Katharine E. McGregor adalah seorang penulis asal Australia yang melakukan kajian tentang historiografi Indonesia, khususnya pada ideologi militer. Kate melakukan kajian mendalam yang kemudian menghasilkan sebuah buku yang berjudul Ketika Sejarah Berseragam: Membongkar Ideologi Militer Dalam Menyusun Sejarah Indonesia.
Sebenarnya pada tahun 2007, National University of Singapore Press atau NUS Press bersama dengan Southeast Asia Monograph Series, telah menerbitkan buku ini dalam versi Bahasa Inggris. Kemudian pada tahun 2008, diterbitkan pertama kali ke dalam Bahasa Indonesia oleh Penerbit Syarikat di Yogyakarta. Buku ini terdiri dari 6 bab, dengan total xxvi dan 459 halaman.
Pada masa era kepemimpinan Soeharto, atau pada Orde Baru, militer menjadi dominan dalam kekuasaan Pemerintahan. Dibuktikan dengan pengangkatan pejabat dari golongan militer dilakukan semata-mata karena Soeharto ingin mengangkatnya. Sedangkan pada era kepemimpinan pasca Soeharto, pemilihan pejabat dilakukan penilaian yang lebih matang. Masyarakat menjaga agar tidak ada dominasi dari militer lagi dalam Pemerintahan.
Namun pada pemilihan Presiden di tahun 2004, masyarakat memilih Susilo Bambang Yudhoyono yang merupakan seorang purnawirawan. Hal ini tentunya merupakan suatu keanehan, karena di satu sisi masyarakat ingin mencegah dominasi militer, namun di sisi lainnya masyarakat juga memilih sosok dari militer sebagai pemimpin negaranya.
Hal ini dapat disimpulkan bahwa meskipun ada keinginan masyarakat untuk mencegah dan mengakhiri dominasi militer seperti pada pemerintahan Orde Baru, tetapi dalam benak masyarakat Indonesia sudah tertanam bahwa militer merupakan pemimpin negara yang terbaik. Proses penanaman pemikiran ini sudah tercipta sejak 1966 hingga 1998, dimana itu adalah masa pemerintahan Orde Baru. Proses ini dilakukan oleh Tentara Indonesia, khususnya juga dalam hal mengonstruksi masa lampau.
Kebanyakan kajian tentang militer Indonesia berfokus pada militer yang memiliki peran ganda yang menggabungkan perannya dalam politik dan pertahanan. Selain itu, kajian militer juga berupa laporan kronologis tentang evolusi militer Indonesia dalam ranah politik, dan memusatkan diri pada jangka waktu tertentu. Ada juga yang fokus membahas mengenai ideologi militer. Buku Ketika Sejarah Berseragam lebih mencermati satu lembaga khusus, yaitu Pusat Sejarah ABRI dan proyek-proyeknya. Buku ini menampilkan hasil analisis upaya militer dalam membangun citra baik yang ditujukan kepada anggota maupun ke masyarakat.
Bab 1 dengan topik “Sejarah Dalam Pengabdian Kepada Rezim Yang Otoriter” menjelaskan mengenai bagaimana penulisan historiografi sejarah Indonesia, khususnya pada era Orde Baru atau masa kepemimpinan Soeharto. Pada masa kepemimpinannya, penulisan historiografi yang kritis masih seumur jagung. Terlebih Indonesia masih tergolong sebagai negara yang baru saja merdeka.
Semenjak kemerdekaan Indonesia, sejarah adalah salah satu sarana yang digunakan untuk menumbuhkan rasa nasionalisme untuk warganya. Periode Demokrasi Terpimpin atau Orde Lama dan Orde Baru, sejarah digunakan sebagai alat untuk menyatukan ideologi dan persamaan visi tentang masa lampau secara nasional.
Dalam Museum Nasional, terlihat bahwa masa lalu yang gemilang dipertahankan oleh Orde Lama. Namun Orde Baru menekankan pada tradisi panjang pemimpin militer dan tentang ancaman terhadap bangsa. Orde Baru juga meminimalisir sumbangan yang diberikan Presiden Soekarno pada sejarah. Orde Baru menyusun sejarah dengan menunjukkan persamaan-persamaan dengan rezim sebelumnya, serta rezim otoriter lainnya di dunia. Secara keseluruhan, sejarawan Indonesia menggunakan sejarah dalam pembinaan bangsa secara komitmen. Nugroho Notosusanto adalah salah seorang yang turut andil dalam mendukung penulisan sejarah pada masa pemerintahan Orde Baru.
Topik berikutnya dalam bab 2 adalah “Nugroho Notosusanto dan Awal Mula Pusat Sejarah Angkatan Bersenjata”. “Nugroho Notosusanto merupakan salah seorang propagandis yang paling penting dalam rezim Orde Baru” (Katherine McGregor, 2008: 75). Nugroho Notosusanto adalah sosok yang membuat legitimasi Orde Baru melalui usaha kudeta 1965, sekaligus sebagai Kepala Pusat Sejarah ABRI (1965-1985), Menteri Pendidikan, dan menyebarluaskan citra pahlawan yang ada dalam militer Indonesia melalui museum, buku pelajaran, dan doku-drama. Nugroho Notosusanto lahir di Rembang pada 15 Juni 1931, dengan latarbelakang keluarga pegawai tinggi di Kabupaten Rembang.
Dengan latarbelakang yang demikian, Nugroho berasal dari keluarga yang terpandang dan memiliki wawasan kosmopolitan. Nugroho juga turut berpartisipasi dalam perang kemerdekaan. Ia kemudian bertugas menjadi anggota Brigade 17 Tentara Nasional atau yang biasa disebut juga sebagai Tentara Pelajar. Tentara Pelajar ini beranggotakan para pelajar dan mahasiswa yang dilatih selama pendudukan Jepang.