Mohon tunggu...
Aulia Irfan Mufti
Aulia Irfan Mufti Mohon Tunggu... -

Simple

Selanjutnya

Tutup

Catatan

(Masih) Adanya Pungli di Dunia Pendidikan Kita

29 Juni 2011   00:56 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:05 95
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

MASIH ! ! !

Saya kembali terhenyak dengan kenyataan dunia pendidikan Indonesia setelah membaca salah satu artikel yang menceritakan tentang PUNGLI yang masih saja terjadi di sekolah-sekolah Indonesia. Ironisnya, pungli itu terjadi pada siswa-siswi yang ingin mengambil STTB mereka dengan dikenakan "biaya" sebesar Rp 50.000,00.

MASYA' ALLAH !

Saya jadi teringat akan masa-masa saya sekolah tingkat dasar hingga lanjutan dulu. Ketika saya SD, saya bersekolah di daerah Bogor. Di sana, saya mengenyam pendidikan dari TK hingga SMP. Ketika saya SD, saya mengalami perlakuan yang sama dengan adek-adek seperti saat ini. Saya sering dipungut secara "liar" oleh oknum-oknum sekolah yang mengatasnamakan kegiatan tertentu. Saya heran. "Loh kok, kan tidak ada kegiatan di sekolah ini, tetapi kenapa saya harus membayar?" begitu gumam saya dalam hati pada saat itu. Begitu pula ketika menjelang kenaikan kelas, saya bahkan disuruh membayar Rp 20.000,00 untuk hal tersebut. "Maksudnya apa?" saya kembali bertanya-tanya dalam hati. Then, ketika ada guru yang pensiun saya juga 'disuruh' untuk menyumbang sebesar Rp 5.000,00 untuk diberikan kepada guru tersebut. "Lah kan dia yang mau pensiun, terus hubungannya apa sama aku? kenapa aku harus menyumbang? Sedangkan keluarga kami saja pontang-panting mencari makan" begitu tanyaku pada guruku waktu itu. Guruku menjawab dengan gaya hipokrat, "Lah kamu kan diajarin sama dia, kamu juga pintar berkat dia bukan? jadi sudah sewajarnya kamu memberikan balasan kepadanya sebagai salam perpisahan"

NAH ! INI DIA!

Beberapa guru sering mengatasnamakan tugas mulia mereka demi mendapatkan secuil rezeki dari muridnya sendiri. Padahal, mereka telah digaji secara cukup oleh Departemen Pendidikan Nasional. Bukankah gaji itu sudah dihitung berdasarkan standar kehidupan yang sedang terjadi?. Ini merupakan sebuah ironi. Di tengah prestasi anak-anak Indonesia yang cukup membanggakan di kancah Internasional, tapi menengok realita yang terjadi di Indonesia sendiri, tentunya kita menjadi miris, bahkan sedih. Guru telah kehilangan nilai esensi dari tugas mulianya di mata para siswa. Memang, tidak semua guru seperti itu. Tapi, bukankah pepatah pernah berkata "Karena noda setitik, rusak susu sebelanga" it's the same as with Gayus terhadap STAN. Cuma seorang Gayus yang 'ketahuan' korupsi, tetapi hal tersembut merembet hingga ke almamaternya. Begitu pula guru, karena ulah beberapa oknum, tetapi akibatnya sangatlah luas.

SEMOGA !

Tulisan ini dapat menjadikan bahan renungan bagi kita semua, agar dunia pendidikan kita dapat menjadi lebih baik lagi. SEMOGA !

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun