Indonesia memiliki potensi luar biasa dalam mengatasi krisis pangan dan memperkuat ketahanan pangan di masa depan. Sebagai salah satu negara dengan kekayaan sumber daya alam yang melimpah, menjadi peluang besar bangsa ini untuk memenuhi kebutuhannya secara mandiri, terutama masalah pangan. Â
Keanekaragaman hayati dan tanaman pangan lokal, baik yang liar maupun yang dibudidayakan, telah menjadi sumber pangan masyarakat indonesia selama berabad-abad. Sejak jaman nenek moyang, masyarakat adat menjadikan hutan sebagai "swalayan" alami untuk memenuhi kebutuhan pangan mereka.Â
Selain keberagaman pangannya, Indonesia juga dikenal dengan berbagai suku dan budaya yang tersebar dari sabang sampai merauke. Setiap budaya memiliki tradisi kuliner yang khas, metode pertanian, hingga cara pengolahan pangan yang beragam, turut menambah kekayaan pangan lokal Indonesia.Â
Total lebih dari 5.500 jenis pangan yang mencakup berbagai jenis sumber karbohidrat, kacang-kacangan, dan varietas buah. Dengan memanfaatkan keberagaman komoditas pangan lokal setempat seperti singkong, sagu, kentang, dan jagung sebagai konsumsi kebutuhan pokok untuk menjaga kelangsungan hidup bangsa Indonesia dari generasi ke generasi.Â
Namun, meskipun keanekaragaman pangan Indonesia sangat kaya, pola konsumsi masyarakat justru mengalami perubahan signifikan. Data menunjukkan bahwa pada tahun 1954, konsumsi makanan pokok beras sebesar 53,5%, singkong 22,26%, jagung 18,9%, dan umbi-umbian 4,99%. Hingga pada tahun 1980-an sampai tahun 2022, terjadi perubahan pola konsumsi makanan pokok masyarakat Indonesia dari beragam menjadi seragam. Konsumsi beras mengalami peningkatan sebesar 74,6 % dan gandum sebesar 25,4%. Hingga tahun 2024 kebutuhan beras Indonesia mencapai 31,2 juta ton.
Perubahan pola konsumsi ini tak hanya berdampak pada aspek ekonomi (kemunduran sistem pangan lokal, penguasaan korporasi pangan, pelemahan ekonomi petani), tetapi juga mempengaruhi berbagai aspek lainnya. Termasuk aspek sosial (kerawanan pangan dan keadilan sosial), lingkungan (emisi gas rumah kaca, perubahan land-use, degradasi genetik), hingga kesehatan (penyakit terkait gaya hidup dan masalah sistem pencernaan).
Tantangan ini menjadi semakin kompleks dengan adanya isu-isu global seperti perubahan iklim, peningkatan emisi gas rumah kaca, dan menurunnya kualitas lahan pertanian. Praktik pembukaan lahan baru untuk meningkatkan produksi pangan turut berperan dalam memperburuk krisis iklim. Berdasarkan survei BPS tahun 2021, sekitar 89,54% lahan pertanian di Indonesia berada dalam status tidak berkelanjutan, yang menyebabkan rendahnya produktivitas lahan.Â
Selain itu, masalah kesejahteraan petani di Indonesia menjadi perhatian tersendiri. Banyak petani padi di Indonesia yang hidup dalam kesulitan, meskipun peran mereka sangat penting dalam menjaga pasokan pangan nasional.Â
"Laju pertumbuhan petani padi itu makin turun, petani padi makin miskin. Itu sebuah kejahatan karena beban besar bagi petani dan kita juga tidak aware ke mereka" ujar Said Abdullah selaku koordinator dewan pakar koalisi rakyat untuk kedaulatan pangan, dalam Forum Bumi yang membahas tentang masa depan ketahanan pangan Indonesia.
Pada tahun 2024, Badan Pangan Nasional menyatakan bahwa terdapat 68 kabupaten/ kota yang teridentifikasi sebagai daerah yang rentan terhadap kerawanan pangan karena rendahnya ketersediaan, keterjangkauan, dan pemanfaatan terhadap pangan, terutama di daerah timur Indonesia, serta daerah-daerah lain yang berada di pedalaman. Data dari Badan Pusat Statistik pada 2021 menunjukkan bahwa 8,49% penduduk Indonesia mengalami kekurangan pangan, jumlah ini meningkat  0,15% dari tahun sebelumnya sebesar 8,34%.
Di sisi lain, jumlah sampah makanan yang dihasilkan di Indonesia juga mencapai angka signifikan. Menurut studi dari Economist Intelligence Unit, Indonesia menghasilkan sampah makanan sebesar hampir 300 kg sampah makanan per orang setiap tahunnya. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) juga menyebutkan bahwa di tahun 2023, sebesar 41,05% timbunan sampah Indonesia merupakan sampah makanan.Â