Mohon tunggu...
Aulia Mumtaza
Aulia Mumtaza Mohon Tunggu... Freelancer - Spreading Crazy Idea

Full time activist-part time employee,Writer,truly adventurer,social enterprise, suka ngetweet #Nusantara

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Refleksi Syawal 1435 H: Hidup Harus Terus Berlanjut!

12 Agustus 2014   00:30 Diperbarui: 18 Juni 2015   03:47 50
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Terlalu lama kita hidup dalam topeng dan kepalsuan, itulah yang kemudian aku sadari akan peristiwa yang aku alami selama satu tahun terakhir ini. Pada akhirnya aku mengerti, menjadi jujur pada diri sendiri adalah hal yang mutlak, sudahi saja sikap membohongi diri, lari dari kenyataan atau serangkaian konsepsi lain yang bernuansa penolakan atas kondisi yang terjadi pada diri ini tak akan ada artinya, hanya menyiksa diri.

Hidup ini terlalu mubazir, jika harus dipoles dengan ketidakjujuran, nggak akan ada barokah yang kita peroleh, yang ada hanyalah perasaan frustasi dan insecure, maka pada sebuah titik aku memutuskan untuk mengambil sikap dan keputusan atas berbagai pertanyaan-pertanyaan besar yang menggelayuti pikiran selama kurang lebih 12 tahun perjalanan ini. Yah..! 12 tahun perjalanan itu ternyata waktu yang lama, setidaknya hari ini adalah waktu yang tepat untuk merenungi esensi perjalanan hidupku selama 12 tahun ini, dari sebuah pertanyaan yang muncul 12 tahun yang lalu, siapa diriku? Dan untuk apa aku hidup?

Pertanyaan yang boleh dibilang gokil untuk ukuran 12 tahun lalu, antimainstream bahkan, namun itulah yang terjadi, aku menggambarkan hidup ini sebagai perjalanan, dan dalam tulisan ini aku ingin menuliskan hikmah perjalanan itu, sebuah perjalanan anak manusia.

Perjalanan dari Hati ke Hati

Bagaimana anda memandang sebuah perjalanan? Hanya sebuah perjalanan biasa ataukah memang sebuah proses pembelajaran. Kita memang pembelajar, namun apakah kita seorang yang senang mengambil pelajaran dari sebuah perjalanan? Belum Tentu.

Hati manusia mungkin rindu akan sebuah rihlah ruhani, sebuah terapi akan kegundahan jiwa? Tapi dimanakah tempat itu? dimasjid, majelis ilmu atau kah ditingginya gunung, atau malah di tepian pantai? Setiap orang punya pilihan masing-masing untuk itu, tidak bisa digeneralisir dan tidak bisa diambil putusan dari satu sudut pandang saja.

Inilah hakekat perjalanan hati, ada banyak tempat yang dikunjungi namun belum tentu semuanya mendatangkan hikmah, kedamaian, bahkan kepuasan. Karena perjalanan hati itu penuh misteri kita tak akan pernah tahu apa ujungnya, kita hanya menjalani apa yang digariskan Allah atas takdir hidup kita, yang paling penting dariperjalanan itu bukan pada bagian bumi mana yang kita pijak, sejauh apa kita telah melangkah, tapi arti kehadiran kita pada orang-orang disekitar kita, sejauh mana kita memberi kebermanfaatan atas kehadiran kita? Disitulah kita akan menemukan hikmah, sebuah substansi akan keberadaan diri kita.

Dimanakah cinta? Dimanakah harapan? Apakah ia bersemayam dalam setiap hati manusia? Perjalanan dari hati ke hati ini tak lain adalah sebuah realitas, realitas yang harus dijalani untuk menemukan jawaban itu, berpindah dari satu hati ke hati yang lain, untuk menemukan jawaban itu memang tak mudah. Keikhlasan niat, ketulusan amal dan kepercayaan antar sesama menjadi kunci apakah kita akan menemukan sebuah jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tadi, jika tidak maka bisa timbul ruang-ruang kekecewaan, ruang kekecewaan yang akan menggerus ruang keikhlasan amal, lantas akan muncul pertanyaan untuk apa kita melakukan semua amal tadi?

Hal itu cukup mengerikan jika terjadi pada seseorang yang sekian lama terlibat dalam aktivitas dakwah, karena sejatinya kekecewaan yang tidak tertangani dengan baik akan merambat pada relung aktivitas kehidupan yang lain. Bahkan tak jarang menggugat dan mempertanyakan kuasa Allah atas dirinya. Hal ini ironis mengingat sebagai orang beriman maka percaya bahwa Allah mengetahui yang terbaik untuk kita adalah keharusan, dibalik kekecewaan yang dirasakan manusia pasti Allah menyiapkan rahasia terbaik, sebuah hikmah tanpa batas, hikmah yang akan dipahami oleh ahlul ilmy, dengan segala sikap tawadhu’ miliknya. Jika kita menghadapi sebuah kesulitan maka yakinilah Allah akan memberikan lebih banyak kebaikan dan kemudahan dibelakangnya, inilah konsepsi yang harus diyakini oleh setiap orang yang beriman. Kembali pada persoalan perjalanan hati tadi, pijakan awal dari konsep ini adalah menemukan hikmah dibalik setiap peristiwa. Baik peristiwa itu disukai atau tidak disukai maka akan ada hikmah dibaliknya. Kedewasaan, kebijakan, kearifan seseorang akan teruji dan terasah disini. Manakah yang termasuk orang yang tergesa-gesa (isti’jal) dan manakah yang termasuk orang yang sabar. Mengeluh itu wajar, tapi dalam batasan normal, terlalu sering mengeluh juga bukan hal yang positif. Melakukan terapi atasdiri sendiri, self healing, adalah sarana menerapkan kesabaran pada diri kita. Karena hikmah itu hanya akan diperoleh oleh orang-orang yang sabar.

Sekali lagi perjalanan hati ini adalah sekolah kehidupan, mungkin kadang akan terasa lelah, kadang semangat begitu tinggi, dua hal ini saling bergantian mewarnai hidup, maka dalam hidup ini kita butuh waktu untuk berhenti sejenak, melakukan muhasabah atas perjalanan hidup, melakukan refleksi dan melakukan perencanaan langkah kedepan, kapan waktu utk berhenti sejenak itu? Tak bisa dipastikan, setiap orang bisa beda-beda, tapi yang pasti ada satu waktu yang disukai hampir banyak orang, yaitu sepertiga malam terakhir. Saat paling khusyu’ untuk bermunajat. Atau bisa juga bulan Ramadhan digunakan sebagai momen untuk berhenti sejenak itu. Apapun itu momen yang dipilih, pastikan bahwa kita masih memiliki bekal untuk melanjutkan perjalanan selanjutnya, bekal itu adalah kepercayaan, ya.. kepercayaan, percaya diri, percaya pada sahabat, percaya pada guru-guru kita, kita harus tetap saling percaya, sebab jika tak bisa saling percaya, maka selesailah sudah..!!!

Ketidakpastian dalam Ukhuwah

Bagaimana perasaan kita, jika dikecewakan oleh orang-orang terdekat disekitar kita, orang-orang yang selama ini kita berikan kepercayaan, justru menjadi sumber kekecewaan? Inilah hidup, tak semua berjalan indah sebagaimana yang kita bayangkan. Tak semua hitam dan putih dengan jelas, kadang ada ruang abu-abu yang perlu kita yakini juga. Akhirnya aku menyadari, idealisme itu tak selamanya menjadi peneguh kekuatan jiwa, adakalanya idealisme itu menjadi titik paling runyam dalam menjalani hidup. Pegang teguh idealisme atau lepaskan saja idealisme itu, atau bergantung pada situasi dan kondisi, kalau menguntungkan buat kita maka pegang idealisme itu, kalau merugikan lepaskan saja idealisme itu? Ah.. begitu pragmatis dan oportunis kalau melihat hidup dengan sudut pandang semacam ini.

Bagian ini aku ingin bercerita tentang Idealisme dalam membina ukhuwah. Dahulu aku diajari tentang ukhuwah itu adalah keindahan, saling membantu, saling tolong menolong, saling menjamin antar saudara seiman dan masih banyak lagi kebaikan-kebaikan lainnya. Namun seiring berjalannya waktu,aku pun paham ukhuwah itu juga memiliki potensi untuk “menyakiti”, ada begitu banyak pembenaran atas nama ukhuwah yang aku temukan. Ini aneh..! pada awalnya aku berfikir semacam itu, namun akhirnya aku mengerti sebagai manusia, salah dan lupa adalah wajar, maka hal itu juga akan wajar jika kita temukan dalam kumpulan manusia. Idealisme yang dulu kuyakini dalam ukhuwah bahwa akan selalu ada banyak kebaikan jika kita berukhuwah rupanya salah. Bukan salah semua sih.. tapi kurang tepat, ada begitu banyak ketidakpastian dalam berukhuwah, tak melulu bicara soal kebaikan. Husnudzon yang biasanya kita kedepankan, justru disalah artikan, disalah gunakan, maka jadilah kekagetan-kekagetan yang tak beralasan, “lha dia kan ngaji bertahun-tahun, kok bisa…”, “Ah masak sih.. jangan suka tebar fitnah ah..”, “kok jadi gini sih,..” ungkapan seperti ini akhirnya menjadi sering kudengar belakangan ini, bahkan aku sendiri pun kadang mengucapkannya. Fenomena saling menyelisihi antar saudara, bahkan berpotensi menimbulkan kekecewaan, menjadi hal lumrah yang harus kita terima, inilah hidup, jika memang ada kesalahan maka ingatkan, sampaikan saja semua keberatan di hati, memelihara kekecewaan dalam berukhuwah sama saja memelihara bom waktu yang bisa meledak kapan saja, pemicunya bisa menjadi bermacam-macam hal. Kedewasaan dalam berukhuwah sekali lagi merupakan hal yang mesti ditumbuhkan, bahwa kita ini hanya manusia biasa, bukan malaikat.

Lu penyakit ribetnya kambuh ya? Ngomongin apa sih, kagak usah muter muter.. to the point aja, batinku protes. Oke..oke.. hanya ingin menyampaikan bersikap biasalah dalam hubungan ukhuwah antar manusia, semuanya sama saja, mau orang liberal, anak masjid, birokrat, eksekutif muda, semua punya potensi kebaikan dan potensi keburukan, tinggal bagaimana kita dalam bersikap, mau mengisolir diri atau bersikap terbuka? Bergaul dengan setiap golongan atau menjaga eksklusifitas diri, semua kembali pada diri kita masing-masing. Inilah muamalah, semua bisa saja terjadi dalam hubungan interaksi antar manusia, yang terpenting milikilah prinsip, disini peran penting idealisme, akan menjadi apa dan bagaimana konsepsi hubungan antara sesama manusia. Jika memang berujung pada hal-hal positif dan produktif, maka teruskanlah, namun jika ternyata kontraproduktif, maka menjaga jarak itu lebih baik, ciptakan iklim yang kondusif dalam hubungan muamalah, jangan saling menyakiti atau mengkhianati.

Berasa orang bener aja komentar seperti diatas,ngaca lu.. ngaca.., batinku protes lagi, aku hanya bisa menghela nafas, benar juga siapalah diri ini, seorang manusia yang masih digelayuti dosa dan maksiat sedemikian rupa, kualitas amal yang mungkin masih acakadul.. nggak karuan, sok-sokan bicara tentang ukhuwah dan muamalah yang sangat serius dan merupakan jantung kehidupan umat. Apapun itu aku Cuma mau bilang, hanya pengecut dan pecundang yang tak mau mengoreksi diri, dan merasa bersikap paling benar. Saat kita menyadari bahwa ada ruang pemakluman diluar sana, yang itu diluar jangkauan dan kebiasaan kita, maka kita akan mengerti bahwa kita tak Cuma menikmati kehidupan yang semu, tapi riil ini adalah tantangan kehidupan yang harus kita hadapi, artinya mengaku salah itu adalah sebuah kemuliaan, tak berkurang kehormatan diri atas sikap mengakui kesalahan yang kita buat, justru itu adalah sikap ksatria. Maka untuk apa kita masih suka ngeles, menghindar atas kesalahan yang kita lakukan? Bersikaplah bijaksana, jadilah pembelajar sejati, belajar dari kesalahan. Dan jangan sekali kali sakiti saudaramu..!

Tarbiyah adalah Kita

Bergabunglah bersama orang baik, beraktivitaslah dalam aktivitas kebaikan serta tumbuh kembangkan potensi diri dengan penuh keberkahan, kurang lebih begitulah nasehat yang kudapatkanbeberapa tahun yang lalu. Memang tidak mudah memahami dan menerapkan nasehat mulia diatas, ada selaksa tantangan yang siap menggoda, mengganggu dan menyurutkan semangat dalam berproses menjadi orang baik. Sekian tahun ini belajar, berproses dan beraktivitas dalam kegiatan dakwah, yang aku yakini sebagai aktivitas kebaikan dan keberkahan, menjadikanku tumbuh dewasa, nalar yang terlatih dengan baik, serta berpikiran terbuka, bagian ini adalah klimaks dari tulisan ini, betapa aku ingin berbagi semua hikmah yang aku dapatkan. Ada kebahagiaan di jalan ini, ada duka di jalan ini, ada kecewa di jalan ini, ada air mata, ada kebersamaan, ada Cita-cita dan pastinya ada Cinta di Jalan ini, semuanya ada deh..

Jalan ini bukan jalan biasa, tapi menurutku juga tak begitu luar biasa, hanya saja kutemukan keikhlasan, ketulusan, semangat, dan husnudzon yang begitu tinggi antar orang didalamnya. Aku pernah mencoba menepi dari jalan ini, namun ternyata aku merasa ada yang hilang dalam hidupku, entah apa itu..? yang jelas semua menjadi indah ketika menyibukkan diri dalam aktivitas di jalan ini, melewatkan waktu dalam kebersamaan aktivitas dakwah, Ah… aku tak pernah bisa menggambarkan kedamaian dan kebahagiaan macam apa yang kudapatkan di jalan ini. Apakah pernah kecewa..? Seriingggg… tapi aku sadar kami ini hanya kumpulan manusia, justru disini aku belajar manajemen kecewa dan sakit hati, bahwa sikap merasa paling benar sendiri justru menjadi tabu, saling mengoreksi bila ada khilaf, saling menguatkan bila ada yang goyah, inilah epik sebuah perjuangan, tak ada yang sempurna namun saling melengkapi.

Di sebuah sore aku kembali diingatkan oleh sebuah nasehat tentang keutamaan berada di jalan dakwah ini. “Hidup di jalan Allah lebih berat daripada mati di jalan Allah” begitu Umar bin Abdul Aziz mengatakan, seorang khalifah bersahaja, dimana dimasa dua tahun pemerintahannya, domba dapat hidup berdampingan dengan serigala, sebuah gambaran rahmat dari peimpin yang sholeh. “Sebab memang jalan Allah,jalan islam adalah jalan yang terhormat dan penuh pengendalian diri, ia adalah kebenaran dan kekuatan, keberkahan dan titian lurus, ketegaran dan keutamaan………..

…………………………….

Aku tertegun, betapa banyak kemuliaan di jalan ini, sangat banyak peluang kebaikan, amal, wasilah keberkahan dan masih banyak hal lain. Akupun paham ini hanya salah satu jalan saja, bagian dari jalan besar untuk mencapai dan mewujudkan kemuliaan Islam dimuka bumi ini. Kini persoalanmenjadi sangat serius, ketika kita tak melakukan sesuatu di jalan kebaikan ini, maka akan menjadi sia-sia hidup kita di dunia ini, itu yang aku yakini.

12 tahun episode perjalanan ini meneguhkanku akan satu hal, bahwa jalan dakwah ini memang panjang dan melelahkan, sukar dan penuh ujian, karena sejatinya memang demikianlah jalan para Nabi dan Rasul, maka istiqamahlah, yakini bahwa akan banyak sekali keberkahan yang akan kita temukan didalamnya. Satu hal yang perlu dipahami juga, bahwa keberadaan dalam jalan dakwah ini, bukanlah untuk menumbuhkan ashabiyah atau sikap primordial yang lain, karena sesungguhnya membangun silaturahim dan berdakwah antar sesama muslim itu tak mengenal batas golongan, perbedaan pandangan dalam soal fiqih dan mahdzab hendaklah dipahami dengan bijak, bukan untuk menjatuhkan satu sama lain. Karena sejatinya aktivitas dakwah dan tarbiyah adalah milik semua.. Tarbiyah adalah Kita..

Ketika Kuncup Mawar tak diizinkan tak diizinkan mekar, sebuah epilog

Hidup harus terus berlanjut, ya.. inilah yang aku katakan pada diri sendiri ketika menemui peristiwa pahit dalam hidup. Kenyataan kadang tak sama dengan harapan yang kita impikan, maka jika terjadi hal demikian tak ada yang bisa kita lakukan selain percaya bahwa Allah punya rahasia di balik itu. Sedih wajar, kecewa pasti, tapi untuk apa berlama-lama? Masih banyak episode kehidupan yang bisa tempuh. Cukuplah hanya dengan sebuah firman Allah dalam surat Ar Rahman, “Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kau dustai” hendalah ini menjadi pengingat untuk kita semua. Begitu banyak nikmat-Nya, tak sanggup kita menghitung,kenapa mesti larut dalam kesedihhan? Jatuh bangun dalam hidup itu adalah fenomena yang wajar dalam hidup. Bukan seberapa banyak kita jatuh yang penting, tapi seberapa banyak kita mampu bangkit ketika jatuh.

Aku ingin menuliskan kembali sebuah puisi yang kutulis saat Ramadhan setahun yang lalu,

Pelukis Pelangi

Para pelukis pelangi itu,
selalu mengerti arti berharap dan menanti
Di saat orang-orang mengutuki hujan
Dia selalu menantikan keindahan diantara awan hitam

Para pelukis pelangi itu,
Selalu mengerti arti berbagi dan peduli
Dia gambarkan keindahan yang dilihatnya pada semua orang
Dengan penuh harapan, agar orang-orang pun merasakan kedamaian serupa

Para pelukis pelangi itu,
Selalu mengerti arti keharmonisan
Menyusun warna merangkai makna
Dalam kanvas kasih sayang tanpa kebencian


Dan Para pelukis pelangi itu juga paling mengerti
Bahwa mereka hanya bisa menikmati keindahan itu, namun takkan bisa memiliki

Begitu indahnya hidup ini jika kita mampu hidup dalam keharmonisan tanpa kebencian, saling mengasihi dan menyayangi satu sama lain, dunia yang damai tanpa perang dan pembunuhan, sayang semua itu hanya utopia.

biarlah kuncupnya mekar menjadi bunga,

begitulah adanya makna sebuah cerita yang mengalun antara harapan dan realita

hanya inginkan keabadaian dari sebuah hakekat cinta yang dinamakan buah perjuangan

yang dinisbatkan kepada Sang pencipta,

ini tidak akan dimengerti oleh mereka yang buta hatinya, sebab ini adalah pembuktian kepada Sang Penggengam Jiwa

7 Syawal 1409 H - 7 Syawal 1435 H

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun