Di kala rezim Orde Baru masih berkuasa, peringatan peristiwa nasional selalu menjadi sebuah momentum renungan bagi Bangsa Indonesia. Seperti setiap akhir September, rakyat Indonesia selalu disuguhi sebuah tontonan wajib: Film Penumpasan G30S-PKI. Memasuki masa reformasi, tak ada lagi tradisi menonton film G30S-PKI. Pemerintah Indonesia yang mengamini demokrasi tak menghendaki penayangan film yang ditengarai sebagai propaganda Orde Baru tersebut. Praktis, Hari Kesaktian Pancasila pun seperti kehilangan daya magis sebagai tonggak nasionalisme rakyat.
Namun, lain ceritanya untuk Hari Kemerdekaan. Budaya ‘perenungan’ nasionalisme masih tetap terasa digaungkan menjelang 17 Agustus. Hari Kemerdekaan dirasa sebagai saat yang tepat untuk memaknai kembali arti kemerdekaan dan merenungi identitas nasional Bangsa Indonesia yang belakangan semakin terkikis seiring derasnya arus globalisasi. Lewat berbagai media massa dan kultur masyarakat, peringatan kemerdekaan menjadi saat yang tepat untuk menanamkan semangat kemerdekaan, membela negara, dan rasa cinta kepada tanah air.
Momentum perenungan kemerdekaan itu pulalah yang menjadi pijakan bagi Merah Putih, sebuah film yang mengisahkan perjuangan Tentara Rakyat Indonesia (TRI) mempertahankan kemerdekaan di masa Agresi Militer Belanda II pada tahun 1947. Hasjim Djojohadikusumo, adik dari Prabowo Subianto yang sekaligus produser film ini, menyebutkan bahwa film ini dilatarbelakangi oleh keprihatinan akan kecenderungan generasi muda melupakan tentang proses dan arti perjuangan para pahlawan di Tanah Air saat merebut kemerdekaan (Kompas.com, 9 Juli 2009).
Hadirnya Merah Putih sejatinya patut diapresiasi sebagai upaya yang baik untuk menyuguhkan genre alternatif di tengah industri perfilman yang digempur oleh drama mistik-humor-seks. Meskipun demikian, film yang menyuguhkan perjuangan pribumi ini tetap disajikan dengan gaya mainstream Hollywood yang penuh aksi heroik dan mengandalkan special effect. Sebagian besar film dikerjakan oleh kru asing yang ‘diimpor’ dari industri Hollywood, mulai dari Rob dan Connor Allyn (penulis skenario), Adam Howarth (koordinator special effect film perang Saving Private Ryan dan Blackhawk Down), Stuntmant Rocky McDonald yang sukses di film Mission Impossible II dan The Quiet American, sertaahli persenjataan John Bowring (The Matrix dan X-Men Origins: Wolverinei).
Oleh karena itulah, melihat kontradiksi antara proses produksinya yang didominasi asing dan mengingat latar belakang dan tujuan pembuatan film sebagai upaya penguatan nasionalisme, muncul pertanyaan: Pertama, gagasan apakah yang sebenarnya hendak disampaikan dalam film Merah Putih? Bagaimana gagasan tersebut ditampilkan dalam film ini?
Untuk menjawab kedua pertanyaan tersebut, dalam tulisan ini saya akan menggunakan sudut pandang yang seringkali terlupakan dalam mengkaji suatu fenomena dalam media, yaitu kajian media komunitas. Kajian media komunitas pada dasarnya berupaya memahami media yang dimiliki oleh suatu kelompok sebagai respon atas dominasi media mainstream. Inti dari kajian ini kental dengan gagasan mengenai komunitas, yang seringkali tidak terepresentasikan dalam media mainstream. Oleh karena itulah, media komunitas identik dengan media alternatif atau citizen media yang tujuan utamanya adalah akses dan paritisipasi, bukan profit (Rennie, 2006: 16-22).
Dalam kasus film Merah Putih, jawaban atas pertanyaan pertama mengenai gagasan yang hendak disampaikan di dalamnya sesungguhnya merujuk pada pemikiran Benedict Anderson mengenai nation sebagai sebuah imagined political community (1991: 6). Anderson mendefinisikan bagsa sebagai komunitas imajinatif karena anggota tak akan pernah mengenal seluruh anggota lain, bahkan melihat dan mendengarnya meskipun setiap anggota di dalamnya secara sadar mengakui bahwa mereka hidup dalam satu komunitas yang sama.
Kebersamaan sebagai satu komunitas nation inilah yang akhirnya membentuk konstruksi identitas nasional sebagai identitas yang dimiliki bersama. Di dalam identitas nasional tersebut sebenarnya terdapat berbagai identitas individual dan komunal yang melebur demi tercapainya tujuan bersama. Adanya kesamaan nilai historis serta tujuan bersama tersebut menjadi sebuah cultural roots yang berkembang menjadi nationalism (Anderson, 1991: 7). Dalam film Merah Putih, konsep nation as imagined community dan nationalism itu tertuang dalam wujud identitas bangsa Indonesia yang digambarkan oleh kelima tokoh utamanya.
Tokoh utama film ini terdiri dari Amir (Jawa, Muslim), Surono dan Marius (priyayi Jawa), Thomas (Manado, Kristen), dan Dayan (Bali, Hindhu) yang masuk sekolah tentara rakyat demi membela negara Indonesia yang terancam kemerdekaannya. Tokoh utama film ini terdiri dari Amir (Jawa, Muslim), Surono dan Marius (priyayi Jawa), Thomas (Manado, Kristen), dan Dayan (Bali, Hindhu) yang masuk sekolah tentara rakyat demi membela negara Indonesia yang terancam kemerdekaannya. Melalui tokoh-tokohnya, film ini berupaya menyampaikan pesan persatuan bangsa Indonesia yang masyarakatnya multikultural dan multirasial dalam melawan musuh bersama dan mempertahankan kemerdekaan. Dengan demikian, dalam sudut pandang komunitas, Merah Putih pada dasarnya menyampaikan gagasan komunitas imajinatif bangsa sebagai awal dari konstruksi identitas nasional dan nasionalisme yang melandasi suatu negara.
Untuk pertanyaan kedua, saya akan menjawab dengan berangkat pada pemahaman bahwa film Merah Putih dapat dilihat sebagai upaya untuk merenungkan kembali (reimagining) makna bangsa dan nasionalisme Bangsa Indonesia sebagai suatu komunitas besar yang memiliki kesamaan identitas. Yang menarik untuk dicermati adalah cara pengemasan dan penyampaian gagasan tersebut kepada anggota komunitas di dalamnya.
Meskipun dalam konsep dipahami bahwa komunitas biasanya menggunakan media alternatif untuk membentuk ikatan di dalamnya, film ini menunjukkan bahwa gagasan komunitas, seperti halnya nasionalisme, dapat disebarkan melalui pengemasan media mainstream seperti film populer. Mise-en-scene penuh adegan heroic dan tata visual ala perang Hollywood berisikan gagasan filosofis nasionalisme melahirkan genre alternatif film Merah Putih sejatinya merepresentasikan apa yang disebut Giddens (1984) sebagai Third Way, atau jalan tengah antara komunitarian dan libertarian.
Gagasan Komunitarian terasa kental dalam cerita film ini yang pada dasarnya berupaya mengkonstruksi identitas nasional yang dimiliki bersama oleh Bangsa Indonesia. Identitas nasional itulah yang membuat perjuangan kemerdekaan bisa diwujudkan oleh masyarakat Indonesia yang multikultural meskipun terdapat konflik yang melibatkan identitas kelompok seperti suku, agama, dan ras. Di sisi lain, cara produksi film ini berpedoman pada sistem pasar bebas yang diusung Libertarian yang tetap berorientasi pada profit sebagai kelangsungan produksi film ini.
Terlepas dari cacatnya skenario yang kurang menggugah rasa kebangsaan penonton, produksi film ini secara keseluruhan sebenarnya menjadi contoh yang baik bagaimana sebuah gagasan komunitas yang memiliki karakteristik sosialis dapat diterima secara efektif melalui strategi kapitalis.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H