. Merek besar seperti Louis Vuitton atau Chanel memiliki toko di seluruh Timur Tengah, termasuk di Arab Saudi dan Dubai.
Selain itu, salah satu target seruan boikot adalah jaringan supermarket Carrefour yang beroperasi di banyak negara Timur Tengah dan Asia Selatan melalui pengaturan waralaba dengan mitra. Turki merupakan pasar ekspor utama Prancis di antara negara-negara mayoritas Muslim dengan nilai mencapai USD 6,6 miliar pada 2019. Prancis adalah sumber impor terbesar ke-10 Turki dan pasar terbesar ke-7 untuk ekspor Turki, menurut Institut Statistik Turki (TurkStat). Meski demikian, Prancis tidak merencanakan boikot timbal balik terhadap produk-produk Turki.
Menteri Perdagangan Prancis Franck Riester mengatakan, pihaknya akan melanjutkan pembicaraan dan hubungan dengan Ankara dan presidennya. "Tidak ada pembalasan dalam agenda," kata Riester kepada stasiun radio RTL Prancis. Namun dia mengulangi kecaman pemerintah atas komentar Erdogan tentang Macron (Nordiansyah, 2020).