Mohon tunggu...
Aulia Nastiti
Aulia Nastiti Mohon Tunggu... -

Lulusan Komunikasi Media, Universitas Indonesia. Saat ini bekerja di bidang riset media massa. Memiliki ketertarikan pada isu-isu humanisme, media, dan psikologi. Write some lines about life in: http://aulianastiti.posterous.com

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Pemikiran Erich Fromm dalam Teori Kritis

30 April 2012   06:09 Diperbarui: 4 April 2017   16:35 1791
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

“Humans' main task in life is to give birth to themselves, to become what they potentially are.

The most important product of their effort is their own personality”

---Erich Fromm

Itulah sepenggal kalimat dari Erich Fromm, seorang psikolog psikoanalis yang berasal dari Jerman. Dari petikan tersebut,tersirat bahwa Fromm adalah seorang filsuf yang menitikberatkan pada esensi manusia dalam kehidupan. Fromm memang seorang filsuf humanis yang banyak terpengaruh aliran filsafat eksistensialisme. Pemikirannya begitu dikenal setelah ia terasosiasi dengan Frankfurt School dan turut memberikan kontribusi bagi pengembangan Teori Kritis.

Kehidupan Personal

Erich Fromm dilahirkan di Frankfurt, Jerman pada tanggal 23 Maret 1900.Pemikirannya banyak didasarkan pada subjek psikologi dan sosiologi. Latar belakang akademiknya dimulai dari Universitas Frankfurt dengan major yurisprudensi. Hanya bertahan setahun di sana, Fromm memutuskan untuk belajar sosiologi di Universitas Heidelberg. Selama di Heidelberg, ia juga belajar psikoanalisis di bawah bimbingan Frieda Richmann. Di tahun 1930, ia bergabung dengan Frankfurt Institute for Social Research, sebuah institut yang melahirkan Mahzab Frankfurt. Saat itu, ia juga mengembangkan ilmunya dengan belajar psikoanalisis di Munich dan diInstitut Psikoanalisis Berlin. Di tahun 1934, ketika Nazi mengambil alih Jerman, ia pindah ke Amerika Serikat. Kehidupannya di Amerika diisi dengan di Institut Psikoanalisis Chicago dan melakukan praktik privat di New York City. Sebelum pensiun, ia membangun psikoanalisis di Meksiko dan menjadi profesor di sana. Terakhir, Fromm tinggal di Swiss dan meninggal di Muralto, Swiss pada tanggal 18 Maret 1980.

Pandangan Fromm tentang kehidupan banyak dipengaruhi oleh pengalaman masa mudanya.Salah satunya ialah ketika di umur 12 tahun ia menyaksikan seorang wanita cantik dan berbakat, sahabat keluarganya, bunuh diri. Fromm sangat terguncang karena kejadian itu karena tidak ada seorang pun memahami mengapa wanita tersebut memilih mati bunuh diri. Ia juga dilahirkan sebagai anak dari kedua orangtua yang neurotis. Ayahnya seringkali murung, cemas, dan muram. Ibunya mudah menderita depresi hebat. Hidup dalam satu rumah tangga yang penuh ketegangan, Fromm tidak dikelilingi pribadi-pribadi yang sehat. Selanjutnya, ketikaberumur 14 tahun, Fromm melihat irasionalitas melanda Jerman, tepatnya ketika pecah perang dunia pertama. Dia menyaksikan bahwa orang Jerman menjadi ultranasionalis, terperosok ke dalam suatu fanatisme sempit, histeris dan tergila-gila.Orang-orang dekatnya menjadi terpengaruh; saudaranya, teman-teman dan kenalannya, sampai seorang guru yang sangat ia kagumi. Akhirnya, banyak dari mereka meninggal di parit-parit perlindungan. Ia heran mengapa orang yang baik dan bijaksana tiba-tiba menjadi gila.

Karena berbagai peristiwa itulah, kehidupan muda Fromm merupakan laboratorium hidup bagi observasinya terhadap tingkah laku neurotis. Dari pengalaman-pengalaman yang membingungkan ini, Fromm mengembangkan keinginan untuk memahami kodrat manusia dan sumber tingkah laku irasional. Dia menduga hal itu adalah akibat kekuatan sosio-ekonomis, politis, dan historis yang secara masif mempengaruhi kodrat kepribadian manusia.

Karya Pemikiran Erich Fromm

Karya-karya Fromm dibentuk melalui wawasan yang luas yang luas tentang sejarah, sosiologi, kesusastraan, dan filsafat. Tema dasar dari dasar semua tulisan Fromm eksistensialisme manusia dalam kebebasan. Dalam pandangan Fromm, individu adalah entitas yang merasa terisolasi karena dipisahkan dari alam dan orang-orang lain. Hal ini terangkum dalam karyanya yang pertama, Escape from Freedom (1941). Di buku ini, Fromm mengajukan tesis bahwa manusia seiring perkembangan peradaban, menjadi semakin bebas. Di sisi lain,kebebasan manusia membuat mereka makin merasa kesepian (being lonely). Kebebasan menjadi keadaan yang negatif dari mana manusia melarikan diri. Manusia gamang dan takut dengan kebebasan yang sebenarnya tak memberi jaminan dan kepastian.

Jawaban dari ketakutan akan kebebasan tersebut terwujud dalam dua pilihan. Pertama, semangat cinta dan kerjasama yang menghasilkan manusia yang mengembangkan masyarakat yang lebih baik. Kedua, manusia merasa aman dengan tunduk pada penguasa yang kemudian dapat menyesuaikan diri dengan masyarakat. Totalitarianisme, kekejian, materialisme, dan berbagai manifestasi sifat vulgar manusia lainnya, menurut Fromm, tak lain merupakan bentuk pelarian seseorang dari kebebasan (Subono, 2010). Pandangan ini sebenarnya merupakan bekas jejak memori masa lalu Fromm yang membuatnya merasa prihatin terhadap rezim-rezim yang didirikan manusia (Rahmawati, 2011).

Dalam buku-buku Fromm berikutnya (1947, 1955, 1964), dikatakan bahwa dalam kehidupan manusia terdapat sebuah kontradiksi dasar. Kontradiksi di sini mengandung maksud bahwa manusia merupakan bagian tetapi sekaligus terpisah dari alam, merupakan binatang sekaligus manusia. Sebagai binatang, individu memiliki kebutuhan fisik tertentu yang harus dipuaskan. Sebagai manusia, individu memiliki kesadaran diri, pikiran, perasaan, dan khayalan. Pengalaman khas manusia meliputi perasaan lemah lembut, cinta, kasihan, perhatian, tanggung jawab, identitas, intergritas, bisa terluka, transendensi, dan kebebasan, nilai-nilai serta norma-norma. Oleh karena itu, setiap masyarakat yang diciptakan manusia, entah termanifestasikan dalam bentuk feodalisme, kapitalisme, fasisme, sosialisme, dan komunisme, semuanya menunjukkan usaha manusia untuk menciptakan jalan tengah atas kontradiksi tersebut.

Dalam To Have or To Be (1976), Fromm menyatakan bahwa ada dua modus eksistensi manusia dalam masyarakat kapitalis. Pertama adalah ‘memiliki’ (to have). Modus ini cenderung tidak sehat karena dalam modus ini, eksistensi ini manusia menjadi utuh dengan membeli, memiliki, dan terobsesi pada sesuatu. Kedua adalah ‘menjadi’ (to be). Kebalikan darito have,to be cenderung bersifat positif, sehat, dan mengaktualisasikan kesejatian manusia. Dalam modus ini, seseorang merasa utuh dengan bekerja, berproses, merealisasikan dirinya. Dengan kata lain sebuah proses ‘menjadi’ seseorang yang beridentitas. Isu yang ditelaah oleh Fromm ini sangat dekat dengan masyarakat modern di mana identitas dan eksistensi berbanding lurus dengan banyaknya barang bermerk mahal yang dimiliki, di mana kegemaran akan berbelanja lebih menuruti gengsi daripada kebutuhan.

Kodrat manusia bukanlah sekumpulan potensi tertentu yang hanya sekedar menerima apa yang didapat dari lingkungan budaya, tetapi ada faktor inner yang merupakan dorongan eksistensial manusia, yang terdiri atas dorongan yang produktif dan nonproduktif (Fromm, 1947). Dorongan produktif identik dengan sikap cinta akan kehidupan yang berakar, sedangkan dorongan non-produktif identik dengan sikap destruktif-nekrofilik yang dicerminkan oleh sikap reseptif, eksploitatif, menimbun serta karakter pasar. Dorongan eksistensial produktif dan nonproduktif ini berakar dalam orientasi hidup manusia.

Struktur sosial masyarakat modern saat ini menurut Fromm (1955, 1976) telah membentuk watak sosial yang pasif-non produktif yang berakarkan pada orientasi to have, sehingga perlu adanya kesadaran baru guna merombak orientasi ini. Kebudayaan modern seolah-olah telah memberikan pola-pola yang memungkinkan mereka hidup seutuhnya. Akan tetapi, dalam pandangan Fromm walaupun kebudayaan modern kurang memberi gerak bagi upaya menumbuhkan orientasi to be, orientasi ini akan selalu ada, karena merupakan orientasi dasar yang melekat dalam diri manusia. Dengan demikian, harapan untuk menumbuhsuburkan orientasi ini terbuka lebar. Ditandai dengan munculnya kesadaran bahwa atas dasar pertimbangan ekonomi dan profit semata-mata, seseorang tidak akan mencapai kebahagiaan. Tanda lain yang memberikan harapan adalah meningkatnya ketidakpuasan terhadap sistem sosial yang ada. Mereka tidak bahagia karena merasa terpencil dan karena ‘kebersamaan’ mereka terasa hampa. Mereka merasakan kemandulan dan tidak bermaknanya hidup yang mereka jalani.

Oleh karena itu, konsepsi masyarakat ideal yang harus diwujudkan adalah masyarakat yang berhubungan satu sama lain dengan penuh cinta, berakar pada ikatan persaudaraan dan solidaritas. Dalam pandangan Fromm, individu akan mencapai hakikat manusiawi seutuhnya di dalam lingkungan masyarakat yang memberi ruang bagi individu untuk mencapai pengertian tentang diri dengan mengalami dirinya sebagai subjek dari potensinya, bukan dengan bertindak sesuai konformitas. Fromm mengusulkan suatu nama untuk masyarakat yang sempurna tersebut, yaitu Sosialisme Komunitarian Humanistik (Subono, 2010).

Erich Fromm dan Teori Kritis

Pemikiran Fromm sangat dipengaruhi oleh tulisan Karl Marx, terutama oleh karya Marx yang pertama, The Economic and Philosophical Manuscripts. Namun, sebagai seorang psikoanalis yang berkiblat pada Freud, Fromm membandingkan ide-ide Freud dan Marx. Ia menyelidiki kontradiksi-kontradiksi keduanya dan melakukan percobaan yang sintesis. Pada tahun 1959, Fromm menulis analisis yang sangat kritis bahkan polemis tentang kepribadian Freud dan pengaruhnya, sebaliknya berbeda sekali dengan kata-kata pujian yang diberikan kepada Marx pada tahun 1961. Fromm berujung pada kesimpulan bahwa Marx merupakan pemikir yang lebih ulung daripada Freud. Meskipun Fromm dapat disebut sebagai seorang teoritikus kepribadian Marxis, ialebih memilih disebut filsuf humanis dialektik.

Di sisi lain, ia menemukan celah-celah dalam pemikiran Marx dan menggunakan psikoanalisis untuk mengisi celah tersebut. Oleh karena itulah, ketika bergabung dengan Sekolah Frankfurt yang meletakkan dasar ajarannya pada pemikiran Marx, Fromm melakukan kritik ideologi melalui ajaran Freud. Erich Fromm-lah yang memberikan kontribusi psikoanalisis Freud dalam tradisi kritis. Menurut Fromm, Teori Kritis membutuhkan psikoanalisis karena dapat mempertajam kritik ideologi Marx. Menurut Marx, ideologi adalah bentuk manifestasi kesadaran palsu. Ideologi tidak menggambarkan situasi nyata manusia secara apa adanya, tetapi merupakan legitimasi yang digunakan kelompok borjuis untuk menindas kelas pekerja. Oleh karena itu, psikoanalisis dapat menjelaskan mengapa kesadaran palsu itu dapat diciptakan.

Titik kulminasi karya filosofi sosial Fromm dapat dilihat di bukunya The Sane Society (1955).Dalam buku ini, Fromm menolak baik komunisme Soviet maupun kapitalisme barat karena keduanya dipandangnya sebagai dehumanisasi yang melahirkan fenomena alienasi modern yang terjadi secara universal. Dengan berpijak pada Marx, Fromm menekankan kembali konsepsi ideal kebebasan, yang telah banyak hilang dari Marxisme Soviet dan justru lebih banyak ditemukan pada tradisi sosialis libertarian. Ia merumuskan suatu sistem masyarakat ideal ialah yang berlandaskan humanisme dan sosialisme demokrat.

Dalam pandangan Fromm (1955), tatanan masyarakat ideal tersebut dapat terealisasikan apabila tercapai suatu kondisi di mana kontradiksi dan irasionalitas sosial manusia terhapus. Menurut Fromm kedua hal itulah yang telah menjebak seluruh sejarah umat manusia dalam ‘kesadaran palsu’ agar dengan hormat membenarkan dominasi dan ketundukan sehingga eksistensi tatanan sosial tidak berjalan seiring dengan kemampuan pemikiran kritis manusia. Untuk menghapuskan kontradiksi dan irasionalitas sosial, jalan yang harus dilakukan adalah melalui proses penyadaran sosial.

Fromm melihat bahwa hubungan antara struktur sosial dan karakter sosial serta individu tidak pernah statis, unsur tersebut memiliki hubungan sebagai proses yang tidak pernah berakhir. Perubahan pada salah satu faktor berarti perubahan pada keduanya. Struktur sosial masyarakat dapat mempengaruhi pembentukan karakakter sosial anggota-anggotanya, sehingga mereka ingin melakukan apa yang harus mereka lakukan. Pada saat yang bersamaan, karakter sosial mempengaruhi struktur sosial masyarakat dengan jalan berfungsi sebagai sumber perekat yang memperkukuh stabilitas struktur sosial, atau dapat pula sebagai perombak struktur sosial.

Transformasi dari masyarakat yang sakit kepada masyarakat yang sehat menurut Fromm tergantung dari penciptaan kembali kesempatan bagi anggota-anggota masyarakat untuk berjalan bersama, saling mengagumi, saling menyapa, untuk menciptakan orientasi baru dari kehidupan dan dalam budaya mereka. Prinsip perubahan ini menurut Fromm juga selaras dengan apa yang pernah diungkapkan Marx. Fromm menjelaskan bahwa Marx telah mencoba menghancurkan ilusi-ilusi yang cenderung menutupi kesadaran para pekerja mengenai kesengsaraan mereka.

Berangkat dari pikiran-pikiran Marx yang fundamental dan penerapan kebebasan pada manusia, Fromm membawa teori kritis pada pengertian baru tentang kebahagiaan manusia. Kebahagiaan yang ditawarkan oleh industri konsumsi adalah kebahagiaan semu, karena tidak membawa manusia pada pemilikan diri yang tenang, melainkan membuatnya tergantung dari semakin banyak benda; Padahal menurut Fromm (1987) seharusnya kebahagiaan seharusnya ketika manusia being more, bukan having more.

Penyakit peradaban tidak selalu ditentukan oleh kemiskinan material saja, tetapi juga oleh hilangnya semangat kebebasan dan keyakinan diri. Fromm (1955) mengingatkan bahwa gejolak-gejolak yang akan mengubah wajah dunia akan bersemi, tetapi tidak dikarenakan ‘revolusi’ atau ‘reformasi’, melainkan disebabkan kehendak untuk bebas. Individu-individu akan bertindak bersama-sama dengan kesadaran penuh akan ketergantungan mereka satu sama lain, tetapi mereka juga bertindak untuk diri mereka sendiri. Kebebasan mereka tidak diberi dari atas, tetapi mereka akan mengambil apa yang menjadi hak mereka.

Daftar Pustaka

Subono, Nur Iman. (2010). Erich Fromm: Psikologi Sosial Materialis yang Humanis. Jakarta: Kepik Ungu.

Rahmawati, Devie. Dalam Dilema Kebebasan. (2011, 21 April). Kompas, 11.

Habib, Zainal. (2001). Pancasila sebagai Pola Dasar Budaya indonesia dalam Analisis Erich Fromm. Yogyakarta : Program Pascasarjana Universitas Gajah Mada

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun