Mohon tunggu...
Aulia Meynisa Wirshananda
Aulia Meynisa Wirshananda Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya Jurusan Ilmu Sejarah Universitas Airlangga

Mahasiswi Ilmu Sejarah yang juga suka dan tartarik di bidang kesenian

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Batavia sebagai "Melting Pot" Berbagai Etnis di Era Kolonial

25 Mei 2021   10:41 Diperbarui: 25 Mei 2021   11:37 1015
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Kota adalah sebuah wilayah yang sangat dinamis, bergerak secara luas dan bebas. Berbagai kegiatan dilaksanakan di kota, utamanya adalah kegiatan perekonomian. Selain itu, perkembangan lainnya juga terjadi sangat cepat, seperti kebudayaan, ilmu pengetahuan, teknologi, dan lainnya. Menurut Prof. Dr. Ir. Zoe'eraini Djamal Irwan, M. Si., kota didefinisikan sebagai suatu area yang terdapat dan menjadi pemusatan penduduk dengan kegiatannya, serta tempat konsentrasi penduduk juga pusat aktivitas perekonomian. J. H. De Goode menjabarkan beberapa ciri kota, antara lain: (1) Peranan besar dalam perekonomian dipegang oleh sektor sekunder yaitu industri, dan tersier yaitu jasa, (2) Jumlah penduduknya relatif banyak dan heterogen, (3) Kepadatan penduduknya relatif besar.

'Melting pot' adalah suatu gambaran dimana banyak etnis yang berkumpul di suatu wadah yaitu kota, dan melebur menjadi satu. Seluruh etnis yang berkumpul ini tentu saja berbeda-beda dan memiliki potensi konflik. Namun seiring berjalannya waktu, seluruh etnis ini dapat beradaptasi hidup berdampingan, hingga menghasilkan asimilasi.

Kota Batavia adalah salah satu kota besar di wilayah kekuasaan Pemerintah Hindia Belanda. Pada abad ke-19, industrialisasi dan modernisasi membawa pengaruh perkembangan pada Batavia untuk menjadi salah satu kota modern di wilayah Asia. Kota Batavia menjadi kota modern yang kemudian mengakibatkan adanya budaya kosmopolitan. Budaya kosmopolitan hadir sebagai salah satu dampak dari modernisasi di Kota Batavia. Selain modernisasi dan industrialisasi, hal itu juga dipengaruhi oleh globalisasi yang juga mengakibatkan adanya konektivitas antar masyarakat. Konektivitas masyarakat semakin dipermudah karena adanya perkembangan teknologi, komunikasi, ekonomi, dan lain-lain.

Kota Batavia juga menjadi pusat perdagangan, yang menjadikannya sebagai 'melting pot' bagi berbagai macam etnis yang melakukan aktivitas perekonomian, khususnya berdagang, di kota ini. Beberapa etnis yang tinggal di Kota Batavia antara lain pribumi yang didominasi oleh orang Betawi dan Jawa, Tionghoa, Arab, dan Eropa. Hal ini terjadi di sekitar abad ke-17, dengan berkembangnya Batavia sebagai kota multi-etnis. Dalam keberagamannya, terdapat klasifikasi atau pengelompokan etnis, yang kemudian menciptakan eksklusifitas berdasarkan status sosial yang ada di Batavia. Urutan etnis dengan status tertinggi adalah Eropa, kemudian Timur Asing yaitu Tionghoa dan Arab, dan posisi terbawah adalah pribumi.

Batavia menjadi Gementee, sejak adanya undang-undang pada tahun 1905. Pada tahun 1908, Batavia dibagi menjadi dua distrik yaitu Distrik Batavia yang merupakan kawasan kota lama dan Distrik Weltevreden yang merupakan kawasan dagang. Distrik Batavia merupakan pusat kota yang terdapat berbagai macam gedung-gedung penting serta kantor-kantor besar, seperti De Javasche Bank. Kawasan ini dihuni oleh orang-orang Eropa yang memegang posisi puncak dalam stratifikasi sosial di Kota Batavia. Distrik Weltevreden adalah kawasan dagang yang dihuni oleh kalangan menengah ke atas. Didominasi oleh orang-orang Tionghoa yang membuka pertokoan.

Pembangunan Batavia menciptakan laju urbanisasi yang berdampak pada peleburan kebudayaan Batavia. Etnis yang tinggal di Batavia yang memiliki kebudayaan-kebudayaan yang berbeda, secara tidak langsung turut menyebarkan kebudayaan mereka dalam kehidupan sosial. Dampaknya adalah terciptanya kebudayaan baru dalam masyarakat, seperti yang terjadi pada etnis Betawi yang kehilangan kebudayaan asli karena banyaknya budaya yang masuk dan berkembang.

Dampak yang disebabkan karena sebuah kota menjadi 'melting pot' berbagai etnis membawa perubahan pada kota dan masyarakat yang tinggal di dalamnya. Seperti pada arsitektur kota, bangunannya banyak yang terpengaruh oleh budaya Eropa dengan bentuk bangunan khas kolonial. Pakaian yang dikenakan masyarakat juga merupakan percampuran budaya antara budaya Betawi dan Tionghoa, dan masih banyak lagi perubahan yang ditimbulkan.

Referensi:
Ariwibowo, G. Andika. 2019. Perkembangan Budaya Kosmopolitan di Batavia 1905-1942. Handep, Jurnal Sejarah dan Budaya. vol. 3 (1). hlm. 55-74.
Blackburn, Susan. 2011. Jakarta: Sejarah 400 Tahun. Jakarta: Masup Jakarta.
Basundoro, Purnawan. Beberapa Aspek Teoretis Tentang Kota.
Utama, Wildan Sena. Kehidupan Sosial-Budaya Masyarakat Tionghoa di Batavia 1900an-1930an. https://www.academia.edu/12959637/Kehidupan_Sosial_Budaya_Masyarakat_Tionghoa_di_Batavia_1900an_1930an

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun