Rekan dan teman jemaat gereja ayah sudah bergerombol mengelilingi ayah yang saat itu tergolek lemah tak berdaya. Mereka setia menemani ayahku menanti waktu akhir hidupnya. Lagu pujian dan doa mereka lantunkan.
Diabetes yang diderita ayah beberapa tahun belakangan ini, benar-benar memurukkan ayahku pada ketidakberdayaan. Raganya yang dulu segar dengan bobot tubuh yang lumayan proporsional kini nampak ringkih, nyaris tinggal tulang berbalut kulit..
Aku dan ibu hanya bisa memandangi nafas ayah yang sudah sangat lemah, nyaris satu-satu. Sementara, di tengah khidmatnya teman dan rekan jemaat gereja berdoa untuk ayahku, disudut ruang tamu, aku dan ibu tenggelam dalam bacaan ayat suci Al Qur'an di tangan kami. Kami sama khusyuknya. Kami sama bersedihnya. Bahkan teramat sedih.
Sulit melukiskan suasana hatiku saat itu. Sama sulitnya bagiku untuk mengerti, mengapa aku dan ayah harus berbeda. Mengapa aku harus dilahirkan dari orang tua yang bersebrangan dalam keyakinan. Membuat dilema berkepanjangan bagiku untuk memilih mana jalan yang harus ku tempuh. Kemana kakiku harus melangkah. Siapa yang harus kuikuti. Ayahkah? Atau Ibu?
Keduanya mengajarkanku kebaikan. Tak ada paksaan atau doktrin menentukan tempatku berpijak. Keduanya sama menawarkan nilai-nilai luhur sebuah keyakinan.
Masih kuingat saat kukecil, karena kebanyakan temanku muslim, aku ikut teman-teman mengaji di TPA. Dan akupun kerap ikut ibu sholat menggunakan mukena, meski aku saat itu tak mengerti mengapa ayah tak mengimami shalat kami. Demikian juga bila hari Minggu tiba, akupun sering merengek dan merajuk pada ayah minta ikut ke gereja. Ayahpun mengajak kuserta. Dan dengan jelas akupun melihat ritual ibadah ayah di sana dan ikut larut didalamnya.
Hingga tiba masanya dewasa, saat aku berhak menentukan sendiri jalan hidupku. Hidayah Islam menuntunku untuk memilih menjadi seorang muslim. Saat kusampaikan semua itu pada ayah, tak sedikitpun keberangan hadir di wajah teduhnya. Meski kala itu, aku memilih tak mengikuti jalannya. Ayah tetap tersenyum mendukung apapun pilihanku. Bahkan dengan bijak ia menasehatiku, agar aku berkomitmen menjalankan apa yang sudah kupilih.
Masih terngiang kata-katanya saat itu, "Kau sudah menentukan jalan hidupmu nak....jadilah muslim yang baik. Jangan tanggung-tanggung bila sudah memilih."Â Sesak dan gemuruh dadaku saat itu mendengar bisiknya, meluruh airmata keharuan demi mendapati ketulusan ayah yang tak menghakimi pilihanku.
Kini, aku hanya mampu bersimpuh mendoakan ayahku, tentu saja dengan cara yang kupahami. Semua itu tak sedikitpun mengurangi niat tulusku ingin menjadi anak yang berbakti diujung penantian hayat ayahku.
Sepenuh hati aku berharap beliau mendapat tempat terindah disisiNya. Aku percaya Tuhan berkenan mendengar harapku. Meski kami ada dalam bentang jalan yang berbeda.
Dan sebagaimana aku, ayah sudah memilih jalannya. Ayahpun menutup mata tepat di malam natal. Membawa iman yang tetap dipegang teguh hingga akhir hidupnya.