Mohon tunggu...
Auliana Raidah
Auliana Raidah Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Mahasiswa aktif semester 1 jurusan jurnalistik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Sosok

Kasus Gus Miftah: Candaan yang Khilaf Berujung Menjadi Kesalahan Fatal

11 Desember 2024   22:30 Diperbarui: 11 Desember 2024   22:28 14
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Instagram @pengajiangusmiftah

Pada November 2024, sebuah video viral menunjukkan Gus Miftah, seorang tokoh agama, melontarkan candaan yang dianggap tidak pantas kepada seorang penjual es teh saat pengajian di Magelang. Gus Miftah mengatakan, "Es tehmu sih akeh (masih banyak) enggak? Ya sana jual gob*ok. Jual dulu, nanti kalau belum laku ya udah, takdir." Candaan ini dianggap merendahkan dan menyinggung penjual, apalagi karena Gus Miftah merupakan pendakwah yang seharusnya memberikan teladan. Dalam video permohonan maafnya, Gus Miftah mengakui khilaf dan sering bercanda, namun tawa terbahak-bahak teman-temannya membuatnya semakin dianggap tidak pantas, karena terkesan menertawakan kesulitan orang lain. Pernyataan ini mendapat tanggapan negatif yang meluas, terutama karena dianggap tidak mencerminkan sosok seorang pendakwah.

Kejadian ini menjadi sorotan utama di media sosial dan memicu berbagai komentar mengenai batasan humor, etika, serta tanggung jawab seorang tokoh publik. Untuk memahami secara lebih mendalam, mari kita telaah kasus ini dari tiga sudut pandang:

  • Pandangan Digital Skill terhadap Kasus Gus Miftah

Dari sudut pandang digital skill, kasus ini menunjukkan pentingnya kemampuan untuk memahami konteks audiens dan platform tempat konten dibagikan. Gus Miftah sebagai tokoh publik seharusnya memiliki keterampilan untuk menilai dampak potensial dari candaan yang diunggah secara daring. Konten yang diunggah ke internet bersifat permanen dan dapat diakses oleh khalayak luas, termasuk mereka yang mungkin memiliki persepsi berbeda terhadap humor tersebut.

Selain itu, digital skill juga mencakup kemampuan memanfaatkan platform secara strategis. Dalam dunia digital, setiap tindakan dan pernyataan dapat dengan mudah diabadikan dan dibagikan, sehingga individu perlu memahami bagaimana mengelola citra mereka dan merespons kritik dengan cara yang baik dan benar. Gus Miftah perlu belajar dari pengalaman ini untuk meningkatkan keterampilan komunikasinya di masa depan, agar tidak terjebak dalam situasi serupa.

  • Pandangan Digital Etik terhadap Kasus Gus Miftah

Digital etik menekankan pentingnya perilaku etis di ruang digital, termasuk tanggung jawab terhadap dampak sosial dari konten yang dibuat. Kasus ini menunjukkan bahwa candaan yang mungkin terlihat ringan di mata pembuatnya dapat menjadi pelanggaran etika di mata masyarakat. Dalam konteks ini, Gus Miftah perlu mempertimbangkan dampak dari candaan yang dibuatnya dan bagaimana hal itu dapat mempengaruhi hubungan antar kelompok dalam masyarakat.

Etika digital juga mencakup pemahaman tentang batasan humor dan sensitivitas terhadap isu-isu yang dapat menyinggung kelompok tertentu. Candaan yang dianggap tidak senonoh dan menertawakan kesengsaraan orang lain menunjukkan kurangnya empati dan kesadaran sosial, yang seharusnya menjadi perhatian utama bagi seorang pendakwah. Hal ini menggarisbawahi pentingnya etika dalam setiap interaksi, baik di dunia nyata maupun di dunia maya.

  • Pandangan Digital Culture terhadap Kasus Gus Miftah

Kasus ini juga mencerminkan perubahan dalam budaya digital kita. Di era media sosial, humor seringkali menjadi alat untuk mendapatkan perhatian dan popularitas. Namun, tidak semua jenis humor dapat diterima oleh semua orang. Candaan yang dianggap lucu oleh sebagian orang mungkin dianggap menyinggung oleh orang lain. Di era digital saat ini, masyarakat memiliki sensitivitas tinggi terhadap isu-isu yang menyangkut nilai-nilai moral dan etika.

Gus Miftah perlu menyadari bahwa setiap tindakan dan pernyataan yang dibuatnya dapat dengan mudah diabadikan dan dibagikan, sehingga penting untuk menjaga citra dan reputasi di mata publik. Kasus ini mengingatkan kita untuk lebih kritis dalam mengonsumsi dan memproduksi konten humor di dunia digital. Kita perlu belajar untuk menghargai perbedaan pendapat, serta menghindari tindakan yang dapat menyakiti atau merendahkan orang lain.

Kasus Gus Miftah adalah contoh nyata bagaimana teknologi digital dapat memengaruhi kehidupan kita. Kemajuan teknologi telah memberikan kita banyak kemudahan, namun juga membawa tantangan baru. Untuk menghadapi tantangan ini, kita perlu mengembangkan digital skill, menjunjung tinggi digital etika, dan membangun budaya digital yang lebih positif.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosok Selengkapnya
Lihat Sosok Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun