Industri bidang energi di Indonesia memang hanya menjadi penyumbang terbesar kedua bagi pendapatan Negara setelah pajak, tetapi tak dapat dipungkiri bahwa industri ini lah yang membuat roda perekonomian negeri tetap bergerak. Semua kegiatan membutuhkan energi, maka dari itu isu ketahanan energi merupakan hal yang sensitif bagi setiap Negara. Menurut Intenational Energy Agency (IEA) Ketahanan energi sendiri dapat diartikan sebagai ketersediaan sumber energi yang berkesinambungan dengan harga yang terjangkau. Penjaminan ketersediaan sumber energi tersebut harus tetap memperhatikan dampak lingkungan yang disebabkannya. Asia Pasific Energy Research Centre (APERC) menguatkan pernyataan tersebut dengan mengeluarkan istilah 4A sebagai indikator ketahanan energi, yaitu Availability (ketersediaan energi), Accesibility (akses untuk memperoleh energi), Affordability (keekonomian energi yang tersedia), dan Acceptability (aspek sosial dan lingkungan).
Banyak yang tidak tahu jika kini Indonesia sedang di ambang krisis ketahanan energi. Mungkin karena kita selalu dikenalkan dengan sosok Negara yang kaya raya dengan sumber daya alam melimpah sejak kecil. Sehingga berapapun kebutuhan energinya dapat dipenuhi dengan mudah. Namun, realitanya sungguh berbeda. Konsumsi energi terus beranjak naik, sebaliknya produksi energi terus menurun. Dapat dilihat dari produksi minyak yang terus menurun dari 1.4 juta barrel perhari pada tahun 2000 menjadi sekitar 800 ribu barrel perhari pada tahun ini. Sedangkan konsumsinya terus meningkat tajam, dari 1.1 juta barrel perhari pada tahun 2000 menjadi 1.6 juta barrel perhari saat ini.. Ketika solusi yang diambil pemerintah untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri terus bergantung pada import minyak, Indonesia Petroleum Association (IPA), memprediksi Indonesia akan menjadi Importir minyak terbesar di Asia Pasifik pada tahun 2025. Ditambah lagi, cadangan strategis BBM Indonesia hanya 18 hari. Artinya tanpa produksi dan import, cadangan BBM yang ada hanya bisa menghidupi Indonesia selama 18 hari. Hal tersebut tentu membuat ketahanan energi Negara ini semakin rentan.
Pemerintah perlu gerak cepat untuk menyelamatkan Indonesia dari krisis energi. Salah satunya dengan mengurangi ketergantungan kita terhadap minyak bumi. Konsumsi BBM saat ini terkonsentrasi dalam pemenuhan energi transportasi dan pembangkit. Berdasarkan data dari Handbook of Energy and Economic Statistic of Indonesia 2012, kebutuhan BBM untuk sektor transportasi sebesar 45.9 juta KL dan pembangkit sebesar 11.5 juta KL. Subtitusi penggunaan BBM di sektor pembangkit relatif lebih mudah daripada sektor transportasi karena masyarakat tidak terlalu merasakan dampak subtitusi tersebut. Berdasarkan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PT PLN, komposisi penggunaan BBM di sektor pembangkit akan turun menjadi 2 persen pada tahun 2019 dari 36 persen pada tahun 2008 dengan mayoritas subtitusi oleh energi batubara dan panas bumi. Namun, subtitusi penggunaan BBM di sektor transportasi jauh lebih rumit. Setidaknya terdapat tiga alasan yang dapat mendukung pernyataan tersebut. Pertama, sumber energi yang dapat dimanfaatkan di sektor transportasi terbatas. Tidak mungkin masyarakat menggunakan energi panas bumi dan batubara sebagai bahan bakar kendaraanya. Kedua, sangat sulit menggeser eksistensi BBM di sektor ini. BBM memiliki mobilitas yang sangat tinggi bahkan masyarakat bisa dengan mudah membawanya dengan jirigen tanpa rasa takut. Terakhir, subtitusi BBM di sektor ini bersentuhan langsung dengan masyarakat. Contoh kecilnya, masyarakat perlu memodifikasi kendaraannya agar cocok dengan bahan bakar subtitusi.
[caption id="attachment_419569" align="aligncenter" width="300" caption="harianterbit.com"][/caption]
Pertanyaan selanjutnya didasari oleh alasan pertama diatas, energi apa yang bisa menggantikan energi minyak di sektor transportasi? Menurut saya, energi gas dapat dijadikan sebagai energi transisi yang cukup berkelanjutan. Sebenarnya rencana subtitusi energi minyak dengan energi gas di sektor transportasi bukanlah hal yang baru bagi Indonesia. Pada tahun 1986 dalam sebuah lokakarya nasional, World Energy Conference, Indonesia telah merencanakan konversi BBM ke BBG. Hal tersebut sedikit banyak menandakan bahwa sejak 30 tahun yang lalu pemerintah sudah memperkirakan bahwa akan tiba saatnya gas menggantikan minyak bumi sebagai sumber energi utama. Namun hal tersebut tergerus oleh melimpahnya produksi minyak bumi dan subsidi BBM yang diberikan saat itu. Kedepannya, proses konversi BBM ke BBG diharapkan dapat berlangsung dengan cepat dengan pengalaman yang telah kita dapat selama ini. Cadangan terbukti gas bumi Indonesia berada di peringkat 14 dunia dengan 100.26 (TSCF). Dengan jumlah cadangan tersebut sumber energi ini dapat bertahan selama lebih dari 50 tahun. Belum lagi tambahan potensi cadangan gas non-konvensional sebesar 574 TSCF dari shale gas dan 453.3 TSCF dari Coal Bed Methane (CBM). Dengan begitu total potensi tambahan cadangan gas Indonesia dari gas non-konvensional sekitar 1000 TSCF. Jika diasumsikan setengahnya dapat diambil, maka kita akan mendapatkan tambahan cadangan gas setara 89 milliar barrel minyak yang dapat memenuhi kebutuhan lebih dari 200 tahun. Gas memang bukan energi baru terbarukan, tetapi berdasarkan ketersediannya energi gas tentu memberikan ketahanan energi yang jauh lebih baik.
[caption id="attachment_419567" align="aligncenter" width="300" caption="esdm.go.id"]
[caption id="attachment_419571" align="aligncenter" width="300" caption="Kementrian ESDM"]
Saat ini pemanfaatan gas di Indonesia menunjukan perubahan yang baik, tetapi belum ada perubahan yang signifikan dalam pemanfaatan di sektor transportasi. Untuk penggunaan gas secara optimal khususnya di sektor transportasi pemerintah harus membenahi industri ini dari hulu hingga ke hilir. Di bagian hulu pemerintah perlu melanjutkan kegiatan eksplorasi yang telah stagnan belakangan ini. Kegiatan eksplorasi dapat diperluas pada eksplorasi gas non konvensional yang hampir belum tersentuh. Kedua, pengembangan teknologi secara massif merupakan hal yang fundamental untuk dilakukan. Belakangan ini teknologi menjadi faktor kunci pemanfaatan energi gas. Contohnya pemanfaatan shale gas di Amerika dan Kanada yang dapat terealisasi melalui hadirnya teknologi hydraulic fracturing. Pembenahan bagian hulu melalui dua poin diatas dapat meningkatkan produksi gas untuk memberikan jaminan pasokan gas jangka panjang yang lebih baik. Kedua hal tersebut harus didukung dengan diprioritaskannya alokasi gas untuk kebutuhan domestik. Setelah kontrak import jangka panjang selesai, produsen gas harus mempunyai komitmen untuk mengutamakan alokasi gas nya bagi kebutuhan domestik.
Namun, produksi gas yang tinggi belum menjamin terealisasinya program koversi BBM ke BBG. Pembenahan di sektor hilir sangatlah penting dalam keberlangsungan program konversi yang telah berjalan ditempat selama hampir 30 tahun ini. Dalam prosesnya implementasinya Indonesia dapat belajar dari Negara yang telah sukses melakukan konversi BBM ke BBG, yaitu Iran. Melalui program Ahmadinejad’s Gas Revolutionnya Iran berhasil melakukan konversi BBM ke BBG untuk mengurangi ketergantungannya terhadap minyak bumi. Untuk itu, terdapat lima poin penting yang bisa dilakukan untuk menjamin berjalannya program konversi ini guna mendapatkan hal yang sama. Pertama, pembangunan infrastruktur perpipaan dan SPBG. Pada tahun 2014 jumlah SPBG di Indonesia hanya 32 unit ditambah dengan enam buah Mobile Refueling Unit (MRU). Jumlah ini sangat minim jika dibandingkan dengan Iran yang memiliki 1176 unit SPBG dan Thailand lebih dari 500 SPBG. Dengan wilayah sebesar Indonesia, tentu kita tak bisa berharap banyak akan keberlangsungan program konversi ini dengan jumlah SPBG seperti itu. Bahkan jumlah SPBG di seluruh Indonesia lebih sedikit dari jumlah SPBU di kota Bandung. Maka dari itu, pemerintah harus menggenjot pembangunan SPBG serta sistem perpipaan yang efisien apabila tidak ingin melakukan kesalahan masa lalu yang menyebabkan gagalnya program konversi ini. Kedua, pemerintah perlu terjun langsung dalam penyediaan konverter kit. Mantan menteri ESDM, Jero Wacik, pernah mengatakan penyediaan konverter kit dapat dilakukan sebanyak 250.000 dalam jangka waktu dua tahun. Namun, Kementrian Perindustrian hanya mampu menyediakan 2500 buah konverter kit setiap bulannya yang berasal dari produksi dalam negeri dan import. Dengan begitu, pemerintah harus turun langsung membantu industri untuk menyediakan konverter kit. Nantinya, pemerintah dapat membagikan konverter kit secara gratis ataupun pemberian subsidi terhadap konverter kit. Contohnya Iran yang memberikan subsidi sebesar 85 persen dalam setiap konverter kit yang dijual.
Ketiga, Pemerintah harus bisa menjaga harga jual BBG agar menarik pengguna BBM untuk beralih ke BBG. Dengan harga Compressed Natural Gas (CNG) sekitar 4000 rupiah dan Liquifed Gas for Vehicle (LGV) sekitar 5000 rupiah di pasaran sudah cukup membuat masyarakat beralih menggunakan BBG. Keempat, masyarakat perlu diberi pencerdasan lebih lanjut mengenai energi ini. Dengan dampak lingkungan yang lebih ringan, kualitas oktan yang lebih tinggi, dan harga yang lebih murah seharusnya BBG dapat diterima oleh masyarakat. Pemerintah diharapkan bisa menjamin keamanan dalam pemanfaatan energi ini untuk meyakinkan masyarakat. Tak dapat dipungkiri, masyarakat pernah mengalami trauma dari banyaknya kasus yang terjadi pada saat proses konversi minyak tanah ke gas LPG. Terakhir dan yang terpenting, penjaminan keberlangsungan program konversi dari pemerintah. Dengan hadirnya jaminan keberlangsungan konversi BBM ke BBG, maka investasi akan mengalir untuk ikut mendukung program ini. Sebagai contoh akan banyak pengusaha yang membuka bengkel kendaraan berbahan bakar gas dan penjualan suku cadang. Hal tersebut tentu sangat penting untuk keberlangsungan program konversi ini.
Pada akhirnya pembenahan secara terintegrasi dari hulu hingga hilir akan meningkatkan accessibility, affordability, dan acceptability energi gas untuk mendukung ketersediaan (availability) yang ada. Berhasilnya program konversi BBM ke BBG di sektor transportasi berarti berkurangnya ketergantungan negeri ini pada sumber energi minyak bumi secara signifikan. Hal tersebut sangat berarti besar terhadap ketahanan energi nasional.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H