Selesai membaca artikel opini berjudul “Kini Saatnya Berhenti Berkiblat ke AS” (Kompas, 17 Maret 2012), ada satu hal yang saya simpulkan: sistem penyiaran di Indonesia adalah sebuah dilema. Penyiaran di Indonesia, yang dalam UU Penyiaran Tahun 2002, memiliki tujuan mulia, merupakan objek tarik ulur kepentingan berbagai pihak. Industri, pemerintah, publik, ataupun lembaga lainnya, saling mempengaruhi ke mana arah penyiaran berjalan. Mengkaji Sistem Penyiaran Indonesia berujung pada pertanyaan persis seperti lagu grup band Armada, “Mau Dibawa Ke Mana?”.
Sebelum beranjak pada diskursus mengenai dilema penyiaran Indonesia, kita perlu menggrisbawahi bahwa penyiaran dilakukan dengan menggunakan spektrum radio yang merupakan barang milik publik. Oleh karena itu, penyelenggaraan penyiaran haruslah didasari oleh pemenuhan kebutuhan publik. Hal inilah yang berusaha ditekankan oleh UU Penyiaran Tahun 2002, bahwa penyiaran sebagai kegiatan komunikasi massa memiliki fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan yang sehat, kontrol dan perekat sosial. Untuk menjalankan fungsi tersebutlah, penyiaran juga memiliki fungsi ekonomi dan kebudayaan (Pasal 3). Penyiaran pun diselenggarakan dengan tujuan mulia: integrasi nasional, penguatan demokrasi, pecerdasan kehidupan bangsa (Pasal 2).
Akan tetapi praktik yang terjadi dalam pertelevisian kita hampir tak selalu seindah asas legal formal yang mengaturnya. Roda penyiaran dijalankan oleh industri yang tetap menjadikan bisnis dan kapital sebagai mesin penggerak yang utama. Tak ayal, industri penyiaran, khususnya industri televisi menginginkan liberalisasi melalui dergulasi Undang-undang Penyiaran. Intensi ini mulai terlihat setahun sejak UU Penyiaran disahkan, yaitu pada tahun 2003 ketika industri pertelevisian mengajukan uji materi kepada Mahkamah Konstitusi (Diani Citra, dalam Kompas, 17 Maret 2012).
Industri televisi menuntut agar stasiun penyiaran memiliki hak yang sama dengan warga negara, termasuk kebebasan menyatakan pikiran dan sikap sesuai hati nurani, mendapat dan menyampaikan informasi, serta memajukan diri. Persis seperti apa yang dilakukan Amerika Serikat pada tahun 1886 ketika Mahkamah Agung memutuskan bahwa perusahaan memiliki hak asasi seperti individu warga negara (Diani Citra, dalam Kompas, 17 Maret 2012).
Dalam artikel opini ini, penulis (Diani Citra) menggambarkan dengan baik apa yang terjadi dengan Amerika Serikat ketika industri televisi menjadi pedagang dan siaran menjadi komoditas. Televisi bertindak seperti indvidu yang memiliki kebebasan berekspresi dan kebebasan bersikap, tetapi melupakan hakikat bahwa penyiaran merupakan kegiatan pemenuhan kebutuhan publik. Dalam kaca mata industri televisi, warga negara tidak lagi dipandang sebagai publik, tetapi sebagai ‘pasar’ tempat mereka meraup keuntungan. Di Amerika Serikat, kepemilikan dan isi media televisi menjadi buktinya. Keberpihakan televisi pada kubu politik Demokrat atau Republik terlihat jelas,ditambah dengan konglomerasi kepemilikan media.
Untuk Indonesia, UU Penyiaran sebenarnya telah mengusung semangat demokratisasi penyiaran dengan berlandaskan asas plurality of content, diversity of ownership. UU Penyiaran Tahun 2002 ini dibuat dalam kerangka kepentingan publik. Akan tetapi, demokratisasi penyiaran tersebut berusaha dikikis oleh kapitalisasi indutri televisi. Intensi industri televisi ke arah liberalisasi tersebut sesungguhnya menunjukkan asumsi utama Teori Ekonomi-Politik Media bahwa media memliki ketergantungan ideologi terhadap kekuatan ekonomi dan politik yang berpengaruh dan sistem media didasarkan pada mekanisme ekonomi pasar bebas berdasarkan asas kapitalisme.
Secara normatif, media adalah barang publik yang berfungsi memenuhi kebutuhan masyarakat dan penunjang demokrasi. Akan tetapi, dalam struktur industri, media tidak lagi dinilai berdasarkan nilai gunanya, tetapi dititikberatkan pada nilai tukar dalam memperoleh keuntungan ekonomi (Mosco 1996, dalam Nasir, 2007). Hal ini pun dilakukan industri televisi di Indonesia yang selalu berorientasi pada pertimabangan untung-rugi secara sistematik untuk menguatkan kedudukan dalam pasar media. Tuntutan industri televisi agar perusahaan media memiliki hak asasi yang sama dengan individu sesungguhnya merupakan upaya sistemik untuk mengukuhkan kekuasaan ekonomi-politik.
Sesuai dengan argumen yang diajukan Diani Citra, perusaan media, khususnya televisi tak bisa disamakan dengan indvidu. Televisi punya kekuatan besar untuk mencapai jutaan orang dalam sekali waktu sehingga mampu membentuk persepsi dan mempengaruhi perilaku orang banyak. Apabila perusahaan media memiliki hak bebas berpendapat seperti individu, bisa dibayangkan televisi akan menjadi alat untuk melancarkan kepentingan bisnis dan politik pemiliknya. Tendensi politik dalam isi siaran ini bahkan telah ditunjukkan oleh TV One dan Metro TV yang masing-masing pemiliknya memiliki afiliasi politik dengan kelompok tertentu.
Sebagai landasan legal formal, hukum dan regulasi penyiaran sebenarnya dapat menjadi benteng agar televisi Indonesia tidak terjebak dalam industrialisasi yang berujung pada pengkhianatan terjadap kepentingan publik seperti yang terjadi di Amerika Serikat. Berkaca pada Amerika, hukum liberal-lah yang menjadi preseden legal bagi industri televisi di sana untuk menayangkan isi siaran sesuai dengan sikap dan kepentingan bisnis dan politik pemiliknya (karena disamakan dengan individu) karena televisi pun adalah perusahaan yang beroperasi dalam sistem pasar bebas (Diani Citra, dalam Kompas, 17 Maret 2012).
Oleh karena itu, berkaca pada Amerika pula, seharusnya UU Penyiaran di Indonesia tetap menjadi landasan yang menjamin kepentingan publik. Meskipun pada tahun 2003, uji materi UU Penyiaran yang diajukan oleh industri televisi ditolak oleh Mahkamah Konstitusi, wacana uji materi yang dilakukan pada Februari 2012 ini bisa menjadi jalan bagi industri untuk mencurangi kepentingan publik dan membuat kapitalisasi mematahkan semangat demokrasi yang diusung UU Penyiaran. Jika selama ini hampir seluruh aspek komunikasi massa belajar kepada ke Amerika, maka dalam UU Penyiaran ini pun kita harus belajar pula dari Amerika, tetapi menjadi lebih bijaksana, dengan belajar dari kesalahan mereka.
Sumber Referensi:
Citra, Diani. (2012, 17 Maret). “Kini Saatnya Berhenti Berkiblat pada AS”, dalam Kompas, Halaman 7.
Nasir, Zulhasril. (2007). Harta dan Kuasa Keluarga Cendana. Depok: FISIP UI Press
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H